Mohon tunggu...
Titania Audrey Al Fikriyyah
Titania Audrey Al Fikriyyah Mohon Tunggu... Lainnya - Anggota Komunitas #UangKita Kemenkeu

Salah satu penulis buku Bunga Rampai Presidensi G-20: Gagasan Kolektif Menuju Pemulihan dan Pertumbuhan yang Berkelanjutan

Selanjutnya

Tutup

Money

Menjaga Asa Indonesia Emas 2045 Lewat Pajak

19 Juni 2023   18:14 Diperbarui: 20 Juni 2023   09:08 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jalan Indonesia menjadi negara maju tahun 2045 berubah terjal kala pandemi Covid-19 melanda. Pembatasan ruang gerak masyarakat selama masa pandemi mengakibatkan menurunnya permintaan agregat. Banyak perusahaan mengalami penurunan permintaan produksi hingga memberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Akibatnya, jumlah pengangguran di Indonesia meningkat mencapai 9,77 juta orang per Agustus 2020 (Katadata, 2021). Angka ini merupakan angka tertinggi dibanding 5 tahun sebelumnya. Indonesia pun resmi mengalami resesi ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi yang minus dua kali berturut-turut pada kuartal III tahun 2020 (Kemenkeu, 2021)

Masalah tak berhenti di sana. Pada tahun 2022, situasi geopolitik dunia mulai memanas akibat meletusnya Perang Rusia-Ukraina. Perang kedua negara tersebut mengakibatkan krisis pangan dan energi melanda dunia. Angka inflasi di berbagai negara melambung hingga ke level tertinggi dalam puluhan tahun terakhir. Perang ini telah menambah daftar panjang waktu-waktu sulit yang dihadapi oleh negara-negara di dunia.

Bayangan gelapnya ekonomi dunia semakin menguat oleh sederetan peristiwa yang terjadi di awal tahun 2023, mulai dari badai PHK  di sektor teknologi hingga peristiwa bangkrutnya Sillicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di Amerika Serikat (AS). Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, sejauh mana kesiapan Indonesia dalam memitigasi potensi krisis ekonomi? Akankah asa untuk mencapai Indonesia Emas 2045 tetap terjaga?

Konsolidasi Fiskal Kunci Stabilitas Ekonomi

Selama pandemi, defisit APBN diizinkan melampaui ambang batas maksimal 3 persen dari PDB sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Kenaikan ambang batas tersebut diperlukan untuk menambah belanja negara selama pandemi untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat, dan menjaga aktivitas usaha. Setidaknya sekitar Rp 695,2 triliun rupiah digelontorkan sebagai biaya penanganan Covid-19 yang mencangkup anggaran program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan Program PEN sebesar Rp 607,65 triliun.

Pada tahun yang sama, terdapat penurunan tarif PPh Badan yang selama ini menyumbang porsi yang signifikan pada penerimaan pajak penghasilan. Selama tahun 2017-2018, kontribusi PPh Badan mencapai hampir 80 persen dari penerimaan PPh. Selain itu, berbagai insentif perpajakan juga diberikan semasa pandemi dalam rangka mendorong aktivitas ekonomi mulai dari insentif PPh Pasal 21, insentif pajak UMKM, insentif PPN dan beragam insentif perpajakan lainnya.

Dengan beragam upaya tersebut, APBN berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia dari jurang resesi yang terlalu dalam selama pandemi. Tidak menunggu lama hingga pandemi reda, perekonomian Indonesia melesat positif sebesar 5,3 persen dengan rasio utang terjaga di angka 39,57 persen pada akhir tahun 2022, jauh di bawah ambang batas rasio utang 60 persen terhadap PDB sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003.

Bahkan, ketika negara-negara lain seperti India, Brazil, dan Amerika Serikat memiliki kenaikan PDB yang lebih rendah daripada kenaikan utang, kenaikan PDB Indonesia justru lebih besar daripada kenaikan utang. Hal ini tak lepas dari peran APBN sebagai shock absorber dalam menjaga dan melindungi perekonomian selama pandemi berlangsung.

Oleh karena itu, untuk memastikan APBN tetap sehat dan siap menghadapi situasi ketidakpastian global, kebijakan konsolidasi fiskal perlu diterapkan di saat ekonomi mulai pulih seperti sekarang. Salah satu instrumen dalam konsolidasi fiskal adalah meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Sesuai dengan fungsi pajak yaitu fungsi stabilitas, kebijakan ini diperlukan untuk memperlebar ruang fiskal agar stabilitas keuangan negara tetap terjaga apabila terjadi krisis di masa depan.

Salah satu kebijakan yang telah diterapkan oleh Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara adalah kenaikan tarif PPN dari yang semula 10 persen menjadi 11 persen. Kebijakan ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun