Mohon tunggu...
Noor Titan Hartono
Noor Titan Hartono Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Indonesia yang bersekolah di Amerika Serikat. Bercita-cita menjadi penulis yang tulisannya diperhitungkan. Buah inspirasi lainnya bisa dilihat di blog pribadinya http://noortitan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Memanjat: Tebing Batu di Arizona, Perbatasan AS-Meksiko, dan Gunung Pertapa di New Mexico

23 Agustus 2013   14:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:55 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ada seseorang yang bertanya, "Apa saja yang telah Anda capai selama 20 tahun pertama hidup Anda?" saya akan menjawabnya dengan mantap, "Melakukankombinasi hal-hal yang orang Indonesia lain mungkin belum pernah lakukan." Tahun 2010-2011 di lembar hidup saya telah menjadi saksinya. Siapapun boleh saja mendapatkan kesempatan untuk pergi, berwisata, atau bersekolah ke luar negeri, tetapi tidak semuanya akan mendapatkan pengalaman yang sama. Semua terserah si pemilik pengalaman masing-masing. Saya memutuskan, saya ingin memanjat sebanyak-banyaknya. Meskipun saya bukan pemanjat ulung. Cochise Stronghold, atau Arizona Dragoon's Mountains Dragoon, dalam Bahasa Inggris berarti memaksa; sedangkanStronghold, bisa diartikan sebagai cengkeraman yang kuat. Dapat dibayangkan, jajaran tebing-tebing di daerah Arizona tenggara ini menjanjikan tantangan yang belum saya hadapi sebelumnya. Latar belakang? Nol besar,zero. Hanya keinginan untuk mengisi liburan musim gugur, dan mencoba hal baru. Bersama 9 orang teman lainnya dari negara yang berbeda: Amerika Serikat, Bahrain, Uganda, Latvia, dan Kanada, kami menghabiskan 5 hari bersama di gurun di Arizona yang dikelilingi Cochise. Jika Anda uring-uringan hanya karena tidak pergi ke mall dalam 5 hari, kami bersepuluh hanya ditemani debu pasir, kaktus, dan bebatuan. Setelah menghabiskan hari pertama dengan mengesetlokasi perkemahan dan belajar dasar-dasar keamanan: bagaimana menggunakanclimbing harness, teknik memanjat, dan bagaimana menjadiballet atau pengamat yang mengulur tali dari bawah. Hari berikutnya, kami mencari lokasi pemanjatan dengan level kesulitan cukup mudah. Setelah berjalan sekitar dua jam, kami pun tiba di sebuah tebing batu dengan level 4 berdasarkan Skala Numerik M (level tersulit 12-14, level yang termudah -1 hingga 3, bisa dicapai tanpa alat bantu). Meskipun percobaan di hari pertama cukup sukses, di hari ketiga, ketika saya mencoba memanjat tebing batu level 5, fisik yang kurang fit mulai menghantui: tubuh yang sakit, cengkeraman yang mengendor, serta kaki yang tak ajeg berpijak. Ditambah lagi, karena jendela waktu yang kami gunakan saat memanjat di antara pukul 11 siang hingga 3 sore, ketika memanjat, udara terasa sangat panas dan membakar telapak tangan kami. Selain itu, kami juga harus berhati-hati karena kaktus ada di mana-mana. Beruntunglah saya, di hari berikutnya, dengan tekad, "Kapan lagi saya bisa memanjat tebing batu di Arizona?" saya berhasil memanjat tebing batu level 5 dan 7. Ketika rasa putus asa telah mencapai puncaknya: leher yang lelah karena terus mendongak ke atas, tangan yang kesemutan menahan beban tubuh, serta kaki yang pegal karena harus bertahan di celah kecil bebatuan, semuanya terbayar tunai. Pandangan selevel elang di kejauhan akan bumi Arizona yang merah saat membalik badan dan menempel pada bebatuan, tak akan pernah saya lupakan.Repellingsaat turun ke bawah pun belum pernah semenyejukkan saat itu. Sepulang dari Stronghold, saya menghadiahi diri saya sendirimilkshakestroberi terenak yang pernah saya coba di Willcox, AZ. Imigran Ilegal AS dari Meksiko: Pemanjat Terkuat dan Terberani Bulan Maret 2011. Jika liburan singkat musim semi kebanyakan diisi teman-teman saya untuk mengunjungi destinasi wisatawan seperti California atau New York, saya memutuskan untuk pergi ke perbatasan Meksiko bersama 13 teman saya lainnya. Kami ingin bergerilya memberikan rasa internasional di sana, sekaligus mematahkan anggapan bahwa perbatasan AS-Meksiko benar-benar tidak aman karena konflik antar bos narkoba. Salah satu agenda kami adalah menyusuri jalan yang sering dilewati imigran ilegal AS dari Meksiko, yang terbuai dengan janji buta bahwa hidup mereka akan lebih baik di Amerika Serikat. Faktanya benar-benar mengenaskan. Mereka harus berjalan di daerah perbatasan selama 3 hingga 4 hari, dengan bekal yang tak cukup. Iklim yang benar-benar kering, menyerupai gurun, menjanjikan siang yang terik panas membakar, dan malam yang dingin beku berangin. Puncaknya adalah ketika mereka harus memanjat pagar besi yang merupakan batas formal teritori Meksiko dengan Amerika Serikat. Tingginya bisa mencapai 6-8 meter, dan ada polisi perbatasan yang berjaga di seberang. Jika tertangkap, habislah riwayat imigran ini, karena mimpi akan kehidupan yang lebih baik hanya tinggal mimpi. Jika pun berhasil memanjat, kota berpenduduk berikutnya masih harus mereka tempuh dengan berjalan kaki, sementara maut dan polisi patroli masih terus mengintai. Mencoba memanjat setengah pagar itu rasanya susah luar biasa, tak ada pijakan, tak ada pula pegangan tangan. Tak terbayang para imigran itu yang mencoba memanjat di malam hari. Saya juga melihat onggokkan baju-baju serta syal yang diikat satu sama lain menyerupai tali sederhana untuk membantu memanjat. Tali itu mungkin mereka tukar dengan nyawa mereka, karena dinginnya gurun di malam hari siapa yang tahu. [caption id="attachment_282889" align="aligncenter" width="400" caption="Bersama teman-teman seperjalanan, foto oleh Tom Lamberth."][/caption] Hermit’s Peak (Puncak Pertapa) di Ekspedisi Musim Dingin Belakangan ini, ketika melihat teman-teman saya di Indonesia yang hobi naik gunung, ikut-ikutan tren yang santer setelah suatu novel difilmkan di layar perak, saya tersenyum sendiri. “Cukup sekali itu saja,” ucap saya dalam hati, terpikir ekspedisi musim dingin yang pertama dan terakhir saya ikuti. Bulan November 2011, saat itu aku bertekad bulat untuk menaiki Hermit’s Peak (ketinggian 3.128 m) yang terletak di New Mexico. Mengikutkan diri dalam program Ekspedisi Natal yang diadakan di sekolahku, perjalanan 2 hari 1 malam itu tak akan pernah saya lupakan. Berangkat di pagi yang cerah –walaupun musim dingin, setidaknya matahari tidak malu-malu mengintip, saya optimis bahwa cuacanya tetap akan cerah seperti itu (baca: tidak turun salju). Bukan apa-apa, jika salju turun, suhu akan drop dan membuat perjalanan ke puncak semakin berat. Ransel pun lebih berat dari biasanya, karena untuk menjaga tubuh tetap hangat, makanan yang dibawa harus lebih banyak dari ekspedisi musim panas. Selain itu, saya harus membawa lebih banyak lapisan pakaian dan kantung tidur yang lebih tebal untuk alasan yang sama. Pendakian berjalan lancar, cuaca tetap cerah hingga kami tiba di puncak. Meskipun rasa lelah tidak terperi dan sempat tersasar di beberapa kilometer terakhir sebelum puncak, kami beruntung karena kami berhasil menyentuh puncak hanya dalam waktu 9  jam, termasuk di dalamnya waktu istirahat pendek dan panjang. Pemandangan bukit dan puncak sekitar yang ditutupi salju bersih pun tidak kalah luar biasanya. Benar-benar indah, sekaligus menyilaukan. Hingga sekarang pun, masih terbayang jelas di pelupuk mata seperti apa pemandangannya. [caption id="attachment_282886" align="aligncenter" width="512" caption="Bersama teman-teman mancanegara menuju Hermit"]

13772419601589966438
13772419601589966438
[/caption] Puncak Pertapa, begitulah arti literal puncak yang saya daki. Dulu, seorang pemuka agama dari Italia pernah bertapa di gua di salah satu bagian dari puncak ini, begitu kabar dari temanku. Rasanya memang seperti di puncak dunia: tenang dan berangin sepoi-sepoi, tentu saja membuat siapapun kembali ke puncak ini untuk merasakan hal-hal ini lagi. Sayangnya, cuaca cerah yang diharapkan hingga keesokan harinya saat turun gunung, tidak dapat terlaksana. Sejam dua jam setelah tiba di puncak, cuaca memburuk. Salju mulai turun dengan derasnya. Teman saya yang bertugas membuat makan malam bahkan terpaksa membiarkan salju masuk ke dalam sup yang dia masak karena pancinya tak bertutup. Semakin malam, salju semakin deras dan menumpuk. Kaki yang sudah dilindungi dengan sepatu bot tahan air pun tak mampu menahan dingin. Mental manusia tropis saya pun keluar, sementara teman lain dari mancanegara yang terbiasa dengan 4 musim terlihat masih tahan, saya sangat sulit berjalan dan terus menggigil. Malam itu, di tenda, kaki dan tangan saya dihangatkan oleh teman-teman yang luar biasa, hingga saya berhasil tidur nyenyak. Paginya, ketika saya terbangun, saya kaget dengan salju di luar yang tebalnya sudah mencapai sebetis. Sebelum merobohkan tenda dan mengepak barang-barang, saya menunggu air yang sedang didihkan oleh teman-teman saya. Jika umumnya semakin tinggi titik didih air semakin rendah, yang merupakan alasan mengapa air lebih cepat mendidih di dataran tinggi, hukum ini tak berlaku saat itu. Karena udara luar yang di bawah titik beku, dibutuhkan 20-30 menit untuk mendidihkan air. Perjalanan turun gunung pun ternyata lebih sulit dari yang saya kira: kacamata berembun, dengan telapak tangan, kaki, serta telinga yang membeku, dan trek yang penuh dengan salju, membuat kami harus ekstra berhati-hati. Bahkan, saat baru saja setengah jalan turun gunung, akumulasi kulit melepuh dan lecet karena tidak terbiasa dengan sepatu botku, mulai mengganas. Beruntunglah karena saya dibantu dengan pertolongan pertama blister pad yang mampu membuat saya bertahan hingga tiba di ujung trek. Saat saya melihat puncak sebelum pendakian, rasanya tidak sama dengan saat sesudah pendakian. Ada rasa haru, bangga, dan senang yang bercampur dengan lelah. Niat saya mungkin awalnya hanya ingin mencicipi rasanya mendaki di musim dingin, tetapi saya kembali dengan hal yang lebih, baik secara fisik maupun mental. Setidaknya rasa senang itu bertahan hingga saat saya kembali ke asrama, ketika teman saya yang merupakan pemberi pertolongan pertama yang handal harus memecahkan gelembung-gelembung lepuhan kulit saya. Lolongan dan jeritan yang memecah lorong asrama itu pun tak akan pernah teman-teman saya lupakan. Satu lagi, lain kali, saya harus membawa bendera merah putih saat ekspedisi. Bukan, bukan untuk diunggah ke media sosial, tetapi lebih sebagai bukti sebuah pencapaian. Memanjat: Menantang Limit Hati, Mental, dan Perspektif Setiap panjatan yang telah saya lakukan, selalu membuat saya mengeset kembali apa yang saya sebut ‘batas diri’. Kepercayaan semacam, “Saya tak bisa memanjat tebing batu yang panas itu,” “Orang-orang Meksiko mau enaknya saja dengan pergi ke AS,” atau “Saya tidak tahan lelah dan dingin,” berubah seketika setelah perjalanan tangguh yang saya putuskan untuk lakukan. Setiap centimeter tebing yang saya panjat, mampu mengubah diri saya. Bukan perubahannya yang menantang, tetapi apakah diri saya yang mau mengakui perubahan itu adalah tantangan yang sebenarnya. Contohnya, mengakui bahwa saya sebenarnya lebih kuat dari yang saya kira, atau mengakui bahwa suatu perspektif lebih manusiawi dari yang lainnya. Salam tangguh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun