Jika ada seseorang yang bertanya, "Apa saja yang telah Anda capai selama 20 tahun pertama hidup Anda?" saya akan menjawabnya dengan mantap, "Melakukankombinasi hal-hal yang orang Indonesia lain mungkin belum pernah lakukan." Tahun 2010-2011 di lembar hidup saya telah menjadi saksinya. Siapapun boleh saja mendapatkan kesempatan untuk pergi, berwisata, atau bersekolah ke luar negeri, tetapi tidak semuanya akan mendapatkan pengalaman yang sama. Semua terserah si pemilik pengalaman masing-masing. Saya memutuskan, saya ingin memanjat sebanyak-banyaknya. Meskipun saya bukan pemanjat ulung. Cochise Stronghold, atau Arizona Dragoon's Mountains Dragoon, dalam Bahasa Inggris berarti memaksa; sedangkanStronghold, bisa diartikan sebagai cengkeraman yang kuat. Dapat dibayangkan, jajaran tebing-tebing di daerah Arizona tenggara ini menjanjikan tantangan yang belum saya hadapi sebelumnya. Latar belakang? Nol besar,zero. Hanya keinginan untuk mengisi liburan musim gugur, dan mencoba hal baru. Bersama 9 orang teman lainnya dari negara yang berbeda: Amerika Serikat, Bahrain, Uganda, Latvia, dan Kanada, kami menghabiskan 5 hari bersama di gurun di Arizona yang dikelilingi Cochise. Jika Anda uring-uringan hanya karena tidak pergi ke mall dalam 5 hari, kami bersepuluh hanya ditemani debu pasir, kaktus, dan bebatuan. Setelah menghabiskan hari pertama dengan mengesetlokasi perkemahan dan belajar dasar-dasar keamanan: bagaimana menggunakanclimbing harness, teknik memanjat, dan bagaimana menjadiballet atau pengamat yang mengulur tali dari bawah. Hari berikutnya, kami mencari lokasi pemanjatan dengan level kesulitan cukup mudah. Setelah berjalan sekitar dua jam, kami pun tiba di sebuah tebing batu dengan level 4 berdasarkan Skala Numerik M (level tersulit 12-14, level yang termudah -1 hingga 3, bisa dicapai tanpa alat bantu). Meskipun percobaan di hari pertama cukup sukses, di hari ketiga, ketika saya mencoba memanjat tebing batu level 5, fisik yang kurang fit mulai menghantui: tubuh yang sakit, cengkeraman yang mengendor, serta kaki yang tak ajeg berpijak. Ditambah lagi, karena jendela waktu yang kami gunakan saat memanjat di antara pukul 11 siang hingga 3 sore, ketika memanjat, udara terasa sangat panas dan membakar telapak tangan kami. Selain itu, kami juga harus berhati-hati karena kaktus ada di mana-mana. Beruntunglah saya, di hari berikutnya, dengan tekad, "Kapan lagi saya bisa memanjat tebing batu di Arizona?" saya berhasil memanjat tebing batu level 5 dan 7. Ketika rasa putus asa telah mencapai puncaknya: leher yang lelah karena terus mendongak ke atas, tangan yang kesemutan menahan beban tubuh, serta kaki yang pegal karena harus bertahan di celah kecil bebatuan, semuanya terbayar tunai. Pandangan selevel elang di kejauhan akan bumi Arizona yang merah saat membalik badan dan menempel pada bebatuan, tak akan pernah saya lupakan.Repellingsaat turun ke bawah pun belum pernah semenyejukkan saat itu. Sepulang dari Stronghold, saya menghadiahi diri saya sendirimilkshakestroberi terenak yang pernah saya coba di Willcox, AZ. Imigran Ilegal AS dari Meksiko: Pemanjat Terkuat dan Terberani Bulan Maret 2011. Jika liburan singkat musim semi kebanyakan diisi teman-teman saya untuk mengunjungi destinasi wisatawan seperti California atau New York, saya memutuskan untuk pergi ke perbatasan Meksiko bersama 13 teman saya lainnya. Kami ingin bergerilya memberikan rasa internasional di sana, sekaligus mematahkan anggapan bahwa perbatasan AS-Meksiko benar-benar tidak aman karena konflik antar bos narkoba. Salah satu agenda kami adalah menyusuri jalan yang sering dilewati imigran ilegal AS dari Meksiko, yang terbuai dengan janji buta bahwa hidup mereka akan lebih baik di Amerika Serikat. Faktanya benar-benar mengenaskan. Mereka harus berjalan di daerah perbatasan selama 3 hingga 4 hari, dengan bekal yang tak cukup. Iklim yang benar-benar kering, menyerupai gurun, menjanjikan siang yang terik panas membakar, dan malam yang dingin beku berangin. Puncaknya adalah ketika mereka harus memanjat pagar besi yang merupakan batas formal teritori Meksiko dengan Amerika Serikat. Tingginya bisa mencapai 6-8 meter, dan ada polisi perbatasan yang berjaga di seberang. Jika tertangkap, habislah riwayat imigran ini, karena mimpi akan kehidupan yang lebih baik hanya tinggal mimpi. Jika pun berhasil memanjat, kota berpenduduk berikutnya masih harus mereka tempuh dengan berjalan kaki, sementara maut dan polisi patroli masih terus mengintai. Mencoba memanjat setengah pagar itu rasanya susah luar biasa, tak ada pijakan, tak ada pula pegangan tangan. Tak terbayang para imigran itu yang mencoba memanjat di malam hari. Saya juga melihat onggokkan baju-baju serta syal yang diikat satu sama lain menyerupai tali sederhana untuk membantu memanjat. Tali itu mungkin mereka tukar dengan nyawa mereka, karena dinginnya gurun di malam hari siapa yang tahu. [caption id="attachment_282889" align="aligncenter" width="400" caption="Bersama teman-teman seperjalanan, foto oleh Tom Lamberth."][/caption] Hermit’s Peak (Puncak Pertapa) di Ekspedisi Musim Dingin Belakangan ini, ketika melihat teman-teman saya di Indonesia yang hobi naik gunung, ikut-ikutan tren yang santer setelah suatu novel difilmkan di layar perak, saya tersenyum sendiri. “Cukup sekali itu saja,” ucap saya dalam hati, terpikir ekspedisi musim dingin yang pertama dan terakhir saya ikuti. Bulan November 2011, saat itu aku bertekad bulat untuk menaiki Hermit’s Peak (ketinggian 3.128 m) yang terletak di New Mexico. Mengikutkan diri dalam program Ekspedisi Natal yang diadakan di sekolahku, perjalanan 2 hari 1 malam itu tak akan pernah saya lupakan. Berangkat di pagi yang cerah –walaupun musim dingin, setidaknya matahari tidak malu-malu mengintip, saya optimis bahwa cuacanya tetap akan cerah seperti itu (baca: tidak turun salju). Bukan apa-apa, jika salju turun, suhu akan drop dan membuat perjalanan ke puncak semakin berat. Ransel pun lebih berat dari biasanya, karena untuk menjaga tubuh tetap hangat, makanan yang dibawa harus lebih banyak dari ekspedisi musim panas. Selain itu, saya harus membawa lebih banyak lapisan pakaian dan kantung tidur yang lebih tebal untuk alasan yang sama. Pendakian berjalan lancar, cuaca tetap cerah hingga kami tiba di puncak. Meskipun rasa lelah tidak terperi dan sempat tersasar di beberapa kilometer terakhir sebelum puncak, kami beruntung karena kami berhasil menyentuh puncak hanya dalam waktu 9 jam, termasuk di dalamnya waktu istirahat pendek dan panjang. Pemandangan bukit dan puncak sekitar yang ditutupi salju bersih pun tidak kalah luar biasanya. Benar-benar indah, sekaligus menyilaukan. Hingga sekarang pun, masih terbayang jelas di pelupuk mata seperti apa pemandangannya. [caption id="attachment_282886" align="aligncenter" width="512" caption="Bersama teman-teman mancanegara menuju Hermit"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H