Mohon tunggu...
Noor Titan Hartono
Noor Titan Hartono Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Indonesia yang bersekolah di Amerika Serikat. Bercita-cita menjadi penulis yang tulisannya diperhitungkan. Buah inspirasi lainnya bisa dilihat di blog pribadinya http://noortitan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mie Instan, Tari Saman, dan Batik: Paling Indonesia di antara Warga Dunia

28 April 2011   23:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17 2501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik for Artists and Quilters, by Eloise Piper

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Martin Luther King Day, photo by Phia Sennett"][/caption]

8 bulan lalu, aku yang selalu bersembunyi di ketiak kedua orang tuaku dipaksa keluar dari kandangnya dan dibiarkan pergi tanpa diawasi sama sekali. Merantau dan terbang melintasi 3 benua dalam 2 hari, transit seperti orang kebingungan di Kuala Lumpur, Amsterdam, dan Minneapolis, serta dengan Bahasa Inggris yang patah-patah mencoba menjelaskan bahwa maksud saya pergi ke Amerika Serikat adalah untuk belajar di sebuah sekolah setingkat SMA di negara bagian New Mexico.

Tiba pada pukul 2 dini hari, hanya samar-samar kastil yang terlihat dari depan asramaku, Kilimanjaro. Aroma musim panas sangat kental, tetapi cuaca dingin menggigit kulitku yang tropis. Aku menggumam dalam hati, "Semoga hijrahku kali ini diberkahi oleh-Nya."

Sekolahku bernama Armand Hammer United World College of the American West, sebuah boarding school yang merumahi sekitar 200 remaja berumur 16-19 tahun dengan sekitar 80 kewarganegaraan yang berbeda. Hanya ada dua orang perwakilan Indonesia di sini, aku dan kakak kelasku, Tasha.

Mie Instan

Seperti yang kukatakan sebelumnya, 8 bulan di sini telah menjadi hari-hari yang paling luar biasa dalam hidupku. Salah satunya adalah bagaimana mie instan keluaran Indonesia sangat terkenal di sini. Terdapat sebuah tradisi, jika seseorang kehilangan sesuatu, dia akan mengirim mass email kepada seluruh siswa menanyakan barang mereka yang hilang dan diakhiri dengan kalimat:

"... whoever can find my thing, I'll give you 5 packs of Indonesian good noodles."

Tak hanya itu, teman-temanku kadang mencomot sembarangan stok mie instan milikku dari kardus di bawah kasur tempat tidurku. Atau kadang, mereka mengetuk pintu kamarku, dan saat kubuka, wajah mereka tiba-tiba memelas dan berkata, "I missed dinner, do you have any ramen?" Dan tentu saja, aku dengan baik hati mencoba membagikannya pada mereka.

Masih jelas pada ingatanku, bulan-bulan pertama saat tiba di sini. Pertanyaan pertama yang kutanyakan pada kakak kelasku adalah, "Kak, bagaimana caranya membeli mie instan online?"

Mie instan memang jadi hal yang "Paling Indonesia" di sini, di mata ratusan anak-anak dari seluruh dunia. Terkadang rasa homesick-ku pun dapat sembuh dengan mudah setelah aku makan mie instan. Bahkan terkadang, saat sakit flu menyerangku, yang kubutuhkan hanya dua: mie instan dan teh melati. Seketika, sakit pun sembuh dengan ajaib.

Tanya pada diri kita masing-masing, seberapa seringkah diri kita menghujat negara tetangga kita, Malaysia? Di sini, aku dekat dengan kakak kelasku dari Malaysia. Terkadang, beliau meninggalkan pesan di atas meja belajarku, "Dik, kapan kita makan mie instan sama-sama?"

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Martin Luther King Day, photo by Phia Sennett"]

[/caption]

Tari Saman

Bulan Maret lalu, seperti kebiasaan di sekolahku tahun-tahun sebelumnya, terdapat 10 hari tanpa kelas yang digunakan siswa untuk melakukan project sesuai keinginan masing-masing. Ada teman-temanku yang pergi ke Seattle untuk menceritakan kisah mereka yang berasal dari daerah konflik: Afganistan, Palestina, Israel, dan sebagainya. Ada pula yang pergi ke pegunungan di Colorado untuk menikmati ski. Lalu, ke mana aku pergi?

Aku bersama ke-13 temanku lainnya dan 3 chaperones, pergi ke perbatasan Amerika Serikat-Meksiko, tepatnya di Kota Agua Prieta untuk berkeliling ke sekolah dasar dan sekolah menengah, menampilkan pentas internasional yang kami persiapkan. Untuk itu, kami saling bertukar pengalaman dan mengajari satu sama lain tarian tradisional dari daerah masing-masing.

Apakah tari yang kuperkenalkan pada teman-temanku?

[caption id="attachment_105384" align="alignnone" width="648" caption="Mengajari Tari Saman, photo by Inviolata Chami"]

13038745511016419478
13038745511016419478
[/caption]

Percayalah, mengajari Tari Saman pada teman yang berbeda-beda asalnya: Nepal, Singapura, Tanzania, Uganda, Denmark, Meksiko, dan Venezuela; tak semudah membalikkan telapak tangan. Menjelaskan esensi dari tari tersebut pun tak mudah, karena ada saja hal yang terlalu luas untuk dijelaskan dalam Bahasa Inggris.

Tetapi, karena "kebersamaan" adalah hal yang paling utama dari tarian ini, aku pun mencoba meniupkan jiwa itu pada tarian kami. Dan hasilnya adalah tepuk tangan gegap gempita dari remaja hispanik di sebuah sekolah yang kami kunjungi.

[caption id="attachment_105391" align="aligncenter" width="600" caption="Tari Saman, photo by Tom Lamberth"]

Tari Saman
Tari Saman
[/caption]

Jangan tanya perasaanku seperti apa ketika akhirnya tari itu selesai dipertunjukkan. Teriakan remaja Meksiko yang menggema dan meminta kami untuk tampil kembali rasanya kurang lebih seperti saat aku melihat bendera merah putih dikibarkan di Istana Negara tiap 17 Agustus, walaupun hanya dari tabung sinar katoda.

Batik

Terkadang, pergi ke perpustakaan adalah hal yang baik untuk melepas jenuh. Walau kecil, perpustakaan di sekolahku ini cukup lengkap, dan selalu update dengan buku, majalah, dan koran terbaru dari beberapa bagian di dunia. Menelusuri rak-rak bukunya terasa seperti menelusuri dunia kelam yang belum pernah terjamah.

Suatu hari, aku melihat hal yang mengejutkan.

[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="Batik for Artists and Quilters, by Eloise Piper"]

[/caption]

Benar sekali, buku ini terselip di antara buku-buku lainnya yang bertemakan art. Luar biasanya, tanpa kusadari, teman sekamarku, Lucien yang berasal dari Belanda, berceloteh mengenai buku ini.

"I found thisi book few weeks ago, and it was actually interesting. It reminded me to your national costume that you wore during Welcoming Ceremony and Martin Luther King Day (lihat dua foto pertama). So, I saw the methods and consulted it to my Art teacher. Then, he found the equipments and ingredients to make it."

"Seriously? Did you make it?"

"Yes."

[caption id="attachment_105394" align="aligncenter" width="619" caption="Lucien dan Batik Buatannya Sendiri"]

13038778621662523070
13038778621662523070
[/caption]

Saya hanya bisa bengong dan melongo. Seingat saya, waktu dulu saya masih berbaju putih merah dan lucu-lucunya, saya hanya sempat bermain dengan tie-dye, bukan benar-benar batik yang bercanting. Jangan tanya betapa malunya saya saat guru Art-nya Lucien bertanya pada saya (saya tidak ambil mata pelajaran Art, FYI), "Have you done Batik before?" dan saya berkata malu-malu, "Kalau tie-dye sih pernah, hehe."

Paling Indonesia

13040311541542017052
13040311541542017052

Jadi, mari acungkan tangan. Saya sih bisa bilang kalau saya dan kakak kelas saya yang paling Indonesia di Montezuma, New Mexico ini. Tapi siapa yang bisa menjawab: siapa yang paling Indonesia di Indonesia? Jawabannya dilematis. Paling Indonesia itu apa? Bagaimana seseorang bisa dikatakan sebagai yang paling Indonesia? Syaratnya apa?

Entahlah, saya pun bingung. Cinta yang sederhana pada Indonesia, saya rasa cukup. Tak perlu muluk-muluk atau sampai otak mengerut. Cukup dengan berbuat yang baik-baik untuk negeri ini dimulai dari diri sendiri, jangan tusuki harga diri negeri dengan main komplain. Jadilah yang paling Indonesia dengan cara yang elegan.

Dan seperti resep di bungkus mie instan yang saya makan dua minggu lalu saat rasa homesick menerjang (foto di atas): "I Kangen U", Indonesia.

Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur yang panjang, boleh kita berjumpa lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun