Laman greenpeace menuliskan bahwa, isu lingkungan yang menjadi perhatian generasi muda diantaranya isu pengelolaan sampah rumah tangga (80%), cuaca ekstrem akibat krisis iklim (79%), pengelolaan limbah industri (78%) dan polusi udara (76%) (Indonesia, 2024). Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming”. Isu ini menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.
Sumber daya alam di Indonesia tersedia cukup banyak dan dapat di manfaatkan dalam kegiatan pembangunan. Dalam keadaan seperti itu, sumber daya alam mengalami penurunan kualitas sehingga berpotensi terjadinya pencemaran dan perusakan pada lingkungan yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pengelolaan lingkungan di berbagai bidang yang sesuai dengan asas-asas dalam hukum lingkungan di Indonesia (Ni Nyoman Arif Tri Noviyanti, 2019). Meningkatnya jumlah korporsi sebagai dampak global menciptakan suatu perhatian khusus terhadap dampak lingkungan hidup. Hampir disetiap bidang usaha, baik di bidang pertambangan, perdagangan, industri, pemanfaatan sumber daya alam dan lain-lain, berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan. Hal ini, merupakan realita bahwa korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Peranan dunia swasta dalam pertumbuhannya lebih
memberikan peranan kepada korporasi. Banyak perhatian yang telah diberikan kepada korporasi yang melalaikan peran dan fungsi lingkungan sebagaimana mestinya.
Korporasi seringkali tidak memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dalam produksi dan usahanya sehingga mengakibatkan pencemaran yang sangat besar baik dari kuantitas maupun kualitas pencemarannya. Pencemaran yang dihasilkan dari proses produksi korporasi biasanya jauh lebih besar bila dibandingkan produksi manusia perseorangan. Sehingga Korporasi acapkali menjadi subjek dalam tindak pidana lingkungan hidup.
Pertanggungjawaban korporasi dapat dilihat dari berbagai asas, salah satunya asas vicarious liability. Vicarious responsibility didasarkan pada prinsip “employment principle”, yang dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini majikan (employment) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip "thecservant's act is the master act inlaw" atau yang dikenal juga dengan prinsip agency principle yang berbunyi " the company is liable for the wrongful acts of all its employes". Prinsip Vicarious responsibility memungkinkan perusahaan untuk dihukum oleh karena kejahatan dengan kesalahan actus reus (atas tampilan tindakan yang dilarang hukum) dan mens rea (niat kriminal) dari seorang individu untuk korporasi. Pertanggungjawaban korporasi adalah berasal dari kesalahan Karyawan mereka, pejabat atau agen (Manullang, 2020).
Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatankegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam, pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh, publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal, dimana hal itu tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya (Mardiya, 2018).
Korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan: Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroran terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum (Abdul Roup, Muridah Isnawati, 2017). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPPLH menjelaskan terkait pengertian korporasi pada Pasal 1 angka 32 bahwa korporasi adalah “orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”.
Memperhatikan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 116 UU PPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup (Mardiya, 2018). Selanjutnya pada ketentuan Pasal 118 UU PPLH ditegaskan bila tindak pidana lingkungan oleh badan hukum maka sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan merupakan aspek penting dalam hukum lingkungan yang bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berfokus pada pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan.
Pertanggungjawaban Korporasi Berdasarkan Asas Vicarious Liability
Apakah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat dipertanggungjawabkan oleh orang lain?
Pertanyaan tersebut ditujukan pada vicarious liability pada dasarnya untuk menjawab. Vicarious liability dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “liability that a supervisory party (such as an employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or associate (such as an employee) based on the relationship between the two parties.” (Pertanggungjawaban dari suatu pihak supervisor (seperti seorang majikan) yang dikenakan atas perbuatan dari bawahannya atau asosiasinya (seperti seorang pegawai) oleh karena hubungan antara kedua belah pihak).
Kemampuan bertanggungjawab ditentukan dari dua hal, yakni akal dan kehendak. Dimana dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk atau dilarang, sedangkan kehendak atau keinginan mewujudkan kesadaran atau keinsyafan atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya (Raymond Joshua Marudut Sibarani, 2016). Kemampuan bertanggungjawab ditentukan dari dua hal, yakni akal dan kehendak. Dimana dengan akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk atau dilarang, sedangkan kehendak atau keinginan mewujudkan kesadaran atau keinsyafan atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya (Sari, 2023).
Menurut Barda Nawawi Arief, Vicarious Responsibility juga diartikan Sebagai pertanggung jawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrong ful acts a / another). Secara singkat sering diartikan "pertanggungjawaban pengganti". Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada urnumnya terbatas pada kasuskasus yang Menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian Vicarious Responsibility ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan (Nurindah Sari, 2024).
Menurut Undang-Undang (statute law), Vicarious Responsibility dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
- Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle).
- Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan itu dipandang sebagai perbutan majikan.
Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 ahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Vicarious lialibility berlaku dalam UU tersebut. Ketentuan Vicarious liability secara tersirat terdapat pada Pasal 116 ayat (2) UU PPLH, bahwa “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”
Tindak pidana lingkungan hidup sebagaiamana yang dimaksud pada ayat (1), yaitu tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
- badan usaha; dan/atau
- orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut
Kata “dilakukan oleh orang”, merujuk pada perbuatan yang dilakukan oleh subjek orang (natural person). Orang di sini bisa sebagai seorang karyawan suatu korporasi. Asas vicarious liability dapat berlaku apabila perbuatan yang dilakukan orang tersebut berdasar atas hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin (superior).
Sehingga perbuatan seseorang dapat dilakukan pertanggungjawaban pengganti apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Berdasarkan teori vicarious liability ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan konsepsi yang muncul dari sistem hukum “common law”, yang disebut sebagai “respondeat superior”, yaitu tanggung jawab sekunder yang muncul dari “doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya dengan “vicarious liability”, Peter Gillies membuat beberapa pemikiran sebagai berikut :(Rodliyah et al., 2021)
- Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.
- Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
- Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Perlu dikemukakan bahwa doktrin ini dapat berlaku dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang atau“the delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “mens rea” atau “a guilty mind” dari karyawan dapat dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut Undang-undang.
Dapat disimpulkan bahwa, Ketentuan Pasal 116 UU PPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 118 UU PPLH ditegaskan bila tindak pidana lingkungan oleh badan hukum maka sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Vicarious lialibility berlaku dalam UU tersebut. Ketentuan Vicarious liability secara tersirat terdapat pada Pasal 116 ayat (2) UU PPLH, bahwa “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”Sehingga perbuatan seseorang dapat dilakukan pertanggungjawaban pengganti apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Berdasarkan teori vicarious liability ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H