Mohon tunggu...
Titah Rahmawati
Titah Rahmawati Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Dosen Perguruan Tinggi Swasta

Selanjutnya

Tutup

Financial

Rupiah Pasca Lebaran Idul Fitri 1445 H

18 April 2024   15:30 Diperbarui: 18 April 2024   15:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Idul Fitri 2024 diwarnai dengan 2 berita yang mengejutkan, yaitu :

  • Nilai Rupiah terhadap USD yang mencapai angka Rp 16.000 dan bahkan hingga siang ini, 18 April 2024 sebesar Rp 16.179,20 berdasarkan telusuran google dimana rupiah menguat jika dibanding dengan penutupan kemaren di harga Rp 16.236,70
  • Konflik di negara Timur Tengah dengan semakin memanasnya antara Iran melawan Israel.

Lalu apakah ada kaitannya antara konflik Timur Tengah terhadap melemahnya nilai mata uang Rupiah yang terjadi pada saat libur lebaran Idul Fitri 2024 ? Apakah pelemahan nilai Rupiah ini disebabkan oleh adanya Libur Nasional selama Idul Fitri ?

Salah satu fenomena ekonomi yang kerap kali terjadi dan selalu menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia adalah melemahnya nilai mata uang. Mata uang yang melemah dipicu oleh banyak faktor, mulai dari faktor politik hingga sistem internasional yang memengaruhi kondisi keuangan domestik. Pelemahan nilai mata uang yang terus-menerus akan mempersulit perencanaan bisnis, akibatnya perhitungan biaya produksi menjadi kacau. Hal ini membuat perhitungan harga jual produk yang masih menggunakan bahan baku impor menjadi serba sulit dan tidak pasti.

Secara teori, penurunan nilai mata uang rupiah dapat disebabkan baik oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Untuk faktor internal lebih dipengaruhi oleh keadaan perekonomian dalam suatu negara, salah satu diantaranya adalah :

  • Kebijakan transaksi berjalan. Kebijakan transaksi berjalan (total ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa) apakah berdampak defisit atau surplus. Jika berdampak defisit dikhawatirkan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi tidak berkesinambungan.
  • Capital Outflow. Keluarnya sebagian besar investasi portofolio asing dari Indonesia yang menurunkan nilai tukar rupiah karena dalam proses ini investor asing menukar rupiah dengan mata uang utama dunia, seperti dolar AS untuk diputar dan di investasikan di negara lain. Hal ini berarti akan terjadi peningkatan penawaran atas mata uang rupiah. Peristiwa tersebut akan simetris dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang akan cenderung menurun sejalan dengan kecenderungan penurunan nilai rupiah.
  • Politik anggaran negara terkait utang. Melemahnya rupiah tidak hanya berdampak pada kenaikan harga komoditas impor saja, namun juga dari utang luar negeri, karena utang luar negeri ditetapkan dengan mata uang asing, akibatnya karena utang harus dibayar dengan mata uang dolar AS, sedangkan nilai tukar rupiah dipastikan melemah, maka besaran utang otomatis meningkat.
  • Tingginya tingkat impor. Nilai ekspor berbanding terbalik dengan impor. Semakin rendahnya nilai impor, maka nilai Rupiah akan meningkat. Begitu sebaliknya, semakin tinggi nilai impor akan membuat nilai rupiah semakin lemah. Karena dalam hal pembayaran impor menggunakan mata uang dolar. Semakin tinggi impor akan membutuhkan semakin banyak dolar untuk pembayarannya.

Untuk faktor eksternal, beberapa hal yang menjadi faktor penyebab melemahnya nilai mata uang Rupiah terhadap nilai tukar mata uang asing diantaranya adalah :

  • Menguatnya perekonomian Amerika Serikat. Faktor perekonomian Amerika Serikat yang semakin menguat tentu saja menjadi hal yang berpengaruh besar terhadap nilai tukar Rupiah. Semakin kuat ekonomi Amerika Serikat, sangat berpotensi semakin lemahnya Rupiah.
  • Sentimen Geopolitik. Konflik di Timur Tengah terutama serangan balasan Iran yang langsung ke negara Israel menaikkan ketegangan di wilayah tersebut. Hal itu mengundang kekhawatiran pasar akan munculnya perang baru, sehingga dapat menyebabkan gangguan suplai, meningkatkan inflasi, hingga memicu pelambatan ekonomi global. Ketegangan di Timur Tengah ini akan meningkatkan ketidakpastian global sehingga investor menahan diri atau memilih untuk berinvestasi pada aset-aset safe haven seperti dolar AS.

Jika melihat dari beberapa penjelasan yang diberikan baik dari Bank Indonesia maupun beberapa pakar ekonom, melemahnya mata uang Rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Dimana berdasarkan penuturan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, menjelaskan bahwa terkait pelemahan rupiah yang terus berlangsung merupakan efek akumulasi gerak pasar dari dinamika global, setelah seminggu kemarin pasar uang Indonesia dalam periode libur Idul Fitri 1445 H. Sedangkan untuk domestik, Indonesia tidak ada masalah. Semua (indikator ekonomi) baik-baik saja. Inflasi di dalam kendali. Kemarin lebaran, aktivitas konsumsi masyarakat juga bagus. Sehingga shocked dari global yang tidak hanya berdampak ke Indonesia, seluruh mata uang juga terimbas.

Adanya konflik Iran -- Israel, secara tidak langsung akan berdampak ke Indonesia, karena hal tersebut akan membuat harga minyak mentah mengalami kenaikan dan akan membuat impor minyak Indonesia membengkak. Selain itu, nilai tukar rupiah terus tertekan salah satunya akibat derasnya capital outflow, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini terjadi seiring adanya konflik di Timur Tengah yang meningkatkan ketidakpastian global, sehingga menyebabkan investor menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi. Data Bank Indonesia menunjukkan berdasarkan data transaksi 1 - 4 April 2024, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp8,07 triliun terdiri dari jual neto Rp1,41 triliun di pasar SBN, jual neto Rp5,88 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp0,78 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Hal ini pun diungkap oleh Bapak Edi Susianto selaku Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia. Beliau menyatakan bahwa selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan di global dimana rilis data fundamental Amerika Serikat makin menunjukkan bahwa ekonomi AS masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar. Perkembangan tersebut menyebabkan makin kuatnya sentimen risk off, sehingga mata uang emerging market khususnya Asia mengalami pelemahan terhadap dolar AS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun