Pada bulan Oktober tahun 2018 lalu, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga di Arab Saudi yaitu Tuti Tursilawati asal Majalengka, Jawa Barat mengalami nasib naas dengan pelaksanaan hukuman mati yang menimpa dirinya di negara tersebut.
Pihak pemerintah Indonesia kecewa terhadap pelaksanaan hukuman mati tersebut, karena pihak pemerintah Arab Saudi sebelumnya tidak memberikan pemberitahuan (notifikasi) terkait penerapan hukumannya itu. Sehingga, nyawa Tuti tidak tertolong dengan berakhir dalam pancungan dan sebelumnya Tuti melaksanakan hukuman dalam penjara.
Kasus Tuti bukanlah kasus pertama yang dialami oleh TKI yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di luar negeri khususnya di negara Arab Saudi. Berawal dari bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikannya terhadap Tuti, dan upaya untuk melakukan pembelaan diri serta mempertahankan kehormatannya maka berujung kematian pada majikannya.
Hukuman mati bukanlah hukuman yang menjerakan, karena telah tertutup kesempatan seseorang untuk berubah dengan mengambil seluruh hak hidupnya. Hukuman mati di Indonesia jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konstitusi RI Undang-Undang Dasar 1945 yang dinyatakan pada pasal 28A bahwa "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Tetapi dalam kasus ini perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia, tidak cukup hanya menggunakan peraturan perundang-undangan Indonesia karena ruang kerja Indonesia berada di luar negeri. Sehingga pemerintah pertu meratikan konvensi internasional terkait perindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia sehingga dapat melakukan perlindungan secara maksimal.
Bentuk perlindungan dari pemerintah adalah dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masih dianggap lemah karena perlindungan yang dimaksud masih secara luas.
Kemudian keluar Permenkertrans No. 14 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI. Serta adanya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, peraturan tersebut memberikan tiga macam perlindungan yaitu perlindungan pada masa pra penempatan, perlindungan pada masa penempatan, dan perlindungan pasca penempatan.
Dengan dibuatnya peraturan tersebut dapat diharapkan TKI mendapatkan perlindungan yang memadai pada saat pra penempatan, masa penempatan, dan pasca penempatan.
Sesuai dengan Pasal 17 PP No. 3 Tahun 2013 Â tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri memberikan upaya bantuan hukum seperti memberikan pendampingan serta memberikan upaya diplomatik untuk bernegoisasi dengan keluarga korban.
Pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga menyebutkan mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap pekerja migran Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.Â
Sehingga seharusnya kasus hukuman mati TKI ini dapat dilakukan dengan memberikan notifikasi terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia sesuai dengan norma hukum internasional yang berlaku.
Sumber:
Ricky Rachmadi, Menyoroti Kasus TKI yang mengalami Hukuman Mati, (online), diakses pada 1 Januari 2019. republika.co.id
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri.
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2013 Â tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Pasal 17.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H