Mohon tunggu...
Tisa Susanti
Tisa Susanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang penikmat novel yang memiliki mimpi menjadi seorang penulis novel dan psikiater.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang (Everything is Alright)

9 Desember 2013   01:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"I'll be here, by your side
No more fears, no more crying
But if you walk away
I know I'll fade
'Cause there is nobody else" One Direction- Gotta be You

Perubahan memang sesuatu yang lumrah terjadi tak bisa ditahan ataupun ditolak. Namun pada kenyataannya tak semua orang bisa menerima perubahan itu. Apalagi jika hal itu terjadi dalam waktu yang begitu singkat hingga seolah hal itu adalah mimpi bukan sesuatu yang mesti dihadapi. Sayang perubahan itu nyata dan Alika menyadarinya semenjak kereta yang membawanya dari Bandung kembali ke Yogyakarta sampai di stasiun Tugu.

Sebulan yang lalu dia tak sendirian di stasiun ini. Sebulan yang lalu mereka masih berdua. Melangkahnkan kaki ke dalam gerbong kereta api dengan tujuan yang berbeda. "Sebulan? lama sekali ya, aku akan merindukanmu. Pasti sepi gak ada yang cerewet teriak-teriak ngambek tiap kali aku godain." Kalimat itu masih terngiang jelas di telinganya. Namun apa itu masih menjadi kalimat yang sama bila mereka bertemu kembali sekarang? Alika tak yakin siap bertemu kembali dengan Fakhri setelah semua yang terjadi dalam sebulan ini. Meskipun dia sadar tak mungkin menghindari seseorang yang berada dalam naungan kampus yang sama dan selalu ada peluang untuk sebuah pertemuan tak terduga.

Lalu lalang penumpang di sekitaran stasiun yang riuh tak mampu menyelipkan sedikit keriuhan untuk hatinya. Alika paham dia harus menghadapi semua ini. Dia tak tahu salah siapa ini? Dia tak mampu menyalahkan siapapun hatinya sudah terlanjur kacau, pikirannya terlanjur semrawut ketika keluar dari dalam gerbong. Yogyakarta, kota yang menjadi idamannya sejak kecil. Masuk dalam daftar most wanted dalam catatan hariannya. Kota yang telah rela membagi denyut nadinya bersama Alika selam 3 tahun ini. Kota tempatnya menuntut ilmu, merajut mimpi masa kecilnya menjadi seorang dokter. Di sini pula Alika untuk pertama kalinya 3 tahun lalu bisa melupakan cinta pertamanya pada sesorang yang telah membuatnya menunggu hingga 5 tahun, diam-diam memperhatikan seorang kakak senior pendiam yang membuatnya tetap tersenyum selama masa orientasi. Hingga dia tahu akhirnya ternyata kakak senior itu sudah punya pacar beda kota. Patahlah lagi hatinya dan dia pun memutuskan untuk tidak jatuh cinta, apalagi dengan seseorang yang satu kampus dan satu angkatan. Gue kapok patah hati, ogah kepedean dan gak mau di PHPin lebih baik jadi jomblo bahagia. Kalimat yang hanya bertahan kurang dari sebulan.

Awalnya Alika tak menyadari dia telah jatuh cinta hatinya menolak untuk memberi harapan pada diri sendiri.

Flashback

"Alikaaa, kok belum pulang?" sebuah suara menyadarkannya ke dunia nyata dari novel yang tengah dibacanya.

"Eh, belum. Lagi nunggu Fika selesai rapat."

"Ya sudah aku duluan ya. Kamu kos di mana Alika?"

"Dekat sini kok samping kampus." Seulas senyum tak sadar dia berikan pada orang yang mengajaknya berbicara.

"Aku duluan ya,hati-hati ya Alika."

Percakapan singkat itu ternyata membawa perubahan perlahan. Hampir selalu ada senyum terulas di bibirnya setiap kali melihat Fakhri. Alika belum tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia hanya ingin menikmati perasaan itu seorang diri, tak mau membiarkan orang lain tahu, biar tak ada hati yag terpatahkan lagi. Senyum yang terpancar dari jarak 7 meter, bila Fakhri berada di dekatnya justru senyum itu hilang. Alika seolah tak peduli dengan kehadiran laki-laki itu.

Tak baik bila seorang perempuan memulai lebih dahulu. Ntar disangka perempuan gampangan lagi. Alika hanya berani melihatnya tertawa dari jauh. Merasakan hawa panas menyebar di sekujur tubuhnya ketika dia tertawa riang atau menggoda teman perempuan lainnya. Keberanian Alika hanya sampai pada merespon kicauan Fakhri di akun Twitternya. Keberanian yang berujung pada percakapan panjang tak nyata. YA mereka hanya berani bertegur sapa di dunia yang maya. Dunia nyata? Mereka seperti dua orang asing yang belum pernah bertemu.

Bukan perkara mudah buat seorang Alika yang terbiasa bicara blak-blakan menutupi perasaannya agar tidak diketahui teman-temannya. Namun semua keburu terlanjur ketika dia lupa meninggalkan handphone di kamar temannya. Pesan demi pesan pun terbongkar. "Alika sampai kapan kamu mau tetap begini? Berura-pura tak punya perasaan. Mau sampai kapan bertahan menunggu ketidakpastian? Memangnya kamu pikir dia yang lima tahun kamu tunggu juga menantimu juga? Buktinya sampai sekarang kalian beda kota dia semakin menjauh. Buka hatimu Alika,pakai logikamu. Kalau cinta mengapa harus gengsi? Dia malu tak berani memulai, tidak akan ada yang menyalahkanmu bila kamu memberinya kode terlebih dulu. Kamu hanya perlu keberanian dan dia hanya perlu stimulus untuk mengungkapkan perasaannya." Nasihat panjang lebar dari sahabat dekatnya itu tak lantas dia lakukan sampai ada paksaan.

Paksaan yang disyukuri Alika saat itu, tepat seminggu sebelum mereka berani menjadi satu. Bukan Alika, bukan Fakhri tapi mereka berdua. Dua menjadi satu. "Perempuan punya hak untuk menjawab dan laki-laki berhak untuk bertanya." ujar Alika saat itu.

"Aku gak bisa bikin kalimat yang bagus atau puitis aku gak romantis,tapi kamu mau kan sama aku?" Jari kelingking tangan kanan milik seseorang dihadapannya itupun terulur, Alika hanya menunduk tak menjawab dan mengaitkan kelingking kanan miliknya pada kelingking yang terulur itu. Yogyakarta di sini aku memulai langkah meatap ke depan, terimakasih langit Yogya kau saksinya.

*******

Dipandanginya jalanan Malioboro sore itu, guyuran hujan yang membasahi kota pelajar sesaat setelah dia menginjakkan kaki kembali di kota telah usai. Namun genangan air masih terlihat di sepanjang jalan. Menggenang seperti kenangan-kenangan sepanjang jalan pikirannya. Entah apa yang ada di pikiran Alika hingga memutuskan mengunjungi tempat itu. Ditinggalkannya koper di hotel langganan keluarganya. Semalam biarlah aku menenangkan diri tak kembali ke tempat kos. Toh teman-temannya belum ada yang tahu dia sudah kembali.

Alika hanya duduk terpaku di bangku taman depan Benteng Vredeburg. Tanpa sadar matanya melihat sepasang laki-laki dan perempuan asyik bercanda dan sang laki-laki tengah asyik memotret dengan objek si perempuan yang sedang memegang mawar putih. Pasangan yang bahagia, seperti aku dahulu batinnya. Biasanya mereka duduk di bangku-bangku taman itu mengamati keriuhan Yogyakarta di malam hari. Tapi sore ini hanya Alika sendiri.

Alika dan semua hal yang mendadak seperti semu tanpa kejelasan. Pesan yang dia terima dan foto yang dilihatnya seminggu lalu mengubah semuanya. Kalau bukan Fakhri yang mengirimnya dia tak akan begini sekarang. Merana sendirian di tengah jantung Yogyakarta. Dibacanya kembali email yang masuk seminggu lalu itu.

"dear Alika cerewet, apa kabarmu sekarang? Hampir sebulan kita tak bertemu. Sebulan sudah cukup untuk mengubahmu. Aku kira kamu sudah benar-benar melupakannya, aku kira tujuanmu ke Bandung untuk menengok sahabatmu.  Aku tahu melupakan yang kau kenal 7 tahun lebih sulit ketimbang melupakanku yang baru kau kenal 3 tahun. Tak perlu kau jelaskan apapun cukup aku yang meraaka, aku tak marah melihat foto dan komentar itu. Maafkan aku bila semuanya telah berubah sekarang ini bukan salah siapaun. Kau bebas memilih mungkin dia memang lebih romantis :(."

Foto itu. Fotonya bersama seseorang dari masa lalu. Dia tak pernah sengaja bertemu dengan lelaki itu semua kebetulan semata. Foto saat liburan kemarin ketika Alika dan dua sahabatnya mengunjungi Lembang. Foto dia tengah duduk berdua di kursi bambu dan memegang sekuntum bunga. Bukan dia yang mengunggah foto itu. Dia bahkan baru tahu ada foto itu ikut terunggah. Sejak itu Fakhri sulit dihubungi hingga Alika memutuskan kembali ke Yogyakarta lebih cepat dari rencananya. Dia tak tak pernah mau kembali ke masa lalu, tak pernah ingin kehilangan tawa lebar bersama Fakhri. Hatinya makin tak menentu saat melihat timeline Fakhri penuh dengan percakapan dengan seorang perempuan yang entah siapa. Tertawa di Twitter sementara mention dari Alika tak dibalas.

Alika tak tahu harus apa dan bagaimana namun hatinya menginginkan dia pergi ke reruntuhan benteng dekat Taman Sari. Dihentikannya taksi yang kebetulan lewat di depannya. Bodoh memang menenangkan diri di tempat yang menyimpan kenangan tapi itulah yang diinginkannya. Matahari sudah hampir tenggelam tapi reruntuhan benteng masih ramai oleh orang yang menikmati senja. Alika memutuskan untuk duduk di tangga yang masih tersisa dari reruntuhan benteng itu ketika dilihatnya ada seseorang sedang memotret panorama senja di sekitaran benteng. Sosok itu mengingatkannya pada Fakhri. Dia memang Fakhri, saat Alika masih memandangnya lekat sosok itu keburu membalikkan badan menghadapnya.

Tak ada canda tawa seperti biasanya, hanya ada kesunyian. Alika tak berani meulai percakapan. "Aku kira kamu masih betah di Bandung. Biar bisa dekat sama lelaki itu. Kok malah balik ke Yogya?" Nada yang datar tanpa tersirat kemarahan sedikitpun keluar dari mulut Fakhri.

"Kau lupa aku tak suka laki-laki romantis? Apa kau lupa aku sudah punya pacar? Apa kau juga lupa siapa pacarku?" Alika menunduk tak berani memandang wajah Fakhri,brusaha menahan aliran emosi yang bergejolak.

"Aku ingat kok. Perempaun mana yang tak suka diberi bunga oleh seseorang yang pernah ada di hatinya?" dia begitu tenang,Alika heran sebenarnya siapa yang marah dan menjadi korban dia atau Fakhri.

"Aku rasa semua perempuan senang menerima bunga,sayang bunga yang kuterima itu dari sahabatku bukan seperti harapanmu. Aku tak sengaja bertemu dengannya dan foto itu pun aku tak tahu temanku memotretnya. Kami hanya berbincang biasa. Lagipula ada perempuan yang sedang didekatinya. Masa lalu bukan untuk dikembalikan aku lebih suka bersama seseorang yang ada sekarang. Harusnya aku yang bertanya kemana saja kamu selama seminggu ini? Mengapa pesanku tak pernah direspon? Siapa perempuan yang asyik tertawa denganmu di Twitter"

"Maaf Alika aku kira kemarin aku harus mempersiapkan diri untuk menjalani hidup seperti saat sebelum kamu datang. Aku pikir kau sudah mulai menganggap yang romantis dan bisa memberimu bunga lebih baik untukmu. Aku tidak marah Alika. Perempuan itu? Sudahlah tak usah dibahas lagi dia bukan siapa-siapa hanya teman biasa."

"Please Fakh, kau tahu harusnya aku baru kembali ke kota ini tiga hari lagi?  Aaaaah kau merengut tiga hari liburanku, apa susahnya bilang jujur walau cuma lewat SMS." Alika kesal setelah mendengar semua penjelasan itu. Meski di sisi lain dia bersyukur tawanya tak hilang dan dia tak perlu takut pergi ke kampus.

"Sudah ikhlaskan saja tiga harimu, aku juga masih betah di rumah. Tapi lihat foto itu bikin aku pengen balik ke Yogya. Aku juga baru tiba kemarin. Gak tahu kenapa tiba-tiba kepikiran buat main ke sini sendirian.

"Kamu gak bakal pergi kan Fakh?" Tanya Alika seperti meyakinkan dirinya sendiri bahwa Fakhri ada di depannya.

"Pergi ke mana Alika? Aku ada di sini kok, lagian kalau aku pergi ntar kamu galau lagi." Ujar Fakhri sambil tertawa.

"Fakhri jelek, aku gak galau kamu yang galau." Alika merengut walau hatinya mengakui.

"Aku di sini kok, selalu ada buat bikin kamu jengkel, ketawa. Aku juga kangen teriakan dan cerewetmu." Fakhri tersenyum.

Semua ternyata baik-baik saja, prasangka manusia terlalu berlebihan melebarkan yang sederhana. Terlalu banyak ketakutan disaat semuanya baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun