Alarm di ponselku bergetar dan suara deringnya memenuhi setiap sudut ruangan. Udara dingin perlahan mulai terasa mencengkeram sela-sela jariku pada pagi itu.
Hangatnya selimut dengan pemanas kala itu membuatku tak sadar jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi waktu setempat. Berita perkiraan cuaca di televisi pun mulai samar-samar terdengar meskipun dengan bahasa yang tidak bisa aku pahami.
Tidak terasa ini adalah hari ke-3 aku berada di Negeri Sakura, negeri yang membuat semua pelancong kagum dengan kebersihan tempat dan ketertiban warganya. Negeri di mana ramen, sushi dan udon berasal yang kini terkenal ke seluruh penjuru dunia. Jepang adalah surga belanja sekaligus destinasi wisata kuliner yang menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan internasional.
Di hari ke-3 aku dan temanku memutuskan untuk pergi ke sebuah pulau kecil yang mengapung di Teluk Selatan Prefektur Kanagawa, pulau yang berjarak sekitar satu jam dari pusat kota Tokyo yaitu Pulau Enoshima. Pulau Enoshima adalah pulau kecil dengan luas sekitar 4km di Kota Fujisawa Prefektur Kanagawa.
Aku berangkat dengan temanku bernama Ayu, yang meskipun namanya terdengar sangat Indonesia tapi sebenarnya dia adalah warga negara asli Jepang yang lahir dan besar di sebuah kota di pesisir Tokyo, Yokohama. Kulitnya yang putih merona dan matanya yang bulat mungil akan menjelaskan bahwa ia adalah warga negara asli Jepang.
Kami berangkat dari rumah pukul 10.00 pagi, cukup siang dari hari sebelumnya karena cuaca pada hari itu memang sangat dingin, sekitar 2 derajat Celcius. Kami pun berangkat dengan mengenakan pakaian tebal berlapis, lengkap dengan syal dan penghangat tangan yang aku beli di Toko Serba 100 satu hari sebelumnya.
Kami memutuskan untuk pergi menggunakan mobil pribadi karena cuaca yang tidak begitu bagus. Di sepanjang perjalanan, aku dibuat takjub oleh segala hal yang aku lihat di jalanan kota Jepang. Saat melewati jalan tol misalnya, aku dibuat penasaran dengan sistem yang ada sebab pengendara tidak perlu lagi membuka jendela dan menempel kartu e-toll seperti yang umum dilakukan di Indonesia.
Pengendara hanya perlu melewati sebuah gerbang yang mirip dengan gerbang tol di Indonesia dan berhenti beberapa detik kemudian biaya akan otomatis masuk ke tagihan akhir bulan.
Tidak berhenti sampai di situ, sistem parkir otomatis dan petunjuk jalan yang sangat akurat di sepanjang jalanan kota Jepang juga membuatku terkejut akan kecanggihan teknologi yang ada.
Di sisi lain, aku melihat logo Tokyo Olympic 2020 dipasang di sepanjang pesisir Pantai Enoshima untuk menyambut datangnya acara yang ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Jepang tersebut. Kami akhirnya menyeberangi jembatan Bentenbashi yang menjuntai sepanjang 600m menghubungkan Pulau Enoshima dengan pulau utama.
Setelah turun dari mobil, kami disambut oleh deretan toko nelayan yang berjejer rapi di sepanjang jalan menuju gerbang masuk. Ada berbagai macam jenis seafood yang ditawarkan mulai dari lobster, kepiting, cumi-cumi, kerang dan masih banyak lagi. Semuanya diletakkan dalam kotak berisi air dengan kondisi hewan yang masih hidup untuk meyakinkan pembeli bahwa hasil tangkapannya baru saja didapat dan masih segar.
Tidak seperti toko-toko di gerbang depan yang menjual berbagai macam jenis seafood, toko-toko yang berada di jalanan menuju kuil ini lebih beragam mulai dari toko cenderamata, makanan, pakaian, restoran hingga penginapan tersedia di jalanan ini yang ternyata merupakan jalanan utama.
Kami berhenti di salah satu kedai makanan yang terlihat sangat ramai dengan antrian yang mengular panjang. Kedai tersebut menjual salah satu makanan yang menjadi ikon dan sangat terkenal di kalangan pelancong yang mengunjungi Pulau Enoshima yaitu Tako-Osenbe.
Tako-Osenbe adalah makanan khas Pulau Enoshima yang dibuat dari berbagai macam seafood yang di pipihkan dengan sebuah mesin press sehingga adonannya berbentuk seperti crepes.
Tako-Osenbe memiliki rasa yang sangat gurih dan renyah saat digigit. Segarnya aroma gurita yang masih tercium menambah kenikmatan saat menyantap hidangan khas Pulau Enoshima ini. Begitu populernya Tako-Osenbe  hingga kami perlu mengantri selama satu jam untuk mendapatkannya.Â
Terlihat ada banyak kerumunan orang mengambil gambar di gerbang ini, tak mau ketinggalan, kami pun berpose dan mengambil gambar di gerbang masuk kuil yang sepertinya menjadi spot foto utama di Pulau Enoshima.
Pemandangan yang pertama kami lihat setelah menginjak anak tangga terakhir adalah bangunan kuil yang terlihat sudah cukup tua dan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kuil-kuil lainnya di Jepang. Suasana di area kuil sangat tenang dan menyejukkan jiwa.
Kami akhirnya berdoa di depan kuil sambil membunyikan lonceng besar tanda salam kedatangan kami. Setelah berdoa, kami melakukan sebuah ritual yang menjadi kepercayaan orang-orang Jepang, yaitu mencuci uang dengan mata air kuil. Ritual mencuci uang ini dipercaya akan membuat rezeki yang didapat menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Setelah itu, kami melemparkan koin ke dalam kotak besi yang diletakkan di tengah-tengah mata air kuil yang konon katanya apabila berhasil kami akan mendapatkan keberuntungan di masa mendatang.
Akhirnya kami menghabiskan waktu di sebuah kedai teh dengan aroma ocha yang semerbak diseluruh ruangan kedai sambil duduk di depan perapian untuk menghangatkan diri.
Setelah merasa cukup hangat kami memutuskan untuk kembali karena angin laut yang semakin kencang menjelang sore hari. Meskipun cuaca dingin sedikit menganggu perjalanan kami di Pulau Enoshima, hal itu tidak mengurangi kesan yang kami dapatkan.
Perasaan tenang dan pikiran yang lebih segar sangat terasa di sepanjang perjalanan pulang setelah hari sebelumnya berkutat di pusat kota Tokyo yang sangat sibuk dan padat.
Perjalanan ke Pulau Enoshima seolah-olah mengembalikan semangat kami untuk menyambut kegiatan pada keesokan harinya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H