Persoalan mengenai perubahan iklim telah menjadi perhatian hampir seluruh negara di dunia selama beberapa dekade terakhir. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai kerjasama yang menghasilkan kesepakatan berisi upaya-upaya dalam menjaga lingkungan. Pesatnya perkembangan industrialisasi mendorong para aktor internasional untuk merenungkan perlunya kerangka kerjasama global untuk melindungi lingkungan dan sumber daya alam dunia, seperti Protokol Kyoto. Meski demikian, kerangka kerjasama tersebut tentu memiliki batas waktu berlaku sehingga perlunya konsep kerjasama berkelanjutan akibat keadaan lingkungan yang akan terus mengalami perubahan.
 Salah satu negara yang turut berperan aktif dalam upaya tersebut adalah Indonesia. Sebagai negara agraris dengan wilayah yang cukup luas, Indonesia memiliki peran besar baik sebagai penyumbang emisi maupun sebagai pihak yang juga terkena dampak perubahan iklim. Hingga tahun 2006, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan pemilik hutan terluas setelah Brazil dan Zaire, yakni seluas lebih dari 120 juta ha. Namun, kasus kebakaran hutan justru masih menjadi permasalahan tiap tahun yang tak kunjung usai.  Kondisi tersebut tentu mengakibatkan menurunnya perekonomian Indonesia akibat degradasi lahan dan hilangnya berbagai sumber daya alam sekaligus menimbulkan masalah dengan negara-negara tetangga akibat kabut asap yang mengganggu hingga mancanegara. Di sisi lain, emisi yang dihasilkan industri dari negara maju berpotensi memperbesar gas rumah kaca yang mengakibatkan iklim dan cuaca yang tak pasti, yang mana ini tentu akan berdampak pada kerugian hasil pertanian dan perkebunan Indonesia.
Salah satu peran aktif yang ditunjukkan Indonesia dalam mengatasi isu perubahan iklim internasional adalah dengan menjadi tuan rumah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-13 di Bali pada tanggal 3 hingga 15 Desember 2007. Konferensi tersebut membahasan langkah yang lebih serius untuk mengatasi perubahan iklim akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca. Melalui pertemuan ini juga diharapkan akan didapatkan kesepakatan baru sebagai pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012. Menteri Lingkungan Indonesia, Rachmat Witoelar yang sekaligus menjadi ketua The Conference of The Parties ke 13 (COP-13) menyampaikan bahwa negara-negara berkembang justru menjadi pihak yang paling dirugikan akibat tingginya emisi yang dihasilkan oleh indusri-industri di negara maju. Langkah yang dilakukan Indonesia sebagai tuan rumah dari UNFCCC tidak hanya sebagai bentuk komitmen akan lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk diplomasi pelaksanaan dari politik luar negerinya. Melalui diplomasi ini, Indonesia menunjukkan posisi dan eksistensinya kepada dunia bahwa negara tersebut siap memimpin masa depan dengan lebih baik. Â
Sesuai dengan konsep conference diplomacy yang turut memberikan ruang bagi organisasi non-pemerintah, pelaksanaan COP-13 UNFCCC di Bali dihadiri oleh perwakilan 186 negara serta melibatkan sekitar 300 perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat seperti Greenpeace, Walhi, hingga perusahaan-perusahaan besar seperti Shell, Nike, dan Rolls-Royce. Dilibatkannya berbagai perusahaan dan organisasi non-pemerintah merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan conference diplomacy, mengingat dunia di era modern tak hanya dijalankan oleh negara tetapi juga dipengaruhi oleh peran Non-Governmental Organization (NGO) baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Melalui konferensi tersebut, Indonesia juga menawarkan solusi sekaligus mengenalkan budayanya kepada para delegasi. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengenalkan hari raya Nyepi di Bali sebagai salah satu upaya mengatasi climate change. Ditiadakannya segala kegiatan seperti kegiatan dapur, kendaraan bermotor, indusri hingga penerbangan pada hari raya Nyepi selama sehari semalam mampu secara efektif mengurangi sedikitnya 20 ribu ton karbondioksida dalam sehari. Gagasan ditiadakannya segala kegiatan dalam sehari cukup menarik perhatian para delegasi khususnya dari kalangan NGO mengingat mayoritas dari mereka bergerak di bidang Industri yang berjalan secara non-stop.
Teknis pelaksanaan COP-13 UNFCCC dilaksanakan sesuai dengan konsep club diplomacy, yakni diskusi secara multilateral berdasarkan tatanan jabatan formal. Sebelum dilaksanakan pertemuan, terdapat beberapa rangkaian acara yang dilakukan pada satu bulan sebelumnya seperti Joint Implementation Supervisory Committee, CDM Executive Board, DNA Forum, dan lain-lain dengan menghabiskan dana hingga 28 miliar. Kemudian Isu yang dibahas dalam konferensi pun spesifik dan terarah, khususnya mengenai emisi karbon akibat penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara. Para delegasi berupaya untuk mencari jalan keluar persoalan penggunaan batu bara yang murah bagi negara-negara Industri, tetapi di sisi lain terdapat kerugian bagi negara berkembang akibat lahannya yang banyak menyerap emisi karbon. Oleh karena itu, diperlukannya pembiayaan bagi negara-negara pemilik lahan seperti Indonesia untuk merawat keberlangsungan lahannya, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab dari negara-negara Industri atas emisi karbon yang dihasilkan. Optimisme akan tercapainya solusi ini semakin didukung dengan tindakan Australia sebagai negara yang sebelumnya tidak menandatangani Protokol Kyoto, secara tegas menyatakan untuk bergabung dalam kerangka kerjasama tersebut. Bergabungnya Australia pada konferensi yang dipimpin oleh Indonesia tentu menunjukkan keberhasilan diplomasi Indonesia dalam mengajak dan mengenalkan negara lain mengenai kesadaran, gagasan, dan solusi menghadapi climate change.
Setelah dilakukannya kerja keras khususnya dari pihak Indonesia sebagai tuan rumah berupa lobby-lobby antar delegasi terutama dengan delegasi Amerika Serikat yang menolak Protokol Kyoto, akhirnya berhasil dicapai sebuah deklarasi bernama Bali Road Map. Dokumen tersebut nantinya akan menjadi jalan untuk pembahasan konsensus lebih lanjut di Kopenhagen, Denmark tahun 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama. Selain itu, Bali Road Map juga meningkatkan komitmen negara-negara yang terlibat melalui kerjasama berkelanjutan sekaligus memperkuat sumber-sumber dana untuk mendukung tindakan mitigasi terkait perubahan iklim.
Referensi:
https://www.dw.com/id/konferensi-puncak-iklim-di-bali-dimulai/a-2983238Â
https://unfccc.int/resource/docs/2007/cop13/eng/06a01.pdfÂ
https://www.dw.com/id/konferensi-puncak-iklim-di-bali-dimulai/a-2983238Â