Islam yang dikenal sebagai pendiri gerakan politik bernama Hizbut Tahrir. Pandangannya tentang sistem politik Islam yang radikal telah menarik perhatian di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, meskipun beberapa kelompok di Indonesia mengadopsi pemikiran politiknya, pemikiran Taqiyyuddin an-Nabhani tidak tumbuh subur di Indonesia. Artikel ini akan menguraikan beberapa alasan mengapa pemikiran politiknya belum mendapatkan dukungan yang signifikan di negara ini.
Taqiyyuddin an-Nabhani adalah seorang tokohSalah satu alasan utama mengapa pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani tidak tumbuh subur di Indonesia adalah karena perbedaan konteks kultural. Indonesia memiliki sejarah yang kaya dengan tradisi keagamaan yang beragam, termasuk Islam yang moderat. Mayoritas masyarakat Indonesia cenderung menganut paham keagamaan yang inklusif dan toleran, yang mengakui keberagaman dan menghormati hak asasi manusia. Pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani yang dinilai sangat radikal dan otoriter, tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut, sehingga sulit diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara dengan sistem demokrasi yang bisa dibilang "berfungsi dengan baik" di Asia Tenggara. Sejak jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, Indonesia telah berhasil membangun institusi demokrasi yang kuat, dengan pemilihan umum yang bebas dan adil serta kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani yang mengadvokasi sistem khilafah Islam dengan penghapusan demokrasi modern tidak sejalan dengan perkembangan demokrasi yang telah dicapai di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia merasa puas dengan sistem demokrasi yang ada dan tidak melihat perlunya perubahan sistem politik yang drastis.
Kemudian, pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani juga mendapatkan respons negatif dari kalangan ulama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Banyak ulama dan cendekiawan yang menyoroti aspek-aspek teologis dan metodologis yang kontroversial dalam pandangan Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka mengkritik pendekatan teoritisnya yang dogmatis dan kurang mempertimbangkan konteks sosial dan budaya setempat. Kritik semacam ini mengurangi daya tarik pemikiran politiknya di kalangan masyarakat Indonesia yang umumnya menghormati otoritas ulama dan cendekiawan Islam.
Pemerintah Indonesia telah gencar melakukan upaya untuk menangani ancaman radikalisme di negara ini. Pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani, yang dianggap sebagai gerakan politik radikal oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas negara dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah keras untuk melarang dan membatasi aktivitas kelompok-kelompok yang terkait dengan pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani. Langkah-langkah inilah yang membatasi potensi pertumbuhan dan penyebaran pemikiran politiknya di Indonesia.
Dari beberapa alasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani telah menarik perhatian di beberapa negara, pemikiran ini tidak tumbuh subur di Indonesia. Perbedaan konteks kultural, keberhasilan sistem demokrasi, respons negatif dari ulama dan cendekiawan, serta upaya pemerintah dalam menangani radikalisme telah menjadi faktor-faktor yang membatasi pertumbuhan pemikiran politik Taqiyyuddin an-Nabhani di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung lebih memilih pendekatan keagamaan yang inklusif, moderat, dan sejalan dengan perkembangan demokrasi yang telah dicapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H