Mohon tunggu...
Desak Putu Tirtha Nirmala S
Desak Putu Tirtha Nirmala S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diplomasi Selebriti: Nicholas Saputra sebagai Duta Nasional UNICEF di Indonesia pada tahun 2019

31 Maret 2023   23:13 Diperbarui: 1 April 2023   10:39 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diplomasi Selebriti adalah salah satu metode diplomasi yang menggunakan selebriti dalam melakukan fungsi-fungsi diplomasi seperti komunikasi, promosi, dan representasi untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangan diplomasi selebriti dimulai dari kemunculan internet dan media sosial serta meluasnya paham demokratisasi ke seluruh dunia. Seiring berjalannya waktu, diplomasi selebriti dimanfaatkan oleh organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui kerjasama dengan selebritis sebagai Goodwill Ambassador (duta niat baik). Selebritis pertama yang bekerja dengan PBB adalah aktor film Danny Kaye sebagai Goodwill Ambassador dari United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 1954. Setelah penunjukan pertama, jumlah selebritis lain yang ikut ditunjuk sebagai duta dari program-program PBB untuk mempopulerkan suatu isu meningkat secara signifikan. 

Perkembangan diplomasi selebritis di Indonesia secara umum sudah berjalan sejak lama. Pada tahun 2004, penunjukan duta nasional UNICEF di Indonesia sudah pernah dilakukan. Ferry Salim ditunjuk menjadi duta nasional UNICEF di Indonesia yang pertama. Ferry Salim merupakan seorang aktor, model, dan presenter terkemuka di Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya, terdapat beberapa selebritis lain yang juga bekerjasama dengan program-program PBB, seperti Luna Maya sebagai duta World Food Programme (WFP) pada tahun 2006, Anggun C Sasmi sebagai Goodwill Ambassador dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2010, Reza Rahardian sebagai duta United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2016, Sherina Munaf sebagai duta UNICEF pada tahun 2018, dan yang lainnya. Berbagai isu-isu internasional diangkat oleh selebritis-selebritis tersebut sebagai agen dari diplomasi selebritis Indonesia. Duta-duta tersebut membantu pemerintah untuk mensosialisasikan isu-isu internasional terkait Sustainable Development Goals (SDGs) sehingga masyarakat tidak asing dengan program-program yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target dalam SDGs. 

Terpilihnya Nicholas Saputra menjadi duta nasional UNICEF di Indonesia menarik untuk dikaji lebih lanjut karena potensi dari agen itu sendiri. Setelah 15 tahun lamanya semenjak penunjukan pertama pada tahun 2004, Nicholas Saputra ditunjuk menjadi duta nasional UNICEF di Indonesia yang kedua pada tahun 2019. Nicholas Saputra adalah seorang aktor, model, produser film, dan aktivis lingkungan yang banyak disukai oleh masyarakat Indonesia. Ketenaran Nicholas Saputra bermula dari film “Ada Apa dengan Cinta” yang hits pada tahun 2002 dan “Ada apa dengan Cinta? 2” pada tahun 2016. Sebagai duta nasional UNICEF di Indonesia, Nicholas Saputra akan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak anak dan kaum muda di Indonesia. Sebagai agen dari diplomasi selebriti, Nicholas Saputra memanfaatkan bakat dan ketenarannya untuk membela dan mendukung misi-misi UNICEF. Nicholas Saputra memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat sebagai dampak ketenarannya dari film-film yang sudah ia mainkan. 

Fenomena Nicholas Saputra sebagai duta nasional UNICEF di Indonesia pada tahun 2019 meningkatkan peluang diplomasi selebritis Indonesia untuk berkembang lebih lanjut terutama di abad 21. Pada abad 21, diplomasi sudah tidak lagi berkisar hanya pada aktor negara tetapi telah bergeser ke aktor lainnya seperti selebritis dan masyarakat. Oleh karena itu isu-isu yang dibahas pun lebih luas dibandingkan sebelumnya. Isu yang dibahas oleh Nicholas Saputra merupakan isu-isu kemanusiaan khususnya pemenuhan hak-hak anak.  Berbeda dengan diplomasi terdahulu dimana pola-pola diplomasi yang digunakan adalah club diplomacy. Diplomasi klub adalah diplomasi yang sifatnya eksklusif karena aktor masih terbatas pada aktor-aktor negara. Pembahasannya berkisar pada stabilitas dan keamanan negara serta kerjasama ekonomi. Perundingan terkait isu-isu yang ada tidak disebarkan kepada khalayak umum. Masyarakat hanya tahu bahwa sudah ada perjanjian tertulis di antara para aktor negara, tetapi bagaimana prosesnya atau mengapa isu tersebut bisa menjadi prioritas tidak diketahui masyarakat. Artinya, transparansi pada masa tersebut masih rendah. 

Berbanding terbalik dengan abad 21, transparansi yang dibawa oleh network diplomacy lebih tinggi dibandingkan dengan club diplomacy.  Kecepatan arus informasi melalui sosial media merupakan salah satu penyebab tingginya transparansi dalam diplomasi pada Abad 21. Ikon dari transparansi yang paling dekat dengan masyarakat adalah selebritis. Biasanya masyarakat akan mengikuti pemberitaan terbaru dari selebritis yang disukai melalui sosial media termasuk para penggemar Nicholas Saputra. Apalagi Nicholas Saputra merupakan salah satu aktor yang jarang terlibat dengan kontroversi sehingga transparansi dan kredibilitasnya dalam mengangkat suatu isu mampu mempengaruhi masyarakat dan menjadi pembicaraan hangat bagi para penggemarnya. Semakin banyak masyarakat yang membicarakan isu yang diangkat oleh Nicholas Saputra, semakin besar kemungkinan isu tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah. 

Jika melihat penggunaan sosial media orang Indonesia, potensi adanya pengaruh dari diplomasi selebritas cukup tinggi. Merujuk data pada website demand sage, masyarakat Indonesia yang menggunakan sosial media mencapai 217 juta pengguna pada tahun 2023. Penggunaan sosial media Indonesia mencapai rata-rata selama 8 jam 36 menit per hari merujuk pada data dari Jakarta Post.  Dengan demikian, selebritas dan kemampuanya dalam mempengaruhi masyarakat melalui sosial media mampu mendorong inisiatif kemanusiaan dan solidaritas masyarakat serta menata kembali struktur politik dan ekonomi menjadi kurang konfrontatif. 

Pada desember 2019, UNICEF dan Nicholas Saputra bekerjasama untuk mendorong kesadaran akan perlunya peningkatan layanan air, sanitasi, serta praktik kebersihan dasar untuk anak-anak di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Menurut Debora Comini, perwakilan UNICEF, mengatakan bahwa Indonesia masih terkendala oleh kurangnya sanitasi yang layak. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa terdapat 70% sumber air minum rumah tangga Indonesia yang tercemar limbah feses dari 20.000 sampel yang di uji. Hal tersebut adalah cerminan dari kurangnya kelayakan sanitasi di Indonesia. Kurangnya sanitasi yang layak dapat memicu penularan penyakit dari bakteri-bakteri penyebab diare. Akibatnya, resiko kematian dini pada anak-anak meningkat.  Data UNICEF tahun 2017 menyatakan bahwa terdapat 36% anak Indonesia di bawah usia 5 tahun yang menerima oralit dalam pengobatan diare. 

Nicholas Saputra percaya bahwa untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi anak-anak, lingkungan harus dijaga karena hanya ada satu bumi untuk generasi selanjutnya. Ia juga percaya bahwa ketika menciptakan dunia baru bagi anak-anak, harus dimulai dengan memenuhi kebutuhan setiap anak di Indonesia. Komitmen Nicholas Saputra bahkan diakui oleh Debora Comini. Comini mengatakan bahwa “dia [Nicholas Saputra] memiliki komitmen yang kuat terhadap isu-isu sosial dan keinginan untuk mendorong perubahan. Saya yakin kehadirannya akan membantu memperkuat advokasi kami untuk hak-hak anak”. 

Dalam jumpa pers UNICEF pada November 2019, Nicholas berkata "Saya belajar banyak tentang pentingnya sanitasi ketika saya pergi ke Nusa Tenggara Timur untuk melihat kerja UNICEF”.  “Itu adalah pengalaman yang membuka mata, dan mendorong saya untuk melakukan bagian saya karena setiap anak berhak untuk hidup di lingkungan yang aman dan sehat” katanya.  

Kesimpulannya, peluang diplomasi selebritis di Indonesia harus dapat dimaksimalkan agar percepatan pembangunan menuju Sustainable Development Goals tercapai. Potensi penggunaan sosial media sebagai alat penyebaran informasi di Indonesia yang penggunanya mencapai ratusan juta menjadi sebuah keuntungan atau peluang tersendiri baik bagi selebritis maupun pemerintah. Bagi selebritis, sosial media dapat digunakan sebagai alat untuk mengangkat dan menyebarkan suatu isu kepada masyarakat. Bagi pemerintah, sosial media dapat digunakan untuk mendapatkan atensi masyarakat terutama jika digunakan bersamaan dengan selebritas sebagai agen pembawa diplomasi. Naiknya isu dalam diskusi masyarakat mencerminkan gejolak sosial yang sedang terjadi. 

Dalam kasus ini, Nicholas Saputra sebagai salah satu agen diplomasi, diharapkan dapat mempengaruhi kemauan politik dari pemerintahan dan tingkat kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan agar hak-hak anak dapat dipenuhi. Kemauan politik dan kesadaran masyarakat merupakan faktor penentu dari kemajuan kinerja pemerintah terutama persoalan sanitasi. Pemerataan sanitasi di Indonesia sangat dibutuhkan untuk mengurangi jumlah kematian anak-anak yang terkena diare dari sanitasi yang tidak memadai. Kontribusi selebritis dengan kekuatannya sebagai ‘pemengaruh’ masyarakat membantu UNICEF maupun program-program PBB lainnya dalam mengangkat kesadaran masyarakat akan isu internasional dan mampu menekan pemerintah melalui input yang dihasilkan dari perbincangan masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun