Pemilihan (Selection): Media menonjolkan elemen tertentu dari suatu isu untuk diperhatikan. Dalam situasi ini, media yang mendukung revisi menekankan pentingnya pengawasan terhadap KPK, sementara media yang menentang revisi menekankan risiko terhadap independensi KPK.
Penonjolan (Salience): Media memberikan perhatian lebih kepada informasi yang menguatkan perspektif mereka. Sebagai contoh, media yang mendukung revisi lebih sering mengemukakan pernyataan dari pejabat pemerintah, sedangkan media yang menentang revisi lebih sering menyoroti pandangan dari aktivis.
Dengan memahami teori framing, kita bisa melihat bahwa media massa di Indonesia tidak sepenuhnya objektif dalam melaporkan isu-isu politik. Pilihan narasi yang diterapkan oleh media berpengaruh signifikan dalam membentuk pandangan dan respons masyarakat terhadap perubahan UU KPK.
Kasus perubahan UU KPK (2019) dengan tegas menunjukkan bagaimana media massa, terutama melalui saluran media, berperan penting dalam membentuk pandangan dan sikap publik terhadap isu-isu politik. Melalui penerapan teori framing, terlihat bahwa media tidak hanya menyebarluaskan informasi, tetapi juga membingkai isu tertentu dengan memilih dan menonjolkan aspek-aspek spesifik yang sesuai dengan kepentingan atau orientasi editorialnya.
Penyajian oleh media yang mendukung revisi dan yang menentangnya menghasilkan narasi yang berbeda, bahkan saling bertentangan, sehingga menciptakan polarisasi dalam pandangan publik. Media pro-revisi menekankan cerita tentang perbaikan institusi dan peningkatan pengawasan terhadap KPK, sementara media anti-revisi menyoroti risiko terhadap independensi lembaga antikorupsi tersebut. Perbedaan ini tidak hanya menunjukkan adanya bias dalam pemberitaan, tetapi juga menyoroti bagaimana kepentingan politik dan ekonomi dapat memengaruhi operasional media.
Lebih lanjut, diskusi ini menekankan pentingnya teori framing yang diuraikan oleh Robert Entman, di mana media berperan dalam memilih (selection) dan menonjolkan (salience) elemen tertentu dari suatu isu. Dalam konteks revisi UU KPK, pemilihan cerita dan penyusunan kerangka berita oleh media berfungsi sebagai alat strategis untuk memengaruhi pandangan publik serta, pada akhirnya, pengesahan kebijakan pemerintah.
Pengaruh dari variasi framing ini sangat besar, terutama di negara demokrasi seperti Indonesia. Saat media massa tidak menyampaikan informasi dengan cara yang objektif dan seimbang, publik tidak memperoleh pandangan yang lengkap tentang sebuah isu. Hal ini bisa mengurangi diskursus publik yang sehat dan memperburuk polarisasi sosial. Sebaliknya, media yang menerapkan framing dengan bijak bisa berperan sebagai pendorong akuntabilitas politik serta memberdayakan masyarakat.
Kasus ini juga menekankan pentingnya peningkatan literasi media di kalangan masyarakat. Pemahaman mengenai cara kerja framing dapat mempermudah individu untuk lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak terjebak dalam satu narasi yang disajikan oleh media tertentu. Selain itu, pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi perlu terus memperjuangkan reformasi media agar laporan lebih transparan, akurat, dan berimbang, guna mendukung proses demokrasi yang sehat.
Dengan demikian, revisi UU KPK dan peliputannya di media adalah contoh konkret tentang bagaimana komunikasi massa menjadi medan yang dipenuhi oleh pertarungan antara narasi dan kepentingan. Kasus ini menegaskan bahwa media, sebagai elemen dari sistem komunikasi massal, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk realitas politik. Oleh sebab itu, penelitian lebih lanjut mengenai peran media dalam politik sangat penting untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti berita yang berpihak, manipulasi data, dan polarisasi sosial di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H