Mohon tunggu...
Tirta Sena Syach Kurniawan
Tirta Sena Syach Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo. Kenalin nama saya Tirta Sena Syach Kurniawan, biasa dipanggil Sena. Saya mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa semester 1

Selanjutnya

Tutup

Politik

Resonansi Media Massa Dengan Agenda Politik

26 Desember 2024   09:01 Diperbarui: 26 Desember 2024   09:01 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komunikasi massa adalah salah satu perangkat esensial dalam mengonstruksikan interaksi antara berbagai irisan dalam masyarakat modern, terutama dalam konteks politik. Sebagai sarana penyampaian pesan yang menjangkau audiens secara masif, komunikasi massa memiliki peran penting dalam memengaruhi opini publik, menyebarluaskan agenda politik, serta memengaruhi dinamika kekuasaan di berbagai strata pemerintahan. Dalam sistem demokrasi, media massa acap kali disebut "pilar keempat" yang tugasnya yaitu sebagai alat monitoring atau pengawasan terhadap kekuasaan, dan juga menjadi saluran utama bagi masyarakat untuk memperoleh informasi politik.

Pada era teknologi seperti saat ini, peran media massa dalam politik menjadi semakin kompleks dan krusial. Media yang dianggap jadul seperti televisi, radio, dan koran tetap menjadi pilar utama dalam menyebarluaskan informasi politik kepada masyarakat. Namun, dengan hadirnya media digital dan platform media sosial telah mengubah cara informasi disampaikan, diterima, dan direspons oleh masyarakat. Sekarang, aktor politik dan kelompok kepentingan dapat berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga menciptakan ruang baru untuk partisipasi dan keterlibatan politik.

Namun, kemajuan ini juga menimbulkan tantangan atau masalah yang kompleks. Penyebaran informasi yang cepat melalui media digital acap kali disertai dengan risiko informasi yang sumbernya tidak valid dengan merugikan sebagian pihak sehingga berujung terhadap disintegrasi masyarakat. Fenomena yang dapat menggambarkan salah satunya adalah hoaks dan kampanye negatif. Hal-hal tersebut dapat memengaruhi persepsi publik secara signifikan. Dalam "kacamata" lain, sikap berpihak dari media tradisional juga sering menjadi sorotan karena dapat menciptakan bias dalam sajian beritanya, sehingga memengaruhi cara masyarakat memahami isu-isu politik.

Dalam konteks politik, media massa tidak hanya dijadikan sebagai perangkat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi instrumen kekuasaan. Melalui pengawasan terhadap media, figur politik dapat membentuk citra positif sehingga mendapatkan pengakuan yang baik dari masyarakat. Hal ini memiliki keterkaitan yang sangat kuat terhadap kajian komunikasi massa dengan elemen-elemen politik sehingga sangat penting untuk memahami bagaimana informasi dimanfaatkan, dimanipulasi, atau bahkan disembunyikan demi mencapai kepentingan tertentu.

Kajian tentang komunikasi massa yang beririsan dengan politik tidak hanya relevan, tetapi juga krusial untuk mengetahui dinamika kekuasaan dan keterlibatan masyarakat dalam sistem demokrasi. Dengan mempelajari fungsi media massa, kita dapat mengevaluasi sejauh mana media mendukung atau justru menjadi tantangan dalam berjalannya demokrasi. Selain itu, pendekatan kritis dalam pembahasan ini dibutuhkan untuk menemukan solusi dari tantangan seperti disinformasi, bias, dan pergolakan politik yang semakin marak pada era digital saat ini.

Selanjutnya, komunikasi massa juga menjadi inisiator dalam proses framing isu-isu politik. Framing merupakan cara media menyusun dan menyajikan informasi sehingga membangun persepsi masyarakat terhadap suatu isu. Dalam politik, framing dapat dipakai untuk menguatkan atau bahkan menjatuhkan posisi aktor politik tertentu. Contohnya, media yang berpihak dapat memanipulasi narasi tentang kebijakan pemerintah, konflik politik, atau kampanye pemilu untuk memengaruhi opini publik sesuai dengan agenda tertentu. Kondisi ini mencerminkan bagaimana media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai figur politik yang memiliki kepentingan tertentu.

Selain itu, media massa juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Lewat media, masyarakat dapat memperoleh informasi tentang hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga, proses politik seperti pemilihan umum, serta kebijakan publik yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, media massa berperan sebagai sarana pendidikan politik yang efektif, khususnya di negara-negara dengan partisipasi politik yang rendah. Akan tetapi, kesuksesan ini bergantung pada seberapa baik media bisa menyajikan informasi yang objektif, akurat, dan seimbang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam politik, media massa seringkali dimanfaatkan sebagai alat untuk berpropaganda. Sejak berjalannya pemerintahan otoriter hingga era demokrasi saat ini, penguasa telah memanfaatkan media massa untuk menyebarkan ideologi, memperkuat legitimasi, dan mengendalikan opini publik. Di negara yang menerapkan sistem demokrasi, media sering kali berfungsi sebagai arena persaingan ideologi antara berbagai kepentingan politik. Ini mengindikasikan bahwa komunikasi massa tidak pernah benar-benar netral; selalu terperangkap dalam dinamika kekuatan politik, ekonomi, dan sosial.

Perkembangan media digital semakin menekankan fungsi komunikasi publik di dalam politik. Platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram telah menjadi sarana kampanye yang signifikan bagi para politisi, khususnya dalam menjangkau generasi muda yang lebih terlibat di dunia digital. Namun, media sosial juga menghadirkan tantangan baru seperti fenomena "filter bubble" dan "echo chamber," di mana algoritma cenderung memperlihatkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Kondisi ini dapat memperburuk polarisasi politik karena masyarakat hanya mendengarkan informasi yang mendukung pandangan mereka, tanpa mempertimbangkan perspektif lain.

Oleh sebab itu, sangat krusial untuk terus mengeksplorasi peranan komunikasi massa dalam dunia politik dengan pendekatan yang komprehensif. Penelitian ini mencakup analisis media konvensional dan digital, serta mengamati dinamika kekuasaan, etika jurnalistik, dan dampaknya terhadap masyarakat. Dengan cara ini, kita dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk menciptakan komunikasi massa yang lebih terbuka, transparan, dan mendukung proses demokrasi yang baik. 

Pada kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tahun 2019, media di Indonesia memperlihatkan perbedaan yang jelas dalam cara membingkai isu itu. Revisi ini memicu kontroversi karena dianggap oleh banyak kalangan sebagai usaha untuk melemahkan KPK, sebuah institusi yang dipandang sebagai simbol utama dalam penanggulangan korupsi di Indonesia. Dalam diskusi yang mengangkat tema revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ini, teori yang sesuai untuk mengintegrasikan pembahasan ini adalah teori Framing. Teori framing yang dikemukakan oleh Robert Entman menjelaskan bahwa media tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga "membingkai" suatu permasalahan dengan menekankan aspek-aspek tertentu dan mengesampingkan yang lainnya. Dalam konteks ini, framing berpengaruh pada cara audiens memahami, menilai, dan merespons suatu isu. Media memanfaatkan elemen-elemen seperti bahasa, perspektif, dan narasi tertentu untuk membimbing opini publik menuju tujuan yang diinginkan. Berikut ini adalah cara media menerapkan framing dalam melaporkan isu ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun