Pola curah hujan yang berubah dapat mempengaruhi ketersediaan air suatu daerah. Salah satu faktor yang memainkan peran besar dalam perubahan cuaca ini adalah fenomena yang dikenal sebagai El Nio.
El Nio adalah anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah. Fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan laut di wilayah ini lebih hangat dari biasanya. Fenomena ini mempengaruhi sistem sirkulasi atmosfer dan mengubah pola angin di seluruh dunia.
Di Indonesia, El Nio menyebabkan perairan yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari suhu normalnya. Perubahan ini menyebabkan penguapan, serta membuat awan dan hujan bergeser menjauh dari Indonesia. Itulah sebabnya El Nio menyebabkan curah hujan yang rendah, yang pada akhirnya meningkat risiko kekeringan.
Peristiwa El Nio terjadi secara tidak teratur dengan interval dua hingga tujuh tahun. Namun, El Nio bukanlah siklus yang teratur, sehingga kemunculannya tidak dapat diprediksi.
Sekilas Tentang El Nio
El Nio adalah "fase hangat" dan merupakan bagian dari fenomena yang lebih besar yang disebut El Nio-Southern Oscillation (ENSO). Sementara "fase dingin" disebut La Nia.
Dalam fase El Nio, angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Sementara pada fase La Nia, hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Bagi Indonesia, hal ini bisa meningkatkan risiko banjir dan lebih banyak badai tropis.
Istilah El Nio berasal dari bahasa Spanyol yang berarti "anak laki-laki". Jika menggunakan huruf kapital, El Nio berarti Anak Yesus, dan digunakan karena fenomena tersebut sering terjadi menjelang Natal.
Kondisi yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan di lepas pantai Peru, yang mengamati penampakan air hangat yang luar biasa.
Bagaimana El Nio Mempengaruhi Curah Hujan?
Untuk memahami perkembangan El Nio, penting untuk memahami kondisi non-El Nio di Samudera Pasifik.
Biasanya, angin pasat yang kuat bertiup ke arah barat melintasi Pasifik tropis, wilayah Samudra Pasifik yang terletak di antara Tropic of Cancer dan Tropic of Capricorn. Angin ini mendorong air permukaan yang hangat menuju Pasifik barat, yang berbatasan dengan Asia dan Australia.
Karena angin pasat yang hangat, permukaan laut biasanya lebih tinggi sekitar 0,5 meter dan 7,2 C lebih hangat di Indonesia dibandingkan di Ekuador. Pergerakan air hangat ke arah barat menyebabkan air dingin naik ke permukaan di pantai Ekuador, Peru, dan Chili. Proses ini dikenal sebagai upwelling.
Upwelling mengangkat air dingin yang kaya nutrisi ke zona eufotik, lapisan atas lautan. Proses upwelling juga mempengaruhi iklim global. Suhu laut yang hangat di Pasifik bagian barat berkontribusi terhadap peningkatan curah hujan di sekitar pulau Indonesia dan Papua New Guinea.
Tapi, selama peristiwa El Nio, angin pasat yang bertiup ke arah barat melemah di sepanjang Khatulistiwa. Perubahan tekanan udara dan kecepatan angin ini menyebabkan air permukaan yang hangat bergerak ke arah timur sepanjang Khatulistiwa, dari Pasifik barat hingga pantai Amerika Selatan bagian utara.
Air permukaan yang hangat ini memperdalam termoklin, lapisan dalam perairan laut yang memisahkan air permukaan yang hangat dari air dingin di bawahnya. Saat terjadi El Nio, termoklin bisa turun hingga kedalaman 152 meter.
Lapisan air hangat yang tebal ini tidak memungkinkan terjadinya upwelling secara normal. Tanpa adanya upwelling, hujan tidak turun seperti biasanya di Indonesia.
Sederhananya, El Nio membawa hujan ke Amerika Selatan dan menyebabkan kekeringan di Indonesia. Kekeringan ini mengancam pasokan air, karena air waduk mulai berkurang dan aliran sungai menjadi rendah. Pertanian, yang bergantung pada air untuk irigasi juga terancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H