hujan di bukit Samata
Berlomba dengan degub
Di bawah atap mata memandang
Tak bosan bertemu pandang
Malu terucapkan
Andaikan hujan adalah manusia,
Dia itu ibu yang pelukannya
Mendekap dekat dengan gairah
Lalu hujan di bukit Samata
Mengilaukan kerikil bak kaca
Mengalir menuju jauh
Dan kosata yang tak terucapkan
Akankah sepasang lengan mampu menghalau
Seluruh badan dari dingin dan gejolak sekalian?
Atau hujan begitu bising
Untuk puisi yang senyap
Yang lupa cara berbasa-basi.
Lalu saat hujan di bukit Samata semakin menggempur atap berkarat,
Yang gugur dalam pesta itu
Adalah daun-daun kering, ranting menguning, angan yang menjadi ringan serta nyali yang ciut.
hujan telah redah,
Belum ada pelukan yang berani diterjemahkan.
Kita berpikir
Bisa saja genangan di ceruk bebatuan bukit Samata
Adalah tanda:
Mungkin menjadikan doa sebagai payung
Agar kita tak usah tertahan hujan
Yang memaksa kita harus menetap
Di bawah atap
Dan tak bosan bertemu pandang,
Namun malu terucapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H