Kerbau yang buntal itu
pecah perutnya,
keluar kupu-kupu bertubuh manusia.
Dia yang terbang menantang
singa berwujud bayi bernama Wilhelm di gurun sahara,
menginjak perutnya
dan berteriak lantang di tengah badai pasir yang bising
"Tuhan masih hidup!"
 Lantas, dari mana aku punya kuasa menginjak perutmu dengan kaki beraroma surga, bila memang tidak?
Tuturnya.
Dia adalah ibu yang memiliki rahim dari selaput daun murbei.
Dia konon menjelma api di titik pusar, dan menggidik pada tengkup kupu-kupu yang berparas seorang anak.
Angin debu bagai ngilu sepasang bilah bambu
Dia menatap dengan prihatin sekeliling
 "tak ada kupu-kupu, yang dapat hidup dan mencari arti hidup pada lingkup suram begini," tuturnya.
Wilhelm ditinggalkan semestinya seonggok mayat,
Dia terbang ke taman kupu-kupu
menuju teluk Meksiko, tempat Hemingway sebelum menembak kepalanya, dan menceritakan
Nelayan tua
yang ngidam ikan Marley.
Kupu-kupu dapat terbang melintang, mereka bebas tetapi
bergantung dengan susu kehidupan.
Susu beraroma madu yang berasal dari puting Dewi Bumi, yang diterjemahkan ke dalam bunga-bunga.
Namun setiba Dia di bibir pantai,
di dekat perahu
di samping kepala Marley yang tersisa tulang, dia bertutur berdada lebar: "laut adalah taman bungaku".
Laut adalah sarang pengetahuanku.
Pengetahuan laut yang tajam
dapat menusuk lidah, mata meram-mejam, bahkan terisis percikannya
ruam badan seutuh.
"benar, aku minum susu dari puting yang asin," tuturnya. "puting penuh keringat dan menetes darah, yang bekerja siang malam demi membeli parfum beraroma surga, untuk kakinya."
Aku kupu-kupu yang menyelami lautan pengetahuan.
Aku kupu-kupu, pingin menyentuh pangkal laut, memasuki
rahim pengetahuan, lalu memakan apel dari taman
yang konon
telah dianggap hilang
ditelan lautan
oleh jam digital seorang remaja bernama Wilhelm.
Juni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H