Mohon tunggu...
Tirta Agung
Tirta Agung Mohon Tunggu... -

Cuma orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alkisah Anak Bernama Indonesia

8 Agustus 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua itu berawal kala seorang anak yang bernama Indonesia masuk TK, ia diajarkan melukis bahwa gunung itu kudu berbentuk segitiga tempat terbitnya matahari, dan bila saatnya mewarnai haram keluar garis. Menginjak SD, Indonesia diperkenalkan membaca seperti berikut, “Ini Budi; Ini bapak Budi; Ini ibu Budi; Bapak pergi bekerja ke kantor, dan Ibu bekerja memasak di dapur” (umumnya waktu menerangkan ketiga kalimat barusan disertai analogi gambar, yang menarik ialah ilustrasi bapak budi lengkap mengenakan dasi serta menenteng koper, berada di dalam nyamannya sebuah ruangan ber-‘AC’, bermeja dan berkomputer, bayangkan imbasnya buat seorang anak tukang becak?). Memasuki kelas tiga, diperkenalkanlah Indonesia ‘trik’ sukses menjadi ‘ensiklopedia berjalan’. Jika mempelajari ilmu-ilmu sosial, maka tahun-tahun dan perkataan oranglah yang dihafal. Namun bila itu ilmu-ilmu alam serta matematika, genaplah target hafalannya adalah rumus-rumus. Keadaan tersebutpun kekal dibawa si anak tadi sampai perguruan tinggi.

Tapi tunggu dulu sebab dipertengahan masa SMA (harap maklum di samping sistem pendidikan yang sentralistis, biasanya di bumi nusantara ganti menteri ganti kebijakan, sehingga sekarang mungkin kelas dua, dulu kelas 3, entah lusa), Indonesia akan dihadapkan dengan salah satu situasi terpenting bagi hidupnya. Ketika ini, yang bernilai tinggi alias mereka yang diakui pintar boleh memilih penjurusan, entah ilmu pengetahuan alam (IPA, disinilah calon-calon dokter, arsitek dan insinyur diharapkan terbentuk) ataupun ilmu pengetahuan sosial (IPS, inilah tempat ahli-ahli hukum, ketata-negaraan, beserta cendekia-cendekia kategori ilmu-ilmu sosial lainnya, termasuk ekonom-ekonom handal Indonesia awalnya digodok), sedangkan siswa bernilai rendah (guru-guru kerap mencap mereka sebagai anak-anak lambat, bodoh serta nakal) spontan masuk IPS. Biasanya berdasarkan anjuran orang tua kandung, juga orang-orang dituakan lainnya, mereka (siswa-siswa bernilai tinggi, alias pintar) patuh juga bergabung di kelas IPA yang bergengsi dan “bonafide” (lihat lampiran 5.). Berkat kepandaian dan pula titah ibu-bapaknya, yang kebetulan kedua-duanya berprofesi sebagai dokter, Indonesiapun bergabung dengan kelas IPA.

Sekelarnya menamatkan SMA, si anak dipertemukan ke satu lagi peristiwa penentuan (malah paling besar dampaknya guna masa depan hidupnya), karena sudah tiba waktunya memilih penjurusan di perguruan tinggi. Sedikit di antara mereka yang memilih lantaran minat serta bakatnya, lazimnya hanya mengikuti trend, ajakan teman, anjuran kerabat dan keluarga, maupun termakan rayuan manis promosi fakultas-fakultas banyak universitas di Indonesia. Namun beruntung buat anak IPA sebab dianugerahi keleluasan pilihan yang tersedia, sementara siswa-siswi IPS di benturkan pada keterbatasan ruang.

Karena bercita-cita menjadi pengusaha besar yang kaya raya, Indonesia akhirnya memilih Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas terkemuka sebagai jalan hidupnya. Berubahlah statusnya yang siswa barusan, berganti ‘mahasiswa’. Masih melekatkan metode-metode hafalan andalan di otaknya, berusahalah Indonesia lulus dengan waktu secepat-cepatnya (umumnya 3,5-4 tahun), serta indeks prestasi kualitatif (IPK) setinggi-tingginya. Alhasil, Indonesia cuma membaca apa yang diajarkan guna kebutuhan tes dan mengerjakan segala yang diperintahkan dosennya. Lantas kala menyusun tugas akhir laksana skripsi, sengajalah ia mencari topik yang termudah, kalau bisa ya tinggal “copy-paste” saja kepunyaan kakak angkatannya. Setidaknya, kita mesti mengacungkan dua jempol bagi ketaatan, jua kelihaian pelajar-pelajar bangsa ini. Tiga setengah tahun bergulir, dan bergelarlah Indonesia kita itu sarjana yang siap tempur dikejamnya dunia. Tapi sayangnya bukan untuk memimpin dan menuangkan ide-ide brilian guna menjadi pengusaha besar yang kaya raya, namun hanyalah menjadi buruh-buruh profesional yang patuh. Maka jangan tanyakan lantas nasib anak serta cucu-cucu Indonesia kelak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun