Mohon tunggu...
Setya Tri We Nardhy
Setya Tri We Nardhy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Psikoanalisis dalam Memahami Fenomena LGBTQ+ di Indonesia

13 Desember 2023   21:28 Diperbarui: 13 Desember 2023   22:19 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin dinamis, perdebatan seputar hak-hak LGBTQ+ dan pengakuan identitas gender semakin menarik perhatian. Fenomena ini menciptakan kebutuhan untuk memahami secara lebih mendalam dinamika psikologis individu LGBTQ+ di tengah budaya Indonesia yang kaya dan beragam. Berdasarkan web berita yang ditulis oleh (Andreas, 2017) pada web liputan6.com bahwa ada sekitar 4 kasus LGBT yang terjadi di Indonesia telah disoroti oleh dunia.

Peran psikoanalisis dalam memahami fenomena LGBTQ+ di Indonesia adalah untuk mengungkap dan menjelaskan dorongan-dorongan bawah sadar, terutama yang berkaitan dengan seksualitas, yang mempengaruhi perilaku dan identitas seksual dan gender dari individu-individu yang termasuk dalam kelompok LGBTQ+. 

Psikoanalisis juga dapat membantu individu-individu tersebut untuk mengatasi konflik-konflik psikologis yang mungkin dialami akibat tekanan sosial, budaya, agama, atau hukum yang tidak mendukung atau bahkan menentang eksistensi mereka.

Psikoanalisis adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, yang menganggap bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar, terutama yang berkaitan dengan seksualitas. Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan superego. 

Freud juga mengemukakan lima tahapan perkembangan psikoseksual, yaitu fase oral, anal, phallic, latent, dan genital, yang berlangsung sejak lahir hingga dewasa. Pada setiap tahapan, individu mengalami konflik antara id dan superego, yang harus diselesaikan oleh ego. Jika konflik tidak terselesaikan dengan baik, individu dapat mengalami fiksasi, yaitu tertinggal pada tahapan tertentu, atau regresi, yaitu kembali ke tahapan sebelumnya, yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan psikologis, termasuk gangguan seksual dan gender.

Fenomena LGBTQ+ di Indonesia adalah fenomena yang menunjukkan keberadaan dan keberagaman kelompok-kelompok minoritas seksual dan gender di Indonesia, yang menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dalam mewujudkan hak-hak dan kesejahteraan mereka. 

Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sejarah, budaya, agama, politik, hukum, media, dan lain-lain, yang dapat bersifat mendukung atau menentang eksistensi LGBTQ+ di Indonesia. Berdasarkan fenomena tersebut didapatkan data dari penelitian yang dilakukan oleh (Siyoto, 2014) terdapat bahwa jumlah gay di Indonesia mencapai angka 20.000 orang, sedangkan para ahli dan PBB menyebutkan peningkatan jumlah gay dari tahun 2010 diperkirakan 800 ribu menjadi 3 juta pada tahun 2012.  Di Jakarta diperkirakan terdapat sekitar 5 ribu gay dan di Jawa Timur terdapat 348 ribu gay dari 6 juta penduduk Jawa Timur.

Melalui eksplorasi peran psikoanalisis dalam memahami fenomena LGBTQ+ di Indonesia, dalam pembahasan kali ini berusaha memberikan kontribusi pada literatur psikologis dan sosial serta merangsang diskusi lebih lanjut tentang inklusivitas dan keberagaman dalam masyarakat Indonesia.

Psikoanalisis adalah salah satu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, yang berfokus pada pengaruh alam bawah sadar, hasrat seksual, dan konflik psikis dalam perilaku manusia. Psikoanalisis juga memiliki konsep tentang tahapan perkembangan psikoseksual, yang menurut Freud, menentukan orientasi seksual seseorang.

Indonesia, dengan keragaman budaya dan nilai-nilai sosialnya, menjadi saksi perkembangan fenomena LGBTQ+ yang semakin kompleks. Tantangan utama dalam memahami dan mendukung individu LGBTQ+ adalah meresapi lapisan-lapisan bawah sadar mereka, dan inilah di mana psikoanalisis menjelma sebagai alat yang kuat.

Fenomena LGBTQ+ di Indonesia adalah isu yang kontroversial dan sensitif, karena bertentangan dengan norma-norma sosial, budaya, dan agama yang berlaku di masyarakat. Banyak orang yang menganggap LGBTQ+ sebagai penyimpangan, gangguan jiwa, atau pilihan gaya hidup yang tidak sehat. Namun, ada juga orang yang mendukung hak asasi dan keberagaman LGBTQ+, serta menganggap mereka sebagai bagian dari masyarakat yang harus dihormati dan diterima.

Psikoanalisis, yang diperkenalkan oleh Freud, menawarkan wawasan mendalam ke dalam perjalanan bawah sadar individu. Dalam konteks LGBTQ+ di Indonesia, pemahaman mengenai identitas seksual dan perjalanan perkembangan diri menjadi landasan kritis. Psikoanalisis membuka pintu untuk menjelajahi konsep identifikasi, di mana individu mencari model atau figur untuk membentuk dan memahami identitas seksual mereka.

Dari perspektif psikoanalisis, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi terbentuknya identitas seksual seseorang, seperti faktor biologis, lingkungan, pergaulan, tontonan, budaya, dan lain-lain. Salah satu faktor yang dianggap penting adalah fase phallic, yang terjadi pada usia 3 sampai 5 tahun. Pada fase ini, anak mulai menyadari perbedaan jenis kelamin dan mengalami kompleks Oedipus atau Elektra, yaitu ketertarikan seksual terhadap orang tua lawan jenis dan permusuhan terhadap orang tua sejenis. Jika fase ini tidak terselesaikan dengan baik, maka anak bisa mengalami konflik identitas seksual dan cenderung menjadi LGBTQ+.

Namun, psikoanalisis bukanlah satu-satunya teori yang bisa digunakan untuk memahami fenomena LGBTQ+. Ada juga teori-teori lain, seperti teori biologis, teori sosial, teori kognitif, teori humanistik, dan lain-lain. Setiap teori memiliki kelebihan dan kekurangan, serta sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian yang komprehensif dan kritis, serta menggunakan berbagai sumber dan referensi yang relevan dan valid, untuk membuat makalah yang berkualitas dan objektif.

Pentingnya pemahaman ini menjadi jelas ketika kita menyaksikan konflik internal yang mungkin dihadapi individu LGBTQ+ di tengah norma sosial yang mungkin bertentangan dengan identitas mereka. Psikoanalisis membantu menguraikan dinamika kompleks ini, menggali konflik bawah sadar dan pertahanan psikologis yang dikembangkan untuk mengatasi tekanan identitas.

Stigmatisasi terhadap komunitas LGBTQ+ adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Bagaimana individu merespon dan menginternalisasi stigmatisasi ini, membentuk dasar pemahaman psikoanalisis. Melalui pemahaman akan konsep-konsep seperti penolakan diri, proyeksi, dan mekanisme pertahanan, kita dapat merinci bagaimana stigmatisasi menciptakan bekas bawah sadar yang mendalam.

Dalam konteks budaya Indonesia yang kaya, psikoanalisis berfungsi sebagai peta untuk menjelajahi dinamika bawah sadar yang terkait dengan nilai-nilai budaya dan agama. Bagaimana individu merespon norma-norma sosial dan pengaruh keluarga dalam merancang identitas mereka dapat ditemukan dalam analisis psikoanalisis yang mendalam. Namun, lebih dari sekadar pemahaman, psikoanalisis memberikan dasar untuk intervensi dan dukungan yang lebih baik. Dengan menggali konflik bawah sadar dan mekanisme pertahanan yang digunakan individu, praktisi psikologi dapat merancang pendekatan terapeutik yang lebih terfokus dan efektif.

Langkah-langkah praktis seperti meningkatkan dukungan keluarga, memberikan ruang aman untuk berbicara, dan mengurangi stigmatisasi melalui pendidikan adalah bagian integral dari peran psikoanalisis dalam mendukung komunitas LGBTQ+ di Indonesia. Psikoanalisis tidak hanya mengajak kita untuk memahami, tetapi juga untuk bertindak.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengembangan kesadaran masyarakat tentang realitas kompleks LGBTQ+ di Indonesia adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih inklusif. Psikoanalisis, dengan pendekatannya yang holistik, membimbing kita untuk tidak hanya melihat ke permukaan masalah, tetapi juga meresapi ke dalam bawah sadar yang menciptakan kisah yang tak terlihat.

Sebagai sebuah negara yang terus berkembang, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi model inklusivitas dan penghargaan terhadap keragaman. Melalui peran psikoanalisis, kita dapat membuka pintu untuk pemahaman yang lebih dalam, yang pada gilirannya akan membantu menciptakan masyarakat yang tidak hanya menerima, tetapi juga menghargai keberagaman dan kompleksitas individu.

KESIMPULAN

Dalam merangkum peran psikoanalisis dalam memahami fenomena LGBTQ+ di Indonesia, kita menemukan bahwa psikoanalisis tidak hanya sekadar alat analisis psikologis, tetapi juga sebuah panduan untuk tindakan dan perubahan. Di tengah dinamika masyarakat Indonesia yang kompleks, di mana norma-norma budaya dan sosial memainkan peran besar dalam membentuk identitas individu, psikoanalisis memberikan cahaya pada lapisan-lapisan bawah sadar yang membentuk realitas ini.

Psikoanalisis memberikan pemahaman mendalam tentang proses identifikasi dan konflik bawah sadar yang mungkin dihadapi individu LGBTQ+. Ini menciptakan dasar untuk tidak hanya menerima perbedaan, tetapi juga merangkul dan memahami kompleksitas pengalaman psikologis setiap individu.

Pentingnya meresapi stigmatisasi dan dampaknya yang mendalam adalah sebuah panggilan untuk tindakan. Psikoanalisis membantu kita merinci bagaimana individu merespon stigmatisasi dan bagaimana kita dapat merancang intervensi yang lebih efektif. Langkah-langkah praktis, seperti meningkatkan dukungan keluarga, menciptakan ruang aman, dan memberikan pendidikan untuk mengurangi stigmatisasi, bukan hanya berbicara tentang perubahan, tetapi mewujudkannya.

Ketika kita menempatkan psikoanalisis dalam konteks budaya Indonesia yang beragam, kita menemukan bahwa ia berfungsi sebagai peta yang membimbing kita melalui dinamika bawah sadar yang unik. Penerapan psikoanalisis menjadi jembatan antara teori dan realitas, membantu kita memahami pengaruh nilai-nilai budaya dan agama terhadap identitas individu LGBTQ+.

Namun, peran psikoanalisis tidak berhenti pada pemahaman semata. Ia menjadi pendorong untuk merancang masyarakat yang lebih inklusif dan penuh penghargaan terhadap keberagaman. Kesadaran akan kompleksitas LGBTQ+ di Indonesia, didukung oleh pendidikan dan advokasi yang terinformasikan oleh prinsip psikoanalisis, adalah kunci menuju masyarakat yang lebih adil.

Sebagai sebuah panggilan untuk tindakan, pengetahuan tentang peran psikoanalisis dalam konteks LGBTQ+ di Indonesia menjadi sebuah instrumen untuk perubahan yang lebih besar. Dengan demikian, kita dapat membuka jalan menuju masyarakat yang menerima, menghormati, dan menghargai setiap individu tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka. Psikoanalisis, dengan kekuatannya yang holistik, merangkul kompleksitas kemanusiaan dan menjadi kompas untuk perjalanan menuju inklusivitas sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun