Mohon tunggu...
Tiopan Sipahutar
Tiopan Sipahutar Mohon Tunggu... Konsultan - Doktor Kesehatan Masyarakat

TIOPAN SIPAHUTAR, merupakan lulusan Doktor Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia. Berhasil menyelesaikan pendidikan doktor dalam 2,5 tahun, Tio (sebagai nama panggilan) sudah aktif meneliti dan bahkan menjadi aktivis penanganan stunting di beberapa wilayah di Indonesia. Hingga saat ini, aktif menjadi pengajar tidak tetap di FKM UI, menulis buku dan artikel kesehatan, dan menjadi konsultan untuk lembaga non pemerintah dan pemerintah. Beliau sudah menerbitkan beberapa tulisan ilmiah terkait stunting dan juga buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Ada Ibu yang Paling Baik di Dunia?

15 Agustus 2017   17:48 Diperbarui: 16 Agustus 2017   15:36 1815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eit! Jangan dijawab dulu pertanyaannya. Mungkin ada yang menjawab, "saya ibu yang paling baik di dunia".

Hmm... tunggu dulu. Sabar. Jangan ke-pede-an dan jangan ke-ge-er-an. Belum tentu kamu ibu yang paling baik di dunia dalam kesepakatan bersama seluruh ibu di dunia. Bagi suamimu atau anakmu atau saudaramu, mungkin kamu adalah ibu yang paling baik di dunia, tetapi bagi orang lain mungkin saja kamu bukan yang terbaik atau bahkan dunia tidak mengenal kamu. So, jangan ge-er dulu J.

Saya tergelitik membaca sekilas judul dari suatu tulisan di medsos; seorang perempuan menulis bahwa ibu yang paling baik adalah ibu yang melahirkan secara normal. Adalagi yang menulis, ibu yang paling sempurna adalah ibu yang bisa bangun pagi untuk memasak dan membuat bekal anak. Adalagi yang menuliskan, ibu yang paling baik adalah ibu yang sama sekali tidak memakai jasa asisten rumah tangga alias mengerjakan segala sesuatunya sendiri, dan masih banyak lagi kriteria-kriteria yang dituliskan oleh banyak perempuan di jagad medsos.

Memang perempuan itu diciptakan oleh Tuhan dengan tubuh kuat pada porsi perempuan yaitu diberi kekuatan untuk hamil, melahirkan, menyusui, mengurus seluruh urusan rumah, kadang tidur kadang tidak tidur, dan masih banyak lagi yang menguras tenaga dan pikirannya. Akan tetapi, secara umum tidak ada manusia yang sempurna termasuk perempuan atau seorang ibu.

Sekuat-kuatnya seorang ibu, pasti pernah merasa lelah. Sekuat-kuatnya seorang ibu, pasti pernah merasa jenuh dengan rutinitas yang sama; baik dia seorang ibu yang berkarir di kantor ataupun yang berkarir di rumah. Jika kamu membantah ini, mungkin kamu satu-satunya perempuan di dunia ini yang memiliki sayap.

Anehnya, dengan keadaan yang perempuan yang kuat tetapi lemah, perempuan jugalah yang saling menghakimi satu sama lain. Ada ibu yang merasa lebih baik dibandingkan tetangganya karena dengan anak lebih dari satu, bisa mengerjakan semua sendiri dan masih sempat nongkrong dan bermedos gembira. Ada ibu yang merasa lebih baik dari yang lain hanya karena anaknya sudah bisa membedakan huruf dan angka pada usia dua tahun sedangkan anak orang lain asik bermain saja. 

Ada ibu yang merasa lebih baik karena melahirkan secara normal kelima orang anaknya sedangkan ibu sana melahirkan dengan SC. Ada ibu yang merasa lebih hebat, karena punya asisten lima orang untuk mengurus tiga orang anaknya. Ada ibu yang merasa lebih hebat dibanding ibu yang lainnya karena anaknya langganan juara olimpiade matematika sejagad raya. Siapa yang menciptakan kriteria-kriteria ini? Ya, Ibu itu juga. Perempuan itu juga. Istilahnya sesama perempuan makan perempuan.

Bagi saya, di dunia per-ibu-an, tidak ada ada persaingan antar sesama ibu selain saling mengisi dan berbagi hal yang baik. Sungguh aneh, jika seorang ibu melakukan satu hal hanya untuk bersaing dengan ibu yang lain. Jika demikian yang terjadi, betapa rendahnya menjadi seorang ibu? Memang tidak aneh bagi saya, jika perempuan makan perempuan. 

Pengalaman saya bertahun-tahun pulang pergi ke kantor dengan menggunakan KRL, seringkali yang justru tidak memiliki belas kasihan kepada ibu hamil adalah perempuan itu sendiri. Boro-boro kasih tumpangan, melirik saja pun dia ogah dan malahan menutup mata dengan koran atau berpura-pura tidur-syukur-syukur masih ingat bangun. Miris tetapi itu fakta.

Menjadi seorang ibu, lebih dari sekedar membandingkan diri sendiri dengan ibu yang lain. Seharusnya, seorang ibu malu jika menyatakan dirinya lebih baik dari yang lainnya, karena memang tidak ada yang sempurna di muka bumi ini. Jika kamu bisa melahirkan normal saat ini, belum tentu anak kamu selanjutnya bisa dilahirkan normal. Jika anak kamu bisa membaca usia dua tahun, belum tentu pada usia lima tahun dia suka membaca. 

Jika saat ini kamu bisa mengerjakan rumahmu seluas 500m2 seorang diri, belum tentu bulan depannya tulang-tulang kamu masih kuat mengerjakannya sendiri. Jika saat ini kamu bisa punya asisten sepuluh orang, belum tentu besok kesepuluh orang ini tidak menikam kamu dari belakang. Heiii, tidak ada yang pasti di dunia ini selain ketidakpastian itu sendiri. Tidak ada kesempurnaan terjadi di dunia selain Dia yang menciptakan dunia ini.

Kamu, dia dan saya, belum layak disebut atau menyebutkan diri sebagai ibu yang paling baik. Semua ibu yang sejati pasti belajar menjadi ibu yang baik. Saya sangat yakin, semua ibu diciptakan dengan kekuatan yang penuh dalam konteksnya sebagai perempuan tetapi seringkali dalam banyak hal, jauh di dalam lubuk hati banyak perempuan ada "sesuatu" yang entah itu disebut apa, yang dapat mengganggu proses kita menjadi ibu yang lebih baik. 

Keluaran dari sesuatu ini bisa berupa iri hati, sombong, ingin menjadi hakim, merasa diri lebih baik dan keluaran yang mirip-mirip lainnya. Biasanya, kalau udah begini, ibu lebih banyak memperhatikan orang lain. Tetapi bukannya untuk belajar malahan untuk cari kelemahan ibu lain, mencibir lalu menggosip. Saat ini terjadi, inilah menjadi kelemahan seorang ibu. Dibandingkan lelaki, mereka lebih cenderung cuek akan sekitarnya.

Sehingga, bagi saya, menjadi ibu yang baik itu adalah yang terus berjuang menyingkirkan "sesuatu" dari dirinya. Jika kita terus berjuang menyingkirikan "sesuatu" itu, maka mustahil kita berani menyebut diri kita lebih baik dari ibu yang lain hanya karena melahirkan normal, hanya karena menyusui selama dua tahun atau hanya karena tidak punya asisten. Maka, jika kita berhasil menyingkirkan "sesuatu" itu, kita pun pasti lebih baik lagi menjadi seorang ibu maupun menjadi teman bagi para ibu lainnya.

Selamat menyingkirkan "sesuatu". Kita semua, para ibu, adalah baik pada konteks masing-masing.

Salam sejawat!

sumber: funcap.com
sumber: funcap.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun