Mohon tunggu...
Tio Nugraha
Tio Nugraha Mohon Tunggu... -

Penjaga Kamar Kost Mertua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sublimasi Politik Pecandu

17 Maret 2016   09:54 Diperbarui: 17 Maret 2016   10:34 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Tulisan ini sudah dimuat disalah satu media cetak di daerah, sengaja saya share di kompasiana untuk menperkaya wahana dan wacananya)

 Fenomena paling sublim pada era demokrasi pasca reformasi di Indonesia ialah Pilkada. Pilkada merupakan pemilihan umum dalam rangka memilih kepala daerah baik pada tingkatan Provinsi maupun Kabupaten atau Kota. Mengutip Huntington (2001) dalam bukunya “Demokrasi Amerika dalam Hubungannya dengan Asia” bahwa tujuan utama pemilihan umum adalah sebagai implementasi  perwujudan  kedaulatan  rakyat.

Menyimak perkembangan politik Sumatera Selatan, terselip kabar tidak mengenakan yang datang dari putra terbaik sekaligus tokoh pemuda di Sumatera Selatan yang beberapa hari kebelakangan ini baru saja terbelit masalah hukum karena terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkoba. Ia adalah Bupati termuda di Indoensia, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi yang terpilih pada Pilkada serentak 9 Desember 2015 dan baru dilantik pada 17 Februari 2016 sebagai Bupati Ogan Ilir 2016-2021 menggantikan ayahnya Mawardi Yahya.

Mengutip Anderson (2001) bahwa “memang proses demokrasi tidak dapat diramalkan, Oleh sebab itu, teori demokrasi pun menjadi kompleks dalam menjajagi dan meramalkan proses tersebut”. Dari pernyataan “tidak dapat diramalkan” tersebut menarik bagi penulis untuk mengutipnya karena mengilhami kita tentang ada fenomena apa di balik Pilkada?, Fenomena yang dicatat antaranya “usia”, sejumlah orang yang masih menginjak usia muda dengan mudahnya mengapai puncak tertinggi jabatan politik. Tentu ini merupakan prestasi dan karir yang luar biasa bagi individu-individunya serta bahkan pecah rekor sejarah bagi demokrasi dan perpolitikan Indonesia.

bahwa prestasi sejarah politik pilkada 2015 banyak memproduksi kepala-kepala daerah dari angkatan muda, namun dengan peristiwa pengebrekan serta penagkapan bupati Ogan Ilir tersebut seketika mereduksi segala prestasi demokrasi yang belum genap berusia satu bulan.

 

BUDAYA POLITIK

Tulisan ini tidak dibuat tendensius terhadap insiden politik lokal atau atas mental pejabat politiknya, melainkan sebagai refleksi  dari sistem demokrasi yang  terus diupayakan perbaikannya. Perbaikannya dapat dilihat dari setiap kali musim pelaksanaan Pilkada saat itu juga sontak Undang-undangnya mengalami perubahan.

Pertanyaannya, setiap kali ajek Undang-undang diubah yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas Pilkada apakah berbanding lurus dengan produksi kepemimpinan yang dihasilkannya. Tentu sebagai masyarakat awam akan mudah menjawab sembari menyibir.

Tidak hanya persoalan kasus Narkoba saja yang menjadi dasar kenyataan ini dipertanyakan, Karena dari 541 Kepala Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, tercatat hingga tahun lalu setidaknya ada 360 kasus yang membelit kepala daerah dan rata-rata kasusnya adalah korupsi. Dan mereka itu merupakan produksi dari Pilkada.

Dalam pendekatan agama, jika korupsi (maling) dan Narkoba (khomer) telah menjadi kebiasaan atau menjadi budaya dalam politik, maka teman-teman lainnya juga akan turut melembaga, sebut saja perzinahan dan pembunuhan. Bercermin dari pendapat Peter Burke (2001) Budaya politik merupakan seperangkat pengetahuan, gagasan, dan sentimen politik yang terdapat pada suatu masyarakat, suatu wilayah, dan pada periode tertentu. Selain itu budaya politik memperlihatkan cara pewarisan pengetahuan, gagasan, dan “sentimen” dari suatu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat.

Selanjutnya Burke menambahkan bahwa budaya politik dapat membentuk mentalitas suatu masyarakat. Atau sebaliknya, mentalitas suatu masyarakat dibentuk dan berasal dari budaya politik yang telah mentradisi.  Nauzhubillah, tentunya sebagai orang beriman kita akan lawan budaya politik yang seperti demikian karena pastinya kita tidak akan ridha masyarakat dan generasi setelah kita mewarisi budaya politik para pecandu dan kurup.

Meminjam pandangan Almond dan Sidney (1984) terkait dengan persoalan “budaya politik”, bahwa dalam budaya politik tidak hanya mencakup mengenai sistem dan orientasi politik saja, tetapi juga mencakup di dalamnya “sikap politik”. Dalam kamus bahasa Indonesia Sikap merupakan internalisasi kesadaran atau mentalitas. Jadi, kalau Iwan Fals mengatakan “masalah moral biar kami urus sendiri”, tentunya lirik ini tertuju kepada masyarakat (akar rumput), sedangkan untuk elit (pejabat politik) harusnya juga lebih serius mengurusi persoalan moral yang terlahir dari mental tersebut, disamping ketelanan sebagai pemimpin juga berefek luas bagi pertumbuhan politik dan demokrasi di Indonesia.

 

REKONSTRUKSI SISTEM PILKADA

Memasuki tahap kedua pilkada serentak tahun 2017 institusi penyelenggara serta pemerintah pusat bersama DPR harusnya mengaji hasil produksi Pilkada, bukan halnya pada segi kuantitas melainkan kualitas produk harus menjadi fokus pembahasan.

Paradigma yang dibangun, KPU sebagai institusi penyelenggara bukan halnya berperan sebagai “panitia hajatan”, sebab peran yang diambil selama ini layaknya sebagai event organizer (EO). Namun kenyataan politik kekinian, semestinya diberi peran ganda sebagai penyeleksi calon peserta Pilkada, Calon Kepala Daearah (Cakada). Mengingat kurangnya Partai Politik dalam hal kaderisasi kepemimpinan apalagi dari segi beberapa pengalaman Pilkada, Parpol hanya digunakan sebagai kendaraan para cakada pada musim Pilkada. Maka dari itu, perubahan Undang-undang Pilkada sudah harus mengarah kepada penguatan KPU.

Apalagi selama ini kita belum pernah mendengar KPU mendiskualifikasi pasangan calon dengan faktor yang sangat strategis terkecuali alasan teknis administrasi. Faktor staregis dimaksudkan berupa “mental  cakada,”.

Memang berbicara mental merupakan persoalan yang tidak berbentuk, sehingga tidak mudah mengukurnya secara presisi dan persis. Akan tetapi, dengan teknologi dan informasi tidak dapat menutup kemungkinan faktor strategis menjadi hujjah atau dalil KPU untuk mendiskualifikasi kandidat. Contohnya saja hasil dari kompresi pers Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait dengan penangkapan Nofiadi. Budi Waseso menyatakan bahwa BNN telah melakukan pengintaian secara tertutup terhadap Nofiadi selama tiga bulan, dan laporan yang masuk di BNN bahwa tersangka telah memiliki akses luas terkait suplai narkoba sejak masih menjadi Anggota DPRD Ogan Ilir.

Berarti, mencermati informasi dari BNN menunjukkan kepada kita bahwa tersangka masih belum manjadi Bupati dan tersangka telah “mengakses narkoba” belum turut berkompetisi di ajang pilkada Ogan Ilir. Statemen BNN tidak sampai disitu saja, bahwa BNN menyampaikan dengan segala kemahiranya mengatahui bahwa tersangka juga saat pelantikannya tanggal 17 Februari 2016 di PSCC Palembang dalam kondisi menggunakan Narkoba, jenis Sabu.

Rakyat berterima kasih dengan BNN yang secara konsisten telah melakukan penegakan hukum di Indonesia tanpa tebang pilih. Namun, insiden yang mencoreng nama baik lembaga politik – bupati ditangkap karena Narkoba – semestinya tidak perlu terjadi, jikalau sistem yang dibangun seperti pandangan di atas, karena melalui sistem tersebut dapat secara otomatis memberikan sinyal merah yang dapat mengugurkan “tersangka” dengan sendirinya dari kursi pencalonan kandidat.

Maka dari itu, penguatan KPU selaku institusi penyelenggara harus di arahkan kesana, khusus terkait dengan penetapan atau pembatalan calon Pilkada salah satu caranya KPU dapat bekerja sama melalui MoU terkait dengan “sharing informasi” baik melalui BNN termasuk dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau karena ini bersifat intelejen, seperti apa sistemnya masih bisa dicarikan cara yang lainnya.

Sebagai rakyat, dengan insiden memalukan tersebut, kita tidak menginginkan hal serupa kembali terulang pada produk Pilkada 2017. Mengingat peta politik 2017 khusus di Sumatera Selatan sudah mulai memanas dan beberapa bakal calon sudah memulai start reli-reli dengan menggunakan mesin politiknya. Dikhawatirkan, semisal Kepala Daerah atau pejabat politik dan lainnya yang pernah bergelut dengan anggaran Negara serta peruntukannya ‘terindikasi” bermasalah, namun karena kasusnya belum mencuat ke ranah publik, ia turut ikut serta sebagai cakada 2017 dan misalnya ia menang nantinya, sedangkan kasusnya selama proses perjalanan Pilkada terus bergulir, celakanya setelah terlantik malah ditetapkan sebagai tersangka. Justru insiden ini akan kembali mencoreng demokrasi pada umumnya dan pelaksanaan Pilkada pada khusunya.

 

PENUTUP

Tahapan Pilkada 2017 tinggal menghitung waktu, rakyat tidak menginginkan produksi gagal sama halnya produksi pada Pilkada 2015, pemimpin yang dilahirkan pada Pilkada berikutnya meski pemimpin yang benar-benar terlahir dari bitbit dan bobot unggul sehingga pada panen rayanya menghasilkan para pemimpin yang berkualitas.

Bukan zamannya lagi untuk mendebatkan usia kepemimpinan, untuk apa pemimpin muda tapi pecandu, atau pemimpin tua penuh pengalaman tapi korup. Pada akhirnya rakyat juga yang mengalami kerugian akibat kegagalan dalam produksi kepemimpinan.

Namun rakyat Indonesia memiliki jiwa yang besar sehingga dalam kondisi darurat seperti ini  masih tersimpan di relung hatinya sebuah harapan akan adanya perbaikan dalam sistem demokrasi.

Jika juga institusi atau lembaga politik tidak peka dan masih turut terlahir dalam rahim Pilkada politisi pencandu dan korup, maka sublimasi demokrasi akan benar terjadi. Dan Pilkada yang merupakan satu kesatuan paket dengan demokrasi, pada satu sisi berpijar menyinari serta menjadikan demokrasi bercahaya, namun pada satu sisi lainnya tatkala produksi Pilkada terus menerus mengalami kegagalan maka efek sublimnya akan menghancurkan serta mematikan demokrasi itu sendiri. Maka sekali lagi kami sampaikan bahwa sublimasi Pilkada sangat berbahaya bagi kehidupan politik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun