Pernahkah anda melihat cuplikan video selebriti mancanegara seperti Ariana Grande yang melakukan cover lagu 'Sial' milik Mahalini? Atau pernahkah anda menonton video meme Bapak Presiden RI, Prabowo Subianto merayakan kemenangan pemilunya dengan pengumuman bagi-bagi sprei gratis? Apabila iya, maka semua yang Anda lihat adalah video hoaks atau video bohong. Video hoaks tersebut dibuat dengan deepfake. Lantas, apa itu deepfake?
Deepfake adalah teknologi memanipulasi gambar, video, ataupun audio dengan menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk menciptakan konten yang membuat orang terlihat seperti melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dilakukan. Dengan teknologi deepfake, seseorang dapat mengganti wajah, maupun suara seseorang dengan orang lain. Â Dengan bantuan AI, Anda dapat dengan mudah mengganti wajah aktor terkenal seperti Tom Cruise menjadi wajah Anda sendiri, menarik bukan?
Cara kerja deepfake adalah dengan melakukan teknik pembelajaran mendalam (deep learning) dimana AI mengidentifikasi secara spesifik wajah dan raut wajah seseorang layaknya face detector, dan menggantinya dengan wajah orang lain. Dengan cara ini, wajah yang "ditempelkan" dengan wajah aslinya pun dapat mengikuti mimik dan raut wajah yang asli.
Tujuan awal dari teknologi ini adalah sebagai sarana hiburan dan komedi semata. Sebelum teknologi deepfake dikenal oleh masyarakat luas, para editor foto telah menggunakan teknik face-swapping beberapa tahun lalu. Teknik "menukar bentuk wajah" ini menggunakan aplikasi khusus seperti Adobe Photoshop, Photopea ataupun aplikasi edit foto lainnya. Tujuan dari face-swapping ini hanya untuk hiburan. Karena teknik ini mengharuskan editor foto mempunyai skill tinggi, maka jasa face-swapping biasa dibandrol dengan harga tinggi sehingga tak banyak menarik perhatian masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, AI mampu mengembangkan  kemampuannya hingga kearah manipulasi media, baik secara visual ataupun audio. Teknologi baru ini tak memerlukan skill edit foto yang tinggi sehingga masyarakat luas dapat mengaksesnya dengan mudah. Waktu pengerjaan oleh AI juga cenderung sangat lebih cepat dibanding editor foto. Kecepatan dan kemudahan akses inilah yang membuat deepfake menjadi sangat digemari dan digunakan oleh masyarakat luas.
Dikarenakan teknologi ini berevolusi dengan sangat cepat, masyarakat kini tidak bisa membedakan apakah video yang mereka tonton ialah asli atau video hoaks yang dibuat dengan teknologi deepfake. Hal itu menyebabkan potensi penyalahgunaan deepfake pada masyarakat. Deepfake kini digunakan untuk tujuan negatif, seperti video propaganda politik, ujaran kebencian, modus telefon palsu, bahkan hingga ke ranah fake porn. Kecanggihan yang tak terbatas inilah yang menyebabkan deepfake menarik perhatian para ahli hukum di Indonesia.
Mengutip dari pendapat Hendra Widjaya, S.H., M.Kn. dalam artikelnya yang berjudul Produk Hasil Artificial Intelligence dalam Hukum Indonesia Hukumonline, AI yang merupakan 'pencipta' teknologi tidak memenuhi unsur subjek hukum secara definisi. Hal itu disebabkan karena AI hanya berupa sebuah produk yang dihasilkan manusia, yang juga disebut creations of the mind oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Dikarenakan AI bukanlah subjek hukum, maka AI tidaklah bisa didakwa karena tindak pidana deepfake.
Namun, Prof. Dr. Ahmad M Ramli dalam artikelnya yang berjudul "Deepfake, Al-Crime", UU PDP, dan KUHP Baru justru berpendapat bahwa deepfake sebagai teknologi yang dilakukan oleh AI dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal itu terjadi karena AI memanipulasi gambar atau audio karena perintah daripada manusia yang merupakan subjek hukum itu sendiri (recht person). Hal ini sejalan dengan pasal 55 KUHP yang mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Tak hanya itu, Prof. Dr. Ahmad M Ramli juga berpendapat bahwa ketentuan terkait deepfake terdapat pada UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. UU PDP pada pasal 66 jo. pasal 68 prinsipnya melarang dan mengancam pidana, terhadap siapa saja yang membuat data pribadi palsu. Selain itu,  ketentuan terkait deepfake juga diatur dalam UU no. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) di pasal pasal 433, 434, 436 jo. pasal 441 yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.
Meskipun hukum Indonesia telah mengatur beberapa aspek terkait penyalahgunaan deepfake, seperti dalam UU Pelindungan Data Pribadi (PDP) dan KUHP Nasional, masih belum ada undang-undang khusus yang mengatur penyalahgunaan teknologi ini. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam sistem hukum kita yang perlu segera ditangani. Penyalahgunaan deepfake pada saat ini dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang ada, meski perlu pengembangan lebih lanjut, terutama untuk menghadapi tantangan baru yang dibawa oleh teknologi modern, seperti AI.
Untuk itu, sangatlah penting bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan undang-undang yang secara eksplisit mengatur penyalahgunaan teknologi modern, khususnya AI. Undang-undang yang jelas akan memberikan perlindungan hukum bagi individu yang terancam menjadi korban manipulasi media, sekaligus menciptakan ruang yang aman bagi inovasi teknologi.
Akhir kata, meskipun deepfake memiliki potensi besar dalam bidang entertainment, masyarakat haruslah berhati-hati dalam menggunakan teknologi tersebut. Tanpa adanya regulasi yang konkrit, deepfake bisa dengan mudah disalahgunakan untuk merusak reputasi dan kehormatan seseorang, bahkan dapat mempengaruhi opini publik secara negatif. Oleh karena itu, langkah-langkah preventif dan pembaharuan hukum sangatlah diperlukan untuk mengatasi tantangan di era modern ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H