Salju turun perlahan di kota kecil bernama Arluna. Butir-butir putih itu menyelimuti atap-atap rumah, pohon-pohon pinus, dan jalan-jalan yang lengang. Musim dingin kali ini terasa lebih sunyi dari biasanya, namun bagi Alana, keheningan itu adalah alasan untuk menyendiri di kedai kopi favoritnya di pojok jalan.
Dia memilih tempat duduk dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Segelas cokelat panas mengepul di hadapannya, dan sebuah buku roman klasik terbuka di tangannya. Alana bukanlah penggemar keramaian; dia lebih suka menyerap kehangatan di dalam ruangan sambil memandang dunia luar yang membeku.
Namun, hari itu, dunianya yang tenang terganggu oleh kehadiran seorang pria yang duduk di meja sebelah. Dia tampak berusia awal tiga puluhan, mengenakan mantel hitam yang penuh salju, dan sepasang mata cokelatnya bersinar hangat. Alana berusaha fokus pada bukunya, tapi setiap kali dia melirik ke samping, pria itu tersenyum.
"Permisi," katanya akhirnya, dengan suara yang rendah namun bersahabat. "Kamu sering datang ke sini, ya?"
Alana sedikit terkejut. "Iya, kenapa?" jawabnya, dengan nada sedingin salju di luar.
Pria itu tertawa kecil. "Aku baru pindah ke sini. Selama seminggu terakhir, aku selalu melihatmu di tempat yang sama."
Alana mengangkat alis, sedikit skeptis. "Kamu mengamati aku?"
"Bukan mengamati," katanya buru-buru. "Hanya kebetulan. Dan... aku penasaran, mungkin kamu bisa merekomendasikan sesuatu yang enak di sini."
Dia mengulurkan tangan. "Aku Adrian, by the way."
Setelah ragu sejenak, Alana menjabat tangannya. "Alana."
Dari percakapan kecil itu, hubungan mereka mulai terjalin. Adrian ternyata seorang fotografer yang pindah ke Arluna untuk mencari inspirasi di tengah salju dan keindahan musim dingin. Setiap hari, dia akan muncul di kedai kopi itu, sering kali membawa kamera dan cerita-cerita lucu dari petualangannya memotret kota kecil itu.