Sementara itu, Alana, yang awalnya hanya ingin menyendiri, perlahan mulai menikmati kehadiran Adrian. Dia menyukai cara pria itu melihat dunia---melalui lensa kamera dan matanya yang penuh rasa ingin tahu.
Suatu hari, Adrian mengundang Alana untuk berjalan-jalan ke taman es di pinggir kota. Awalnya, Alana ragu. Tapi ada sesuatu dalam cara Adrian mengajaknya yang membuatnya sulit untuk menolak.
Di taman itu, mereka menemukan pohon besar yang dihiasi lampu-lampu berwarna emas, bercahaya lembut di tengah hamparan salju. Adrian mengeluarkan kameranya, mengarahkan lensa ke Alana.
"Jangan," kata Alana, merasa malu.
"Tapi kamu terlihat cantik," jawab Adrian tanpa ragu, membuat pipi Alana memerah.
Dia membiarkan Adrian mengambil beberapa foto, dan ketika dia melihat hasilnya, Alana terkejut. Di layar kamera itu, dia melihat dirinya tersenyum---senyum yang jarang dia lihat selama ini.
Malam itu, saat mereka berjalan kembali ke kota, Adrian mengeluarkan sebuah syal dari tasnya. "Aku perhatikan syalmu sudah usang. Pakailah ini."
Alana hendak menolak, tapi udara dingin membuatnya tidak tega. Dia menerima syal itu dan melilitkannya di leher. Kehangatannya segera menyelimuti tubuhnya.
"Terima kasih," bisik Alana.
Adrian tersenyum. "Aku senang akhirnya bisa membuatmu tersenyum."
Musim dingin itu berlalu dengan kenangan-kenangan kecil yang manis. Setiap tawa, langkah kaki di salju, dan cangkir cokelat panas yang mereka nikmati bersama membuat hati Alana perlahan mencair.