Ketika  lisan seorang dewasa menyampaikan tahapan-tahapan kisah,  anak pun memvisualisasikannya  dalam otaknya. Menjadi seperti film yang  tengah diputar.Â
Apalagi jika ia mulai dihinggapi kantuk, gambarannya semakin bening dan nyata. Ini pengalaman pribadi saya  sebagai penyuka kisah sebelum tidur pada masa kanak-kanak dulu. Bahkan sebelum mengenyam bangku sekolah.
Sampai sekarang saya masih dengan baik menyimpan adegan-adegan cerita anak itu dalam ingatan. Eh, ternyata anak-anak saya pun begitu. Padahal itu hanyalah kisah  rekaan biasa. Nancep banget ya!Â
Bagaimana pula  kalau kisahnya dinukil dari Al-Qur'an? Karena kisah-kisah di dalamnya selain bersih dari unsur rekaan, juga  disampaikan dengan cara yang sangat indah, menarik dan sarat hikmah.
Kita ambil saja sebagai contohnya kisah tentang keluarga Nabi Ya'kub a.s. dalam surat Yusuf. Allah menempatkan mimpi Yusuf kecil sebagai adegan pembukaannya.
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yusuf 12:4)
Dalam visualisasi pikiran anak segera terpampang layar kolosal yang menampilkan  pesona kolaborasi  benda-benda langit dalam mimpi Yusuf. Bagaimana tidak? Bintang-bintang dan rembulan hanya nampak jelas oleh netra kita di waktu malam.Â
Dalam kisah ini,  perhiasan alam  itu bersanding bersama. Betapa gemilangnya langit  malam. Betapa  bercahayanya semesta. Dan benda-benda langit yang seluruhnya berjumlah sebelas itu bersujud pada seorang anak kecil.
Ketika si bocah menceritakannya pada ayahnya, sang ayah justru menahannya agar menyimpan mimpi itu. Jangankan Yusuf kecil, kita saja pasti sangat berhasrat segera mengetahui maknanya.Â
Namun di dalam Al-Qur'an, isyaroh agung  mimpi itu sengaja ditangguhkan sebagai antiklimaks perjalanan hidup seorang Nabi yang hidupnya penuh lika-liku.Â
Seluruh kisah dalam surat itu bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk  menjadi fragmen demi fragmen  yang sangat dinantikan anak setiap malamnya.