hari ini, 22 juni 2021 masehi. DKI jakarta merayakan milad nya yang ke 494, empat abad 9 dekade lebih ini jakarta ada, didirikan dihuni juga ditakdirkan untuk menjadi rumah besar, bagi perantau perantau dari berbagai penjuru nusantara disini mereka bersatu. menyatu dengan keadaan, datang menghuni dan pergi, atau menetap lalu mati.
tentu aku tidak mau mati disini, lha bagaimana tidak, tempatku sempit disini, sementara aku mendambakan yang lapang namun tak terwujud, aku tidak mau saat pemberangkatan menuju peristirahatan terakhir diantar dengan konvoi motor, lalu saat ada mobil yang lambat buat minggir mereka pecahkan kacanya, sambil mulut mulut memaki. bagiku itu terlalu kotor. disatu sisi dalam hatiku adalah kampung halaman sendiri, nun jauh disana 350 km timur jakarta. 9 jam lamanya perrjalanan bus, maklumlah bukan jalur cipali.
mencoba memundurkan waktu, pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa pelabuhan di ujung utara jayakarta. ternyata hari dan tanggal itu istimewa, karena berabad abad kemudian dijadikan hari jadi jakarta. tetapi sayang kekuasaan itu tidak berlangsung lama.Â
30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen berhasil menaklukan Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. lalu dibangunlah kastil batavia, sultan agung dari mataram mencoba menaklukan kota ini, tercatat 2x serangan menuju kastil batavia, 1628 pertama dan 1629 yang terakhir, namun apadaya semuanya gagal. sepertinya sultan agung tidak seberuntung fatahillah, disamping kalah strategi dan alutsista, suplai makanan juga terhambat, mana bisa si tumbal berperang sebelum makan, tentu badan lemas mata berkunang kunang.
garis waktu terus berjalan, kata sejarawan 3 setengah abad lamanya belanda menguasai jakarta, lalu datang dai nippon, badan mereka kecil seperti orang orang kita, namun mereka kejam, lebih kejam dari belanda, begitu tutur cerita kakek ku, orang yang mengalami jaman dai nippon mampir dimari. lalu tersiar berita di radio, hirosima dan nagasaki di bom, dai nippon kalang kabut, kalah WAR mereka, lalu ngacir lah balik ke negaranya, kekuasaan kosong, bung karno dan hatta berani memproklamasikan kemerdekaan, walaupun harus di culik dulu ke rengasdengklok. negara baru dibentuk, namanya indonesia, dan takdir lagi lagi menempatkan kota ini sebagai saksi bisu.
jaman terus berjalan dan berlalu, bung karno tumbang, ganti soeharto, seoharto tumbang ganti presiden presiden era reformasi. selama tahun tahun itu berjalan penduduk bertambah, rumah rumah dan gedung berdiri, semakin padat sampai di lorong waktu 2021 ini. sebagai pusat politik dan ekonomi jakarta tidak pernah berhenti bersinar, kota ini selalu jadi impian, kalo tidak percaya tanya saja pada om mu, teman teman mu, saudaramu, kemanakah ia akan pergi setelah selesai sekolah, pasti jawaban pertama jakarta. disini tempat berjuang, orang datang dengan modal dengkul, lalu berusaha, bekerja apa saja.
jutaan orang bersaing, jutaan orang berebut penghidupan, bertahun tahun lamanya, ada yang gagal ada yang berhasil, ada yang jadi kaya, ada yang miskin sampai malaikat maut menjemput, ada yang senang, ada yang terus menderita. seperti itulah kehidupan. tidak semua orang bisa kaya dan berhasil, karena dunia butuh keseimbangan, jika semua kaya harta pekerjaan kasar siapa yang mau?, jika semua orang kaya, siapa yang bekerja di perusahaanmu? tentu tidak ada. karena naluri alamiah manusia itu susah di perintah. lah wong diperintah yang nyiptain buat sholat aja susah, padahal ancamannya jelas, neraka dengan siksaan yang tak terhingga.
sekali lagi saya ucapkan terimakasih pada jakarta, Â terimakasih karena telah diijinkan numpang hidup, dan mendapatkan beberapa impian yang sempat tertunda. semoga berita di tv, yang katanya 2050 kau ter atlantiskan itu salah. karena orang orang di dalam mu dan ceritanya begitu berharga, semua ceritaku dan kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H