Dalam sebuah tulisan di laman suakaonline.com, terdapat sebuah istilah yang disebut Brannon Masculinity Scale (BM).Sebuah konsep tradisional tentang maskulinitas dengan empat karakter penting yang dimiliki. Yaitu, adanya perasaan ingin dihormati karena menganggap laki-laki memiliki privilege sebagai seorang kepala keluarga, tuntutan senantiasa kuat dan tegar membuat laki-laki tidak boleh dipengaruhi emosi, kebencian terhadap perilaku feminin dan keharusan untuk menghindarinya, serta kecenderungan bersikap memaksa.Â
  Keempat karakter tersebut relevan untuk menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara perasaan tidak suka terhadap boyband K-Pop dan dorongan untuk selalu dianggap maskulin. Karena yang mereka tampilkan bisa jadi tampak tidak memenuhi prasyarat dari empat standar maskulinitas tadi. Makanya tidak heran kalau toxic masculinity cukup mengerikan, karena daya paksanya memungkinkan laki-laki yang merasa maskulin bersikap agresif. Memaksa kalau mau maskulin haruslah mengidolakan artis yang ekspresi gendernya juga maskulin sesuai standar Indonesia.
  Apalagi masalah maskulinitas boyband K-Pop juga sering kali disangkutpautkan dengan orientasi seksual. Tom Boellstorff dalam bukunya The Gay Archipelago tentang karakteristik laki-laki gay di Indonesia, menjabarkan kalau banyak stereotip sosial bertebaran yang dianggap mampu mengidentifikasi seseorang adalah gay atau bukan. Ditunjukkan melalui cara duduknya yang khas dengan kaki rapat, juga laki-laki yang gay cenderung berpenampilan modis. Celaka lah boyband K-Pop yang selalu berpenampilan fashionable dan rutin menjaga bentuk tubuhnya. Ini juga jadi alasan kenapa laki-laki yang menyukai K-Pop diperlakukan berbeda, sebab ada ketakutan kalau hubungan fans dan idolanya bisa jadi representasi kekaguman sesama jenis. Belum cukup dipertanyakan maskulinitasnya, malah ditambah lagi kesangsian terhadap hasrat seksualitasnya.
   Namun, bukan berarti membenarkan stereotip yang menyebut bahwa semua boyband K-Pop dan penggemar laki-lakinya adalah gay. Caranya mengekspresikan diri tidak selalu punya hubungan dengan orientasi seksualnya. Karena gay ataupun straight merupakan orientasi seksual, sementara maskulin atau feminin itu ekspresi gender.Â
   Sterotipe tersebut tidak akurat untuk menggambarkan mana yang gay dan mana yang straight. Konstruksi sosial yang ada mengabaikan kemungkinan kalau siapapun entah itu laki-laki atau perempuan-- dapat bertukar peran. Hubungan antara subyektivitas gender manusia dengan caranya mengekspresikan diri punya hubungan yang lebih rumit dari sekedar pengaturan bahwa bayi yang terlahir dengan penis diajarkan berperilaku maskulin, sementara yang mempunya vagina berperilaku feminin.
   Dualisme nilai maskulin dan feminin ini dilanggengkan sejak dari dalam rumah, sebagai jejak  peninggalan Orde Baru yang ikut campur dalam urusan domestik warganya, lewat penanaman ideologi bangsa berupa konsep keluarga ideal. Ini diciptakan sebagai aparatur negara untuk mewujudkan cita-cita modernisasi, yang bisa dicapai menggabungkan pengaturan reproduksi dan konsumersime masyarakat.Â
   Keluarga ideal ini memposisikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pusat kendali rumah tangga. Sehingga dibuatlah nilai-nilai maskulinitas laki-lakian yang dibatasi oleh aspek-aspek seperti jenis pekerjaan, cara berpakaian, hobi, cita-cita hingga mengatur cara duduk. Begitupun sebaliknya, perempuan harus menjadi ibu dan dipaksa mematuhi nilai-nilai kefemininan perempuan, yang selalu ada standar supaya bisa dikategorikan feminin.
   Pembagian maskulintas dan feminitas ini terus diproduksi sampai-sampai tampak wajar, dan mendikte masyarakat dalam banyak urusan, sekalipun yang sifatnya spontanitas. Pasti sering mendengar kalau warna biru identik dengan laki-laki dan perempuan warna merah muda, laki-laki mengoleksi motor atau mobil-mobilan, sementara perempuan bermain boneka. Laki-laki harus bisa menyetir mobil dan perempuan harus bisa cuci piring.Â
   Adanya nilai-nilai yang mengatur cara berpenampilan dan mengekspresikan diri adalah bagian dari moralitas sosial, yang bermaksud menyempitkan substansi kelaki-lakian dan keperempuanan. Agar bisa dianggap bermoral, setiap orang kemudian secara terpaksa mengikuti konsensus sosial tentang perilaku yang baik. Yang dalam kaitannya dengan maskulinitas, laki-laki boyband K-Pop siap-siap saja dianggap tidak bermoral, karena dipandang melangkahi batas perbedaan antara laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminim. Sehingga, harus dipahami bahwa berpaku pada standar maskulinitas dan feminim yang dibentuk oleh lingkungan sosial bukanlah aturan wajib diikuti. Malah nilai-nilai itu terkesan mengekang privasi setiap orang untuk menentukan personalitasnya.Â
Ketimbang diatur hanya bisa memilih maskulin atau feminin, setiap orang harusnya berhak mendefinisikan bagaimana karakteristik diri, apakah keluar dari dua pilihan tersebut atau tampil dengan keduanya sekaligus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H