Mohon tunggu...
Tinta Digital
Tinta Digital Mohon Tunggu... Administrasi - Akun ini saat ini bersifat pribadi dan dimiliki oleh satu orang

Tinta Digital adalah karya asli Kelas Cyber Journalism Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2015 FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin . Semoga menjadi inspirasi buat pembaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Lanting, Kilas Kronologi dan Eksistensinya Saat ini

6 Januari 2019   19:20 Diperbarui: 6 Januari 2019   19:58 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di atas sungai maapung rumah kayu bahatap daun, dinding basusun sirih palindung, panaduh pacang hidup jukung di higa bajarat intang tanjak (di atas sungai ada rumah kayu terapung, atapnya daun rumbia, dinding bersusun sirih, di sisi rumah ada sampan terikat tiang)" . Anang Ardiansyah -- Manapuk Banyu di Apar

Berbicara seputar budaya Banjar pasti tidak akan lepas dari kehidupan masyarakatnya yang mayoritas bermukim di pinggir sungai. Interaksi antar sesama masyarakat, perniagaan, bahkan pelaksanaan pemerintahan banyak dilakukan dan terjadi di pinggiran sungai. Hal inilah yang melatarbelakangi sebutan untuk budaya Banjar khususnya kota Banjarmasin sebagai "Kota Seribu Satu Sungai". 

Jadi, tidak heran jika di Banjarmasin khususnya di daerah muara Sungai Martapura (Kuin, Alalak, Banua Anyar, dan sekitarnya) banyak ditemui pemukiman-pemukiman pinggir sungai bahkan istana Raja Banjar peninggalan masa kerajaan Sultan Suriansyah yang berada di Kuin Selatan dibangun di pinggir sungai. Ini menandakan bahwa seluruh kehidupan kapital masyarakat pada masa itu terjadi di sungai dan sungai menjadi jalur transportasi utama bagi masyarakat Banjar tempo dulu.

Tidak heran jika banyak ditemui berbagai jukung (alat transportasi khas perairan yang memakai dayung dan sekarang beralih ke pemakaian mesin) dan rumah-rumah adat masyarakat yang khas dan sesuai dengan keadaan geografi disana, salah satunya yaitu Rumah Lanting.

Rumah Lanting, atau dapat disebut juga rumah geser, adalah rumah terapung dipinggir sungai yang tidak permanen seperti halnya rumah panggung yang juga rumah adat khas Banjar, yang rumahnya menancapkan tiang ke dasar sungai. Rumah Lanting dibuat dengan prinsip yang sama dengan perahu pada umumnya, dapat terapung di atas air dan dapat berpindah tempat sewaktu-waktu melalui arus sungai laksana jukung atau perahu agar memudahkan mobilitas rumah jika sewaktu-waktu terjadi banjir dan menjadikan rumah lanting sebagai rumah yang portable atau dapat dengan mudah berpindah-pindah.

Seperti halnya perahu, rumah lanting biasanya juga dikaitkan dengan tali tambang ke pancang besi atau pancang ulin di pinggiran sungai jika ingin berdiam dan bermukim. Rumah yang dibangun diatas pelampung yang berbahan dasar kayu yang ringan (sekarang ini banyak memakai paring, istilah Banjar untuk penyebutan bambu) tersebut ternyata memakai Kayu Ulin sebagai bahan untuk membuat lantai atau yang biasanya disebut sebagai gelagar  dan dinding yang biasanya disebut tawing juga memakai kayu ulin untuk rumahnya, namun kebanyakan tawing rumah lanting sekarang umumnya memakai kayu biasa karena keterbatasan persediaan kayu ulin di Kalimantan. 

Karena itulah rumah lanting dapat bertahan hingga 50 tahun. Pada umumnya, rumah lanting yang ada di Banjarmasin memiliki ukuran berkisar antara 4 x 3 meter hingga 5 x 4 meter sesuai dengan keperluan dan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Di sekitar rumah-rumah lanting lumrah ditemui titian-titian (jembatan kecil di pinggiran sungai yang biasanya terbuat dari kayu ulin atau pohon kelapa) yang berfungsi sebagai penghubung dari rumah lanting yang berada kurang lebih 2 sampai 3 meter dari siring sungai ke daratan, dan dijumpai pula warung-warung lanting disekitar titian tersebut yang menjual makanan-makanan  khas banjar.

Atap rumahnya terbuat dari daun rumbia yang sekarang beralih ke atap seng. Rumah lanting dapat ditemui di daerah Seberang Mesjid, Pasar Lama, Sungai Jingah, Sungai Lulut, Alalak, Pengambangan, dan Banua Anyar. Daerah-daerah tersebut dulunya adalah jalur transportasi dan perdagangan masyarakat yang pada masa kejayaannya sangat ramai dengan hiruk pikuk tranksaksi perdagangan dan hilir mudik jukung bahkan speedboat yang mengantarkan penumpang maupun barang logistik dari satu daerah ke daerah lainnya.

Inilah yang menjadikan rumah lanting disebut sebagai "Rumah Bergoyang" karena sering terkena ombak sungai yang terbentuk dari jukung-jukung dan speedboat yang lewat dan pasang surut air sungai yang terjadi tiap bulan, dan menyebabkan rumah lanting seakan "bergoyang" mengikuti derusan ombak yang menghantam rumah tersebut sehingga tidak mudah karam dan terendam air sungai, lain halnya dengan rumah yang berada di daratan pada umumnya yang mudah sekali ambruk ketika diterpa banjir.

Keunikan arsitektur Rumah Lanting menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung maupun masyarakat lokal untuk melihat bahkan mempelajari rumah lanting.  Ragam budaya yang terkandung dalam intrinsik sejarah rumah lanting dan hubungannya dengan kehidupan pinggir sungai di Banjarmasin dan sekitarnya menjadi salah satu khazanah tersendiri untuk mengulas lebih dalam sejarah kultural dan jejak rekam perkembangan kota berbasis lahan rawa basah tersebut.

 Namun, kebijakan pemerintah kota Banjarmasin tentang relokasi dan rehabilitasi rumah lanting tidak berjalan seperti yang diharapkan dan seakan "menghapus"keberadaan rumah lanting di pinggiran sungai-sungai yang ada di Banjarmasin. Penggusuran rumah lanting yang terjadi di berbagai daerah pinggir sungai seperti yang terjadi di daerah Sungai Baru yang dijadikan siring kota pada tahun 2015 hingga rehabilitasi warga rumah lanting di beberapa daerah pada tahun 2016 sampai pertengahan 2017 lalu menandakan bahwa pemerintah kota berupaya "merelokasi" adat dan budaya khas Banjar.

Terlihat dari jumlah rumah lanting yang berkurang cukup signifikan. Pada awal tahun 2000, puluhan rumah lanting yang awalnya tersebar di daerah Sungai Baru hingga Seberang Mesjid, sekarang hanya tersisa kurang lebih 10 rumah lanting, tersisa hitungan jari dari jumlah yang cukup banyak diawal tahun 2000-an.

Banyak tanggapan bahwa relokasi rumah-rumah Lanting ke Mantuil tidak strategis dan cukup memberatkan bagi warga yang bermukim cukup lama di daerah mukimnya, bahkan mereka yang bermukim sampai puluhan tahun

 "Berat sebenarnya kalau mau pindah, mesti mikirkan wilayahnya, tetangganya, dan yang pasti aman atau tidaknya tempat yang disediakan" tanggap Jumadi (53) , seorang pensiunan yang dulunya bekerja sebagai supir kelotok (sebutan Banjar untuk perahu bermesin).

Dirinya berucap bahwa para pemilik rumah lanting menerima saja apa yang telah diatur oleh pemerintah asalkan sesuai dengan total kompensasi ganti ruginya jika rumah mereka nanti benar-benar digusur, atau dengan wacana pemerintah kota yang hendak merenovasi rumah lanting haruslah sesuai dengan penghasilan hidup mereka.

"Rencananya (oleh pemerintah), rumah kami ini akan diperbaharui dengan pelampung dari pipa besi dan tawing rumah dari kayu yang baru supaya terlihat kada kumuh banar, tapi yang memberatkannya adalah semua tawaran perbaikan itu harus kami yang mengkredit. Sedangkan kami ini rata-rata urangnya kada tapi baduit juga ekonomi sekarang cenderung fluktuatif. Juga yang saya tahu harga pipa besi dan kayu-kayu tersebut ditaksir sangat mahal dan jangka pengkreditannya bisa sampai 50 tahun. Keburu rusak duluan pipanya ketimbang selesai pelunasannya" jelasnya

Jumadi  adalah salah satu dari sekian puluh warga pemukim rumah-rumah lanting sekitar Sungai Martapura. Mayoritas mereka banyak yang bermukim menggunakan rumah lanting karena alasan profesi dan masih masifnya arus transportasi air di tahun 90-an. "Rumah ini (Lanting) dulu aku beli dari orang yang dulunya sudah bermukim lama disini dan pada saat itu aku membeli rumah ini tahun 1984 karena pekerjaan harianku mengantarkan jukung-jukung ke pasar pakai kelotok.

Dulu di sini (red : Seberang Mesjid) ramai dilewati kelotok-kelotok bahkan kapal-kapal yang hendak menuju muara barito banyak melalui sungai ini. Jadi kalo dahulu rumah ini dapat goncangan dari ombak yang tinggi, kalo sekarang yah jarang" tambah Jumadi

Bukan hanya Jumadi, warga lainnya yang sekarang masih bermukim di rumah lanting juga merasakan hal yang sama. Dari yang kesehariannya berjualan makanan, bahan bakar kelotok dan kapal, hingga pengemudi kelotok nya pun merasakan pergeseran budaya tersebut. Apalagi dengan kebijakan pemerintah kota sekarang yang ingin menjaring seluruh rumah lanting yang berada di jalur hijau cukup meresahkan mereka.

"Kalaupun pada akhirnya memang digusur, yah paling tidak ganti ruginya sesuai dengan hitungan rumahnya, kalau mau dihanyari paling tidak sesuaikan dengan kantong kami. Tapi sayang pang, kalau semua rumah lanting yang ada ini digusur. Paling kada tuh adalah solusi lain dari pemerintah. Kami ni  ya maumpati haja." Imbuhnya. (alfimubarrak)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun