Mohon tunggu...
Tinta Digital
Tinta Digital Mohon Tunggu... Administrasi - Akun ini saat ini bersifat pribadi dan dimiliki oleh satu orang

Tinta Digital adalah karya asli Kelas Cyber Journalism Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2015 FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin . Semoga menjadi inspirasi buat pembaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hj Iju, Penerus Pembuat Wadai

25 November 2018   20:27 Diperbarui: 4 Desember 2018   16:11 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu, 25 November 2018

Banjarmasin- Kue-kue tradisional yang ada di Banjarmasin biasanya ramai pembeli di Bulan Ramadhan sebagai salah satu menu ta'jil berbuka puasa. Hj. Jurahmamah yang akrab di panggil Hj. Iju ini telah menggeluti dunia per-wadaian Kalimantan Selatan sejak kecil. Beliau mempelajari cara membuat wadai (sebutan kue tradisional dalam bahasan Banjar) dari sang nenek, Sariah yang hidup dimasa penjajahan Jepang. Wanita kelahiran Kertak Hanyar pada tahun 1965 ini rela berhenti dari pekerjaan kantoran yang pernah beliau geluti untuk melestarikan wadai Kalimantan Selatan. Beliau juga alumni dari Universitas Achmad Yani Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. dengan pendidikannya yang tinggi tidak membuat beliau merasa malu untuk menjadi pembuat wadai.

Kepandaian beliau dalam membuat wadai sudah tidak diragukan lagi, namun beliau dikampunya terkenal dengan wadai onde-onde dan cucur. Menurut penuturan orang kampung sekitar, keluarga Hj. Iju memang salah satu pembuat wadai terlaris di era 80 di kampungnya. Berbagai macam wadai pun di jual seperti untok, apam, tapai, cucur, buras atau lapat, dan tak ketinggalan onde-onde Namun sekarang ini, beliau hanya menjual onde-onde dan buras atau lapat. Dalam sehari, beliau mampu menjual paling sedikit seratus biji. 

Faktor usia yang telah menua menjadi salah satu alasan beliau mengurangi jenis wadai yang dijual, selain itu tidak adanya orang yang membantu beliau dalam pembuatan wadai juga menjadi alasan. Faktor lainnya adalah tingginya persaingan antara penjual kue tradisional dan kue-kue khas barat membuat penghasilan beliau yang diperoleh menjadi lebih sedikit. Modal yang diperlukan pun tidaklah sedikit. Naiknya bahan dasar pembuatan wadai menjadi salah satu faktor beliau mengurangi jualannya.

"wahini harga kacang hijau sampai 20 ribuan sekilo, bahari makaam 10 ribu dapat dah sekilonya" ujar beliau.

Setiap hari, baliau bangun jam setengah lima subuh untuk mulai membuat wadai onde-onde. Proses pertama diawali dengan perebusan kacang hijau yang telah dikerjakan pada siang hari sebelumnya. Setelah kacang hijau direbus, kemudian di aduk dengan gula digiling setelah dingin. 

Kemudian pada subuh hari, dilakukan proses pembuatana kulit onde-onde yang terbuat dari tepung terigu dan tepung ketan. Kedua tepung ini dicampur dengan air hangat yang telah di masukan sedikit garam dan gula untuk memberikan sedikit rasa pada kulit-hingga menjadi adonan. Setelah kulit adonan selesai, maka proses selanjutnya adalah penggilingan yaitu membungkus kacang hijau dengan kulit tepung dan menaburkan biji wijen di sekelilingnya. Proses terakhir adalah penggorengan. Hj. Iju biasanya menjajakan wadainya ke warung-warung makan dan didepan rumah beliau sendiri.

Selain onde-onde, beliau juga membuat buras/lapat salah satu menu sarapan khas Kalimantan Selatan. Buras/lapat berbahan dasar beras yang di didihkan dengan santan dan di bungkus menggunakan daun pisang. Setelah di bungkus, proses selajutnya adalah mengukusnya. Buras di Kalimantan selatan biasanya dinikmati dengan sambal kacang.

Kue yang berbahan dasar utama tepung ketan ini, jarang ditemui pada era modern sekarang ini. Salah satu penyebabnya adalah pada zaman sekrang, telah banyak toko-toko kue yang menjual kue-kue khas luar negeri, sehingga terjadi persaingan antara pembuat kue-kue tradisional dan kue-kue khas barat. Kue-kue khas barat yang memiliki tampilan yang lebih menarik mampu menarik konsumen untuk membeli kue-kue tersebut, sehingga kue tradisional lambat laun mulai ditinggalkan.

Selain adanya persaingan, penyebab kue-kue tradisional mulai ditinggalkan karena tidak adanya penerus untuk melestarikan resep-resep tradisional yang diturunkan oleh orang tua zaman dahulu. Para penerus pembuat atau pedagang kue tradisional di era sekarang ini cenderung memilih pekerjaan kantoran yang untungnya lebih tetap dan memiliki masa depan yang terjamin. 

Penyebab lainnya adalah dibutuhkan ketelatenan dan proses yang panjang dalam membuat kue tradisonal, sehingga diperlukan tenaga ekstra. Kebiasaan masyarakat Banua yang memakan wadai sebagai sarapan juga menjadi faktor dimana generasi muda enggan meneruskan usaha ini. Pembuat kue harus bangun di subuh hari untuk membuat kue dan menjajakannya di pagi hari agar cepat laku.

Kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan wadai, lambat laun akan berdampak pada punahnya makanan tradisional tersebut. Sampai saat ini hanya dari generasi dahulu yang melestarikan wadai-wadai tersebut. Salah satu daantaranya generasi tersebut adalah Hj. Iju. (Hanariva)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun