Mohon tunggu...
Muslimah Peduli Umat
Muslimah Peduli Umat Mohon Tunggu... Freelancer - Pena Peradaban

Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. ~ Imam Al Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Hari Guru, Patutkah Merayakan Rusaknya Generasi Buah Merdeka Belajar?

20 Desember 2023   09:50 Diperbarui: 20 Desember 2023   10:13 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Latifah (Aktivis Muslimah)

Hari guru menjadi hari istimewa bagi pendidik sebagai bentuk penghormatan negara atas dedikasi yang telah di berikan dalam mencerdaskan generasi bangsa. Dewasa ini pemerintah telah mencanangkan satu hari khusus yang dinamakan peringatan Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada tanggal 25 November. Berdasarkan Pedoman Peringatan HGN 2023 yang dikeluarkan oleh Mendikbudristek tanggal 26 Oktober 2023 lalu, HGN tahun ini akan mengangkat tema tentang Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar.

Pemerintah berharap dengan dipilihnya tema tersebut antara pendidikan dan siswa-siswinya dapat "bergerak bersama" menyemarakkan kurikulum merdeka yang di terapkan saat ini. Padahal apabila kita menelisik lebih jauh lagi, sudah seefetif apa penerapan kurikulum merdeka tersebut, dan apakah memberikan perubahan yang signifikan kepada kemajuan pendidikan kepada siswa sehingga pemerintah begitu luar biasa menggembar-gemborkan agar seluruh satuan pendidikan menerapkan Kurikulum Merdeka ini? Sebab pada faktanya, sejak kurikulum ini resmi di terapkan pada tahun 2022 lalu, tidak ada hasil yang banyak di tuai atas penerapannya. Profil Pemuda Pancasila yang digadang-gadang pun masih jauh dari harapan.

Hal ini dapat dilihat bagaimana kualitas para pemuda hari ini, alih-alih semakin baik justru yang terjadi malah sebaliknya. Banyak kenakalan-kenakalan yang sering kali mewarnai keseharian baik dalam kapasitas ringan hingga kasus berat yang dilakukan oleh para pemuda yang notabennya dalam kisaran umur yang seharusnya secara intelektual dan sosialnya tergolong kaum terpelajar. Dimana Korbannya bahkan tak lagi hanya melibatkan teman sebaya saja, namun telah menyasar ke kalangan pendidik dan guru.

Tak sulit bagi kita untuk menemukan informasi atau berita mengenai kasus kejahatan yang dilakukan. Salah satu kasus terbaru yang menyita perhatian adalah kasus Seorang siswa SMP di Cilacap berinisial FF menjadi korban bullying oleh kakak kelasnya dan diserang sebanyak 38 kali di bagian badan dan leher seperti yang di ungkap. Pelaku melakukan aksi bullying dan penganiayaan itu dengan memukul, menendang hingga menginjak korban hingga tidak berdaya (detikNews.com, 25 November 2023).

Kasus diatas merupakan sebagian kecil dari banyak nya kasus yang terjadi di Indonesia. Sudah tak terhitung banyaknya media mainstream memberitakan kasus pelajar yang tega menganiaya gurunya sendiri. Beragam aksi mulai dari melakukan pelecehan verbal, pemukulan bahkan hingga penganiayaan sampai mengakibatkan kecacatan telah menjadi deretan sejarah tindak kejahatan yang dilakukan. Bukankah hal tersebut justru menjadi sebuah tamparan telak di tengah rencana Peringatan HGN yang akan di peringati ini?

Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dihimpun dari Republika, terdapat selama paruh pertama 2023 adalah sebanyak 43 orang. Rinciannya, 41 orang korban berasal dari peserta didik dan dua orang lainnya adalah guru. Adapun kasus perundungan di lingkungan sekolah paling banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi 25% dari total kasus.

Sementara pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik, yaitu sejumlah 87 orang pelaku. Diikuti oleh pendidik (5 orang), orang tua (1 orang), dan kepala madrasah (1 orang). Kemudian perundungan juga terjadi di lingkungan SMA dan SMK yang sama-sama mendapatkan persentase sebesar 18,75%. Sementara di lingkungan Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren, masing-masing dengan persentase sebesar 6,25%.

Tak sampai disitu, aksi --aksi yang dilakukan oleh pelajar tersebut semakin mengagetkan dengan banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan akibat depresi, atau yang saat ini sedang trend disebut dengan mental illnes. Bermacam-macam masalah yang menjadi alasan mereka mengakhiri hidup, mulai dari tekanan kehidupan, keluarga hingga masalah-masalah receh seperti percintaan. Tak heran, generasi millenial dijuluki 'generasi strawberry' karena mentalnya yang mudah koyak diterpa masalah.

Kondisi generasi yang demikian tentu saja tidak mencerminkan generasi yang berkualitas. Bagaiamana mereka mampu untuk memajukan bangsa sedangkan masalah dengan diri sendiri saja belum terselesaikan. Hal inilah yang seharusnya membuka mata kita bersama bahwa Kurikulum Merdeka yang selama ini di gadang-gadang dan menjadi andalan pemerintah nyatanya tidak mampu untuk mencetak para generasi yang akan memperbaiki masa depan bangsa.

Yang ada malah semakin di perparah dengan adanya kebebasan berekspresi sekaligus tekanan yang sengaja di berikan selama menjadipelajar kurikulum merdeka ini sebagaimana yang mereka inginkan. Hal ini membuktikan bahwa kurikulum merdeka telah gagal dalam mencerdaskan anak bangsa. Bukan semakin membaik kondisi para pemudanya, malah semakin dibuat ga karuhan setelah penerapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun