Mohon tunggu...
Tino Wijayanto
Tino Wijayanto Mohon Tunggu... -

Bring a better future with your love.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggemari Budaya Korea Tidak Masalah, tapi...

14 Desember 2018   22:49 Diperbarui: 14 Desember 2018   22:59 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewi sedang asik meniru gerakan girl band Korea kesukaannya yang ia lihat dari layar hand phone miliknya. Dewi sangat kagum dengan segala hal berbau Korea. Rak buku yang dulu penuh dengan majalah bobo kini digantikan dengan buku-buku idol K-Pop. Dinding kamar yang dulu dipenuhi dengan poster-poster karakter Disney, kini dipenuhi dengan poster-poster bergambar wajah-wajah rupawan idol Korea. 

Tak ketinggalan, Dewi pun mengoleksi botol minum bergambar idolanya, jaket, kaos, hingga light stick yang wajib ia bawa di setiap konser idol-idol Korea. Tentu Dewi hanyalah satu dari segelintir remaja di Indonesia yang dilanda virus Korean wave.

Sejak tahun 2000-an, Korean wave mulai merambah ke masyarakat Indonesia, terutama para ABG. Korean wave pertama kali masuk ke Indonesia dengan ditayangkannya drama Korea. Dengan perpaduan cerita yang menarik dan para aktor yang rupawan, drama Korea seketika menyihir masyarakat Indonesia. 

Lalu memasuki akhir tahun 2000-an, Korean wave menjadi semakin booming. Korean wave atau hallyu, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia.  Para pecinta K-Pop dicibir karena dianggap tidak mencintai budaya negeri sendiri. Para ABG seperti Dewi dicibir sebagai generasi yang tidak memiliki jiwa nasionalisme. 

Terlepas dari semua tuduhan yang dilontarkan oleh anti Korean wave, mari kita coba memandang Korean wave dari sisi positif agar Dewi dan kawan-kawannya yang masih lugu tidak melulu dicaci.

Korean wave merupakan inisiasi Presiden Korea Selatan Kim Young San tahun 1994. Beliau bekerjasama dengan Menteri Kebudayaan Korea Selatan Shin Nak Yun untuk memulai diplomasi budaya dengan memulai proyek jangka panjang. Pemerintah Korea Selatan menyadari bahwa budaya adalah gerbang pembuka bagi diterimanya Korea Selatan oleh dunia. 

Proyek ini melibatkan Pemerintahan Korea Selatan, para pekerja industri kreatif, para pengusaha, hingga masyarakatnya sendiri. Pemerintah Korea Selatan tidak segan-segan mengeluarkan banyak dana untuk memberikan beasiswa besar-besaran bagi putra-putri bangsanya untuk menuntut ilmu keluar negeri. Kemudian seperti pepatah "kerjasama tidak akan mengkhianati hasil", budaya Korea Selatan kini menjadi primadona di seluruh dunia.

Dari keberhasilan diplomasi budaya Korea Selatan ini kita bisa belajar bahwa budaya bisa menjadi aset penting sebuah negara. Dari budaya, suatu negara bisa "menjajah" negara lain. Drama Korea yang ditonton Dewi setiap pulang sekolah tidak semata-mata menyajikan kisah cinta penuh haru. Lebih dari itu, di dalam drama Korea ada agenda promosi produk-produk asli Korea. 

Samsung misalnya, yang produk ponselnya dipakai aktor-aktor dalam drama Korea. Secara tidak langsung, penonton drama Korea tertarik menggunakan produk yang digunakan oleh Lee Min Ho dan aktor lainnya ini. Dari cara promosi ini, Samsung berhasil menjadi perusahaan penjual smartphone terlaris di dunia.

Daripada mengolok Korean wave beserta para pecintanya, alangkah baiknya jika kita belajar dari Korea Selatan untuk bangga dengan kebudayaan negeri kita sendiri , karena dari cintalah semua berasal. 

Korean wave mengajarkan kita bahwa jika kita berhasil membuat seseorang jatuh cinta, maka kita akan sulit untuk dilupakan. Korean wave terbukti bukanlah cinta musiman. Hingga saat ini Korean wave masih dicintai oleh dunia. Karena dunia sudah terlanjur jatuh cinta dengan Korean wave.

Mencintai budaya Korea bukanlah sebuah dosa. Kita tentu tidak bisa mencegah Dewi dan yang lainnya untuk melupakan Korean wave. Selama kita hidup di dunia dengan globalisasi di dalamnya, orang-orang semacam Dewi pasti akan terus ada. 

Tetapi kita bisa saja menjadi berdosa jika kita tidak bisa mencintai diri kita sendiri. Tuhan sudah menciptakan Indonesia dengan budaya yang terlanjur kaya. Jika kita menyia-nyiakan anugerah Tuhan ini, maka sama saja kita tidak mencintai diri kita sendiri. Oleh karena itu, teruntuk seluruh masyarakat Indonesia, marilah kita mencintai budaya negeri sendiri.

dokpri
dokpri
Untuk mengajak masyarakat mencintai kebudayaan Indonesia, kita tentu butuh pemimpin yang mencintai kebudayaan Indonesia. Seperti Bambang Soepijanto misalnya. Calon anggota DPD nomor urut 24 daerah pemilihan Kota Yogyakarta ini memiliki program kerja "mempertahankan dan merawat kebudayaan Yogyakarta sebagai world heritage". Melalui program ini beliau berkeinginan untuk menjaga tradisi dan kebudayaan Yogyakarta, termasuk dengan melindungi bangunan-bangunan kuno di Yogyakarta. Dengan begitu maka kecintaan masyarakat akan budaya lokal yang hampir dilupakan akan tumbuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun