Sudah sejak lama, bahkan sebelum saya lahir, banyak Ibu-ibu di Kampung Kenariblolong, Desa Pajinian, Adonara Barat, mengadu nasip di Pulau seberang. Yaitu Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur, NTT itu.Â
Mereka membawa berbagai macam komoditi pertanian dan perkebunan. Ubi, pisang, kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hasil bumi lainnya ditukar rupiah.
Mereka sudah berpeluh sebelum kokok Ayam menyibak selimut malam. Mereka bangun berkemas, memasak, sembari menyiapkan barang-barang jualannya.
Biasanya sebagian barang jualan sudah di bawah lebih dahulu ke pantai Kampung Kenariblolong pada sore hari. Gerobak roda dua adalah alat yang digunakan untuk mengangkutnya.
Di bibir pantai penuh bebatuan itu, mereka menunggu kedatangan perahu-motor dari Kampung Baru, Larantuka, milik salah satu Nelayan yang juga sudah sejak lama beroprasi. Om Sulaiman, begitu ia disapa.
Deruh debur gelombang tak menyurutkan perjuangan. Melintasi selat Gonsalu yang terkenal ekstrim itu, tak biasa meredupkan harapan untuk bisa sampai ke Pasar Baru Larantuka (Pasar Inpres).
Waktu tempuh kurang-lebih dua jam lamanya. Di sana juga tak ada dermaga atau tambatan perahu. Memprihatinkan memang.
Bukan hanya itu. Di sekitar pantai tempat berlabuh, sangat menjijikan. Bagaimana tidak, jika kotoran manusia dan bangkai hewan sering terlihat mengapung.
Jika sedang surut, tidak ada alasan lain selain menahan sengatan bauh busuk. Banyak saluran pembuangan limbah rumah tangga, dan MCK warga, menjorok ke arah laut.
Mereka duduk berhamburan. Bergabung dengan penjual lain. Banyak dari Desa-Desa pesisir, seperti Desa Hurung, Kimakamak, Bugaliman, Wureh, Beliko, juga Ibu-ibu dari Desa-Desa pedalaman Adonara Barat. Ada pula dari pulau solor, dari Tanjung Bunga, dan daerah lainnya.
Kadang mereka harus berjibaku mencari tempat untuk menjajakan barang jualan mereka di lokasi pasar yang sempit itu. Bila sudah padat lebih banyak Ibu-ibu memilih di luar lokasi pasar. Tetap membayar pengutan retribusi kepada pemerintah. Sedangkan di luar areal pasar juga dikenakan tarif oleh pemilik lahan.
Ketika musim-musim pemilu; musim kampanye, kondisi ini sering digunakan oleh para politisi sebagai komoditas politiknya untuk mendulang suara. Naman sejauh ini masih tetap sama.
Sama pula seperti para nelayan Kampung Kenariblolong yang konon katanya dijanjikan perahu fiber. Hingga kini hasilnya hanya omong kosong bin bualan semata. Anehnya, orang yang sering bohong beberapa kali dipilih. Semacam terlanjur cinta. Memprihatinkan memang.
Kata orang, hidup adalah perjuangan. Dan mereka adalah pejuang kehidupan paling tangguh. Bermodal nekat dan nyali, mereka mengarungi ekstrimnya lautan.
Semua itu demi sesuap nasi. Demi keluarganya yang kadang cemas menanti di rumah. Demi anak-anaknya, agar tetap sekolah. Banyak Sarjana Kampung Kenariblolong lahir dari hasil jualan.
Sebut saja, Ibu Rosa berhasil menyekolahkan anaknya Yeris Rinto menjadi sarjana tamatan Ende, Flores. Ibu Lisa, bahkan menghasilkan dua orang anaknya menjadi sarjana, Â Natalia dan Tino, lulusan Makassar.
Yulius Bedanaen meraih sarjana di Makassar berkat peluh Ibu Kris. Ivan Tukan juga berhasil meraih sarjana di Kota Kupang lantaran Ibu Lisa yang rela bangun sedini hari agar tidak ketinggalan perahu motor. Pun Ibu Maria Ese, keringatnya berbuah bahagia, lantaran Rian Tukan menamatkan kuliahnya di Kota Kupang.
Selain itu, Ibu Teresi menghasilkan Ina Badamakin yang meraih sarjana. Demikian juga ibu Lusia dan ibu Barek. Mereka sungguh-sungguh bahagia karena anaknya masing masing, Linda Waiwuring dan Bertos Paun memperoleh gelar sarjana di Makassar. Dan masih bayak Ibu-ibu yang lain.
Memang benar, Ibu selalu lantunkan doa agar kesuksesan anaknya tercapai melalui pendidikan yang lebih tinggi. Harapan ibu tentu anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak serta mulia. Dapat mengangkat derajat orang tua dan mengubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H