Hujan jatuh remah-remah. Menari gemulai. Entah ini kali yang ke berapa hujun jatuh saat senja dengan tampilan abu-abu di atas horison langit. Tanah yang basa tak pernah membenci hujan, barangkali mereka hanya ingin saling bersinergi demi kehidupan di bumi. Entah ini kali yang ke berapa hujun turun, lalu memercik butiran-butiran kata dalam kepala. Menggamit dawai-dawai hati.Â
Entah ini kali yang ke berapa saya menulis tentang rasa. Soal rasa hati tak pernah bohong, begitulah kira-kira yang diucapkan kebanyakan orang. Ya, saya setuju. Sebab saya pun termasuk dalam lingkaran insan manusia sebagai lelaki yang punya rasa dan tak bisa membohongi hal yang bergelayut di setiap helai nafas dan detak jantung.Â
Kamu pasti tahu betul, dalam guratan-guratan sederhana yang saya torekan di setiap jeda waktu. Lelaki yang hampir sama dengan yang lain, yang berdiri tegak di balik deretan kata. Bukan apa-apa, tapi memuntahkannya lewat lekukan pena adalah pilihan ideal menurut saya, saat lisan tak lagi sanggup menjangkaui telinga jiwa lantaran dibekap dinding jarak dan sekat waktu. Walau kadang bernada ceracau, telihat lebay seperti anak alay. Tak apa. Kalau pun dengan kejujuran memuat ekspresi jiwa dapat menumpahkan embun berfikir dan membuat pikiran sehat, kenapa tidak ditulis saja. Mungkin demikian.
Entah ini kali yang ke berapa saya berkata jujur. Kadang kejujuran memang cepat terlupakan ketimbang kebohongan. Tapi yang pasti, teruntuk kamu guratan ini saya labukan. Ya, kamu! Jika pun tak sempat matamu membacanya, itu tidaklah terlalu penting. Setidaknya saya sedang belajar menulis, membaca diri, mengenal diri, mendekatkan diri dengan bahasa-bahasa perasaan, dan berharap dapat didengar telinga jiwa, namun tidak bermaksud untuk menggurui. Setidaknya saya sedang belajar menjadi lelaki yang selalu jujur soal perasaan. Belajar menekan keengganan untuk berkata jujur. Jujur dari hal-hal kecil, menuju hal-hal yang kelak lebih besar lagi. Belajar meredam gengsi yang seringkali dialami oleh kebanyakan lelaki yang punya rasa. Belajar untuk tidak menipu diri.
Jujur, pasca berakhirnya drama romantika kacangan, juga picisan, yang pernah kami geluti di atas panggung sandiwara kehidupan, saya sempat memilih untuk menyendiri sementara waktu. Mencoba untuk mencintai diri, membahagiakan diri sendiri lebih banyak lagi, tanpa harus mengemis kebahagiaan dari orang lain. Sehingga jika nanti ada lagi yg mau menghampiri menaruh hatinya untuk dijaga, saya sudah kelebihan cinta untuk berbagi ke hatinya. Jika diri sendiri saja belum merasa bahagia, bagaimana mungkin dapat membahagiakan yang lain. Ini bukan tendensi egois, tapi kadang ada saatnya perlu memikirkan diri sendiri sebelum orang lain.Â
Dengan rentang waktu yang relatif lama, sempat saya menepi sepi dalam tepian kesepian. Kadang memberontak, lalu ingin bertarung dan berkelahi dengan sang waktu. Redah sesaat kala jemari bangun dari rehatnya untuk melepas penat di atas lini maya lewat sulaman kata. Memang benar, hati tak bisa berbohong. Apa lagi soal rasa. Sebelum semuanya layak untuk dilupakan, akan lebih baik saya ceritakan.Â
Sejujurnya, setelah drama romantika kacangan itu berakhir [maaf, saya harus bilang kacangan], sudah beberapa hati yang saya jumpai. Akan tetapi tak satu pun dapat bertahan lama dalam kantong ingatan saya. Mungkin ada yang terluka hatinya, dan pergi bersama kekecewaan. Maaf, mungkin saya terlampau polos bercerita.Â
Setelah mengenalmu, setelah beberapa percakapan kita ciptakan dalam medium maya, saya merasakan ada signal kedamaian yang terselubung. Lewat senyum simpul di bibir tipis mu yang merah merekah, terlihat ada damai di sana, di kedalaman jiwamu. Saat itu saya menyulut asa pada pemilik hati yang kita panggil Tuhan itu. Pun saya utarakan lewat beberapa percakapan singkat, walau bagimu masih kabur air, juga lewat sepotong tulisan pada dinding maya. Jika belakangan ini ada di antara kita tersa dingin, dan jarang memberi kabar, itu wajar dan alami. Ia seperti pasang-surutnya laut, sama halnya rasa. Kata yang satu tak pernah membenci kata yang lain, mereka hanya membutuhkan jeda atau spasi, agar mereka punya makna. Soal ini, kamu pasti mengamininya.Â
Sampai di pertengahan laju pena, hingga pada baris tulisan yang kesekian ini, mungkin tanpa kamu sadari, kamu yang membangunkan pena yang sudah cukup lama terbaring lelah. Sebab sudah cukup lama ia enggan menguarai kisah. Kendati sekedar merayu mata agar cepat terbenam dalam selimut malam. Kamulah yang menghembuskan angin segar, untuk pelan-pelan mengepal hati. Tentu kamu masih ingat kataku; pelan-pelan saja. Pada akhirnya saya mafhum, pelangi akan tiba selepas hujan meluruhkan tanah. Hujan pun tak membenci tanah, mereka hanya tak ingin saling menyakiti. Meski terkadang 'pelan-pelan' tak sedikitpun mengajak kita di titik rindu. Tapi, ah, tidakah lebih sesuatu dan syaduh dari dua kepingan yg pelan-penan saling terpaut? Meski jarang menyapa tapi diam-diam mengeja nama dalam dedoa. Bukankah begitu adanya?
Barangkali masih saja ada hal yang belum gambalang. Namun sekali lagi kita ingat; pelan-pelan saja. Sampai pada satu hari yang tak bisa kita perkirakan. Mungkin sampai mulut tak lagi gagu, tanpa harus fokus pada jantung yang dengan cepat berdebar itu. Ketahuilah, saya tidak akan pernah mengatakan kata-kata yang diucapkan kebanyakan orang; pasaran, rombengan, bualan. Jadi biarkan masing-masing kita pelan-pelan membaca diri. Dan selama itu, silakan kita menunggu. Pelan-pelan saja. Setidaknya saya sudah menulis tentang hal ini, untuk saling meyakini, untuk pelan-pelan saja. Perjuangkan terlebih dahulu apa yang ingin kamu perjuangkan, sebelum bersama memperjuangkan asa yang pernah saya hembuskan lewat lisan.Â
Kita perlu mengerti, terkadang ada beberapa perihal bukan untuk ditebak. Biarlah dalam keremangan ia terbungkus, sebagai sesuatu yang tidak disangka. Mau tidak mau. Â Mari tutup telinga kananan dan kiri dari celoteh pantun mereka; saya realmadrid, kamu barcelona_saya sudah merid kamu masih berkelana. Â Sebab, mencintai lalu menikah bukan sekedar rasa suka atau kagum, lebih dari itu adalah tentang keputusan. Keputusan yang tidak ringan. Mungkin demikian.Â