Pertanian Sebagai Ladang Pahala dan Rezeki. Itu adalah artikel pertama saya di kompasiana.com yang mana tulisan tersebut terinspirasi dari pengalaman saya ketika berbelanja di Pasar Giwangan, Yogyakarta.
Dua tahun yang lalu tepatnya tanggal 12 Desember 2021 saya menulis artikel berjudulSaat berbelanja di Pasar Giwangan kala itu, saya menyaksikan berbagai macam komoditi pertanian yang dijual oleh pedagang. Saya senang melihat hal itu karena masih ada orang yang masih mau bertani sehingga bahan pangan mudah dijumpai di pasar. Terima kasih, petani.
Hari ini, 12 Desember 2023, saya kembali menulis pengalaman yang saya dapatkan tentang cerita-cerita hidup orang-orang yang berjuang di sektor pertanian karena rasanya sayang apabila cerita ini saya pendam sendiri dan tidak dibagikan ke publik.
Cerita ini berlatar di Sleman, Yogyakarta dalam kurun waktu Juli-September 2022, ketika saya masih menuntut ilmu di Pondok Pesantren. Selama di pondok, saya diberi amanah untuk mengelola lahan milik Bu Miftah. Beliau adalah guru mengaji saya selama di pondok.
Saya senang mendapatkan kesempatan itu karena saya bisa menerapkan ilmu yang saya dapat selama kuliah. Selain itu, saya juga ditemani pak Abu. Beliau adalah petani yang dipercaya untuk mengelola lahan milik Bu Miftah. Jadi, saya bisa belajar ilmu pertanian dari lelaki tersebut.
Jalan Jalan Terlebih Dahulu Sebelum Terjun ke Lapangan
Sebelum bertugas di lapangan, saya diperkenankan untuk melihat-lihat lahan milik wanita yang bernama lengkap Miftakhul itu. Saya diantar oleh anaknya yaitu Iim yang juga teman saya di kampus. Semasa kuliah, kami mengambil jurusan yang sama yaitu Agroteknologi.
Mengendarai motor Scoopy warna cokelat-putih, Iim mengajak saya jalan-jalan ke sawah. Bu Miftah memiliki beberapa lahan. Hanya saja pemanfaatannya belum maksimal karena keterbatasan tenaga kerja. Di situ saya merasa sedih melihat tanah kurang dimanfaatkan dengan baik.
Selesai melihat lahan, Iim membawa saya ke sebuah peternakan sapi perah. Ada juga kandang kambing di sana. Saya semakin kagum melihatnya. Tapi di sisi lain juga menyayangkan. Lahan di sana subur, sumber air untuk irigasi tersedia melimpah. Kotoran dari kandang sapi dan kambing bisa dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Apabila kekayaan alam itu bisa dikelola dengan baik saya yakin warga di sana bisa sejahtera walau hanya dari bertani.
Bu Miftah sendiri juga menyayangkan hal itu. Namun, beliau sadar usianya sudah tak muda lagi, tenaganya juga sudah tak sekuat dulu. Jadi sangat berat jika harus mengelola lahan sebanyak itu sendiri. Oleh karena itu, beliau memperkerjakan orang lain untuk menggarap sawahnya. Biasanya beliau ke sawah ketika lahan siap tanam untuk membantu menyemai benih, atau panen.
Selain bertani, wanita yang kerap disapa Bu Mif itu juga membuka usaha warung, berjualan aneka jajanan, dan menjual makanan yang ia buat sendiri. Beliau juga menitipkan dagangannya ke angkringan atau warung tetangga.
Selama di pondok, saya juga tidak dibebankan biaya apa pun. Hanya saja, Bu Miftah meminta saya membantu beliau bertani. Sebenarnya sawah beliau sudah ditanami beberapa tanaman. Ada pare, daun loncang, labu siam, dan lain-lain. Namun, semuanya itu masih dalam tahap setengah pengerjaan. Di situ saya diminta melanjutkan. Sesekali dibantu pak Abu ketika beliau berangkat kerja.
Apakah banyak kegiatan yang harus saya lakukan? Iya. Mulai dari membersihkan gulma, memasang ajir yang belum selesai, menanam kacang tanah, jahe, cabai, dan sawi caisim. Sesekali memupuk dan mengairi sawah. Namun, Bu Miftah meminta saya bekerja semampunya dan harus pulang sebelum azan zuhur. Beliau menegaskan kepada saya untuk selalu sholat berjamaah di masjid.
Sebuah Pelajaran Hidup
Bu Miftah sosok yang disiplin. Menurutnya bekerja boleh, tapi waktunya sholat ya sholat. Pernah saya kedapatan tidak sholat berjamaah di masjid karena saya terlalu asik di lahan jadi terlambat pulang ke pondok. Di situ saya langsung ditegur dan tidak boleh diulang lagi.Â
Disiplin waktu merupakan salah satu kunci kesuksesan. Itulah pelajaran hidup yang saya dapatkan dari Bu Miftah.
Rasanya senang bisa terjun ke lapangan dan terlibat langsung dalam proses pengerjaan karena saya tidak bekerja sendirian. Seperti saat menanam kacang tanah, pak Abu yang mencangkul lahan, Bu Miftah yang membuat lubang tanam, dan saya yang menyemai kacangnya. Memang, pekerjaan terasa ringan jika dikerjakan bersama.
Terlebih, Bu Miftah seorang yang dermawan akan ilmu dan materi. Selama bertani, beliau kerap kali menasihati saya ilmu hidup. Beliau juga tidak segan memberi upah lebih kepada karyawannya meskipun hanya bekerja setengah hari. Padahal kalau bisa dibilang ya "besar pasak daripada tiang." Income tidak sebanding dengan outcome. Apakah beliau tidak rugi? Saya juga bertanya mengenai hal itu. Akan tetapi jawaban Bu Miftah membuat saya terharu.
"Saya tidak mencari keuntungan dari bertani. Niat saya di sini untuk ibadah, merawat bumi dengan menumbuhkan tanaman di atasnya. Saya yakin Allah akan membuka pintu rezeki yang lain untuk saya," kata Bu Miftah.
"Memang hasilnya tak seberapa, tapi saya bersyukur dengan lahan terbatas ini saya bisa memberikan lapangan kerja untuk orang lain. Pun, lahan saya juga tidak terbengkalai. Saling berbagi rezeki, Mbak," tambahnya.
Itulah cerita tentang Bu Miftah, seorang petani dan guru mengaji yang bisa kita jadikan teladan. Sebuah pelajaran hidup dari hal sederhana namun memberikan manfaat bagi sesama.
Cerita Bu Miftah menjadi salah satu kisah inspiratif dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah indahnya jika hidup ini bisa saling tolong-menolong. Yang kehidupannya lebih baik, cukup secara materi bisa membantu orang lain dengan memberinya pekerjaan agar ia memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H