Mohon tunggu...
Tina Hardiansyah
Tina Hardiansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi PBA UIN Malang, Santri Pesantren Global, Fans STF al-Farabi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

30-40 Tahun Mendatang, Bangsa Indonesia, Masihkah Kau Ada?

8 Oktober 2013   10:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:50 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Bisa saja Bangsa Indonesia ini hilang, paling sekitar 30-40 tahun lagi. Apalagi kalau tidak ada upaya untuk menjaga dan mempertahankannya.” Ungkap K. Ng. H. Agus Sunyoto dalam beberapa kali pertemuan Ngaji Rutinan Selasa malam di Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, Pakis-Malang.

Apa yang dikatakannya bukan karangan belaka, bukan pula imajinasi seorang cerpenis, namun berdasarkan pada realita yang ada saat ini. Dari segala aspek, kondisi bangsa ini kian ruwet dan tak jelas saja. Mari coba kita amati dengan lup.

Pertama, dari aspek kepemimpinan dan kepemerintahan. Rakyat tak lagi mempercayai adanya pemimpin Negara. “Ada tidaknya mereka tak memberi dampak positif sedikit pun kepada kami. Toh kami tetap miskin dan hidup dalam serba kekurangan.” Ungkap Pak Agus, warga kecamatan Blimbing-Malang dalam Forum Pendidikan Pemilih Kritis III (22/08) yang dihelat Malang Corruption Watch (MCW) dalam upaya mendorong partisipasi masyarakat untuk menjadikan Pilgub Jatim jujur dan berintegritas.

Hal tersebut menjadi maklum ketika kita melihat realita demokrasi Indonesia hari ini. Untuk menjadi seorang pemimpin, meski tanpa memiliki skill kepemimpinan, tanpa berbekal pengetahuan yang cukup tentang ilmu ketatanegaraan dan tanpa keterampilan pengelolaan Negara secara praksis, siapapun bisa jadi seorang pemimpin Negara kala dukungan partai politiknya kuat, lobiying medianya gencar dan kampanye dengan money politic-nya terus digalakkan.

Padahal, untuk menjadi seorang pemimpin, dibutuhkan skill, pengetahuan, dan kapabilitas dalam mengelola Negara. Di samping itu dibutuhkan pula melihat pada sosok yang adil, jujur dan bijaksana. Bukan orang yang haus akan materialism dunyawiyah, yang ingin mengeruk harta sebanyak-banyaknya dari Negara. Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki karakter kuat untuk mengelola negara dan rakyatnya. Menurut budayawan Mohammad Sobari, salah satu sifat yang perlu dimiliki pemimpin adalah jujur tanpa pencitraan yang direkayasa.

Jika tidak, akan terjadi peristiwa seperti yang tengah melanda negeri ini dewasa ini. Pemimpin Negara yang seharusnya mengayomi, membawa rakyat pada kesejahteraan sosial-ekonomi, nyatanya tak lebih dari para maling yang mencari makan dan menumpuk kekayaan diri dan keluarga dengan mencuri hak-hak rakyat. Bahkan setaraf lembaga Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bersih dari korupsi, justru pimpinannya terjerat kasus korupsi. Bahkan disinyalir sebagai pengguna narkotika.

Kedua, dari aspek mentalitas bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan mental minder, buruh, pemalas, konsumer dan mau serba instan. Sebagai contoh, dalam hal-hal kecil dan sederhana, namun penting saat kita membincang perihal identitas adalah semakin menghilangnya nama-nama ala Indonesia. Seperti nama I Gede Ngurah, I Putut, I Dewa untuk daerah Bali; Daeng Malomo, Daramang, Ambo Lau untuk suku Bugis; Suradi, Poniran, Paikem untuk nama-nama Jawa dan masih banyak lagi daerah, suku dan adat nama Indonesia lainnya yang dewasa ini sudah tak lagi diminati oleh warga Negara Indonesia sendiri.

Masyarakat kita akan lebih bangga menamakan putra-putrinya dengan nama “King Kevin, Ronald, Gracia, Magdalena dan nama-nama lainnya yang berbau kebarat-baratan.” Paradigma masyarakat telah dihegemoni sedemikian rupa sehingga merasa tidak PeDe jika harus menggunakan nama-nama asli Indonesia. Orang dengan nama Jematin dianggap sebagai orang katrok, jadul, nggak gaul dan cemooh lainnya hanya karena namanya tidak keren, nggak oke. Padahal sederhana saja, orang tuanya memberi nama itu karena ia lahir di hari jum’at.

Di lain sisi, masyarakat kita juga merasa nggak Pede saat berbelanja di pasar tradisional. Pasar tradisional, di mana di sana terjadi proses interaksi sosial, saling berkomunikasi satu-sama lain melalui proses tawar-menawar, kini dianggap sebagai tempat murahan, tempat bagi orang-orang yang berada di level ekonomi menengah ke bawah sehingga tak sedikit dari masyarakat kita yang gengsi jika harus menginjakkan kaki di pasar. Orang (ibu-ibu) membawa uang segepok tapi berbelanja di pasar kalah gaul dengan seorang anak muda misalnya, yang hanya berbekal selembar kertas I Gusti Ngurah Rai tapi masuk ke Matos, Batos, MOG, Giant, Hypermart, alfamart dan mart-mart sejenis. Padahal, di sana si anak muda ini hanya mejeng saja, pasang muka sembari cuci mata. Baginya ia lebih waaaaww ketimbang ibu-ibu yang pergi ke pasar tadi.

Sepele memang, namun jika hal di atas terus berlanjut dan tanpa ada sedikitpun upaya untuk mencegahnya, maka bukan sebuah kemustahilan bangsa ini akan lenyap, hilang sebagaimana Bangsa Campa, Qurdi, dan Khazar. Di mana bangsa-bangsa itu kini telah hilang, bahkan orang-orang yang masih keturunannya sudah tak lagi mengetahui bahasa asli bangsanya. Maka, langkah-langkah strategis sangat diperlukan guna mempertahankan bangsa ini dari penyakit amnesia --- yang berlanjut pada kehilangan jati diri, identitas sebagai bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun