Mohon tunggu...
SGI Sambas KalBar
SGI Sambas KalBar Mohon Tunggu... -

Akun ini dikelola oleh lima orang, Syaiful Hadi, Irhamni Rahman, Junita, Gusti Rahayu, dan Jamil Abdullah.. Anggota SGI yang mengabdi di Sambas, Kalimantan Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rakyat, Jangan Cuma Jadi Penonton!!

12 Agustus 2012   21:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Irhamni Rahman, Mengabdi di Desa Sarang Burung Usrat Kec. Jawai, Kab. Sambas, Kalimantan Barat

Ahli Komen! Mau tak mau, itu yang akhirnya terlabel terhadap beberapa pihak dalam petualangan saya ke beberapa tempat di Indonesia dari mulai Miangas-Sulut, Sebatik-Kaltim, Rote-NTT, Merauke-Papua, dan saat ini di pedalaman Kalimantan Barat, Desa Sarang Burung Usrat, Kec. Jawai, Kab Sambas. Di Nusantara semua terasa serba salah, pemerintah tidak memihak rakyat, rakyat tidak mendukung pemerintah, lalu untuk apa ada negara??? Ketika salah satu perbatasan utara saya datangi, ternyata saya sadar bahwa darah ini sudah kerap kali mendapat bantuan ini dan itu dari pemerintah, namun sepertinya pemerintah baru sanggup mendanai dengan ikan bukan memberi bantuan berupa kail dan bagaimana cara menangkap ikan.

Dana demi dana, sekian ratus juta, sekian miliyar, ya habis begitu saja tanpa bekas,cuma kesenangan perut sesaat saat bantuan datang. Misalnya saja, ketika ada penggelontoran dana pembangunan koperasi dengan nominal cukup besar, kemudian tanpa adanya pelatihan dan bimbingan yang tuntas dari pemerintah terkait, ya sudah dana tersebut habis entah kemana, modal ya modal, tak kembali tanpa hasil, bahkan komentar salah satu penduduk di sana adalah “jangankan untung Mbak, toplesnya saja tidak kembali!” Setelah semua habis, datang lagi bantuan dalam rangka hari inilah, hari itulah, datang sumbangan entah berupa dana segar, bahan pangan, dan lain sebagainya yang habis pada saat itu juga, setelah semua “hari-haritertentu” itu berakhir, ya sudah tidak berbekas apa-apa bukan???

Ketika tidak ada moment-moment bantuan tertentu, sebagian rakyat yang biasa dibantu dengan ikan biasanya kembali menyalahkan pemerintah, merasa tidak dipedulikan, merasa terbuang dan tak dipikirkan oleh pemerintah tanpa sedikit pun mencoba melihat ke belakang. Pemerintah juga begitu, ketika ada program perencanaan pembangunan tidak berhasil di suatu daerah, mereka tidak mau disalahkan, merasa tidak didukung rakyat, merasa rakyat tidak kooperatif! Padahal kalau saja setiap sen dana itu benar-benar terwujud dalam sebuah program pembangunan yang benar-benar membangun, bukan hanya sekedar “ada” tetapi memang benar-benar “matang” tanpa ada potongan sana sini, dan tidak sekedar “memberi ikan”, saya yakin “pembangunan”itu akan benar-benar terjadi.

Belum lagi di suatu daerah perbatasan pantai yang luar biasa indah, “terlihat” sudah cukup maju. Begitu saya telisik lebih dalam, lagi-lagi pegelolaannya bukan dari negara kita, pasti kalau sudah maju itu karena ada campur tangan asing, dan lagi-lagi pihak asing yang diuntungkan. Misalnya saja penyewaan tanah warga selama 60tahun yang tidak jelas bagaimana kelanjutannya, atau penjualan lahan-lahan potensial kepada pihak asing yang berani membayar dengan harga tinggi menurut rakyat di sana, kemudian lahan tersebut diekspor sedemikian rupa, menjadi maju, dan penduduk asli setempat lagi-lagi hanya menjadi penonton atau kalau masih cukup beruntung, ya mereka jualan di pinggiran saja. Miris bukan!

Ada juga di suatu daerah perbatasan kalimantan timur yang kaya akan duren berbagai rasa, menjual semua hasil panennya ke pihak negara sebelah yang lebih dekat dan murah dari segi modal transportasi, kemudian negara sebelah mengolah dan mengkemasnya sedemikian rupa, diberi merek negara mereka dan di jual kembali atas nama negara sebelah, dan kemungkinan terburuknya adalah dibeli lagi oleh orang Indonesia. Alasannya simpel, dengan menjual hasil panen, untuk sebuah wilayah yang listriknya masih naik-turun tak tentu dan jauh dari pusat ibukota, penjualan hasil panen secara mentah-mentah tersebut sangatlah memungkinkan dibanding harus mengolahnya sendiri, yang penting “sudah ada untung”. Kemudian kelak ketika semakin tau tentang klaim ini-itu dari negara sebelah, barulah “rakyat dan pemerintah” sibuk tidak terima. Siapa suruh hanya menonton???

Kemudian di sebuahperbatasan timur Indonesia yang pengelolaan hutan lindungnya dikelola oleh LSM Lingkungan asing. Mungkin awalnya “terlihat membantu” tapi lama kelamaan pihak-pihak terkait merasa berkuasa akan daerah kelolaannya, membuat aturan yang bahkan tidak boleh dibantah oleh pemerintah daerah setempat (Loh, sebenarnya ini negara siapa sih?) Pembangunan daerah tertinggal penduduk adat setempat pun menjadi teganjal izin ini-itu, bahkan penggunaan sumber daya alam yang tidak seberapa banyak untuk kebutuhan sehari-hari penduduk adat setempat pun menjadi dipermasalahkan dengan alasan “perusakan lingkungan” (Memangnya berapa banyak sih kayu bakar yang penduduk pakai buat masak dibandingkan seluruh praktek illegal loging yang ada??) dan lagi-lagi rakyat hanya bisa menonton!

Begitu pun di salah satu perbatasan kalimantan barat yang kini sudah marak dipenuhi oleh kebun-kebun kelapa sawit. Saya pikir, “wah yang ini memajukan rakyat” Nyatanya tidak semanis itu, memang banyak pendatang yang dari berbagai daerah Indonesia(pemilik modal) yang sukses sebagai pemilik hektaran kebun-kebun sawit di sini. Tapi bagaimana dengan nasib suku aslinya?? Mereka menjual dengan mudahnya tanah mereka, dan sekarang mereka hanya jadi penonton kesuksesan para pendatang, kalaupun ada yang tidak menjadi penonton, ya mereka jadi pekerja kasarnya saja.

Tidakkah rakyat kita lelah? Menonton kesuksesan orang lain tanpa terpacu untuk menjadi sukses juga? Lalu kalau sudah menjadi bagian dari “rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan” atau ketika pemerintah merasa semakin banyak rakyat yang tidak maju mulailah semua pihak saling menyalahkan. Berhentilah menjadi penonton, mulailah bergerak, dan teruslah bergerak!

Selamat Pagi!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun