Oleh : Jamil Abdullah, Sekarang mengabdi di Senabah, Kec. Sejangkung, Kab. Sambas, Kalimantan Barat
Jakarta tumacemape Pak?
Sebuah pertanyaan yang mengawali puluhan pertanyaan berikutnya, menandakan keingintahuan dari predator-predator Borneo, sebutan saya untuk anak-anak Senabah, kampung di bibir sungai Sambas Kalimantan,yang antusias belajar.
Malam itu, mereka tidur di ruang kantor sekolah. Mereka menginap di kantor bukan untuk menonton televisi seperti yang sering mereka lakukan di rumah, melainkan untuk belajar bersama membahas materi yang akan diujiankan besok, hari kedua ulangan tengah semester akhir.
Jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Aan, Restu, Alfi, Abdi, Rizky, dan Wawan terlihat serius menatap tajam buku LKS mereka dari jarak 20 cm. Mungkin jaraknya terlalu dekat, sangat tidak baik untuk kesehatan mata. Namun, itu harus mereka lakukan agar tulisan tampak jelas. Maklum malam itu listrik padam dari 9 jam yang lalu. Sepertinya ada gangguan di PLN setempat. Hanya ada dua batang lilin kecil sebagai pelita yang diletakkan di tengah-tengah kepungan para predator-predator ilmu itu. Satu per satu lembaran buku LKS yang sudah usang mereka buka.
Usang, bukan karena tidak dirawat, namun karena sudah lapuk dimakan usia. Usianya sudah bertahun-tahun. Buku LKS itu jumlahnya sangat sedikit dan telah dipakai turun temurun oleh siswa-siswa di sekolah itu. Sekarang giliran mereka yang menikmati sajian ilmu yang belum direvisi, sehingga banyak kata atau rumus yang salah dalam buku LKS itu. Ada gambar sapi, kambing, mangga, akar, batang, bunga, dan sebagainya. Besok adalah jadwal ujian untuk mata pelajaran Sains.
Setelah mereka selesai membaca materi yang akan diujikan besok, saya mengajak mereka untuk berlatih menjawab soal yang terdiri dari multiple choice, menjodohkan, melengkapi gambar, dan isian yang terdapat dalam buku LKS. Terlihat antusiasme yang sangat tinggi saat mereka berebut menjawab soal yang saya bacakan, layaknya predator Amazon yang sedang memperebutkan sepotong daging.
Melihat Rizky berubah posisi dari telungkup serius menjadi telentang seperti kecapean, saya menyelingi kegiatan belajar malam itu dengan sebuah cerita tentang cita-cita tiga orang siswa di pulau Jawa yang juga pernah saya didik. Mereka ingin menjadi seorang pemadam kebakaran, persis seperti cita-cita Rizky.
"Nanti Rizky bekerje di Jakarta sebagai pemadam kebakaran bersame tige orang siswe Bapak ya..", kataku menguatkan. Iya mengangguk kuat, tampak semakin bersemangat, seolah mendapat dukungan kuat dari orang yang sangat iya percaya. Mendengar kata Jakarta, sontak saja mereka melayangkan puluhan pertanyaan yang sebenarnya sudah di luar tema pembicaraan pada malam itu. Malam itu sebenarnya saya ingin menyampaikan cerita tentang profesi pemadam kebakaran tetapi dicut oleh keingintahuan mereka terhadap Jakarta, ibukota yang penuh cerita.
"Jakarta itu macam ape, Pak?", pertanyaan pertama tentang Jakarta terlontar dari mulut Rizky. Saya pun menggambarkan Jakarta sebagai sebuah kota besar dengan bermacam-macam kendaraan lalu lalang, bertaburan gedung-gedung pencakar langit, dihiasi lampu-lampu berwarna-warni, namun penuh polusi. Sangat berbeda dengan kondisi kampung mereka yang sunyi senyap dan masih alami. Tampaknya mereka begitu kagum dengan kota yang satu ini. Jahatnya polusi yang sudah merajalela sepertinya tidak dipikirkannya. Di benak mereka Jakarta adalah surga.
"Pak, ade ke si'an potonye Jakarta di laptop Bapak?", tanya Wawan dengan bahasa Melayu Sambas yang artinya "Pak, ada nggak poto kota Jakarta di laptop Bapak?". Saat saya mengangguk, mereka semua menegakkan kepala, menatap ke arah saya, dan dengan kompak berkata "Mane? mane? Liatken kami Pak" (Mana? Mana? Perlihatkan pada kami Pak). Melihat mereka menampakkan naluri predatornya, saya pun langsung menyalakan laptop. Pertama-tama kuperlihatkan gambar Bunderan HI. Tiba-tiba Restu berkata dengan nada yang agak tinggi "Pak, saye pernah liat poto ito' di Tendangan Si Madun". Tendangan Si Madun adalah judul sinetron yang sering mereka tonton selepas Isya.
Pertanyaan-pertanyaan lain pun mengalir dengan lancarnya memakai bahasa Melayu Sambas yang terkadang saya tidak paham maksudnya. Hingga mereka menanyakan sekolah yang ada di sana. Senang rasanya mendengar anak seusia mereka menanyakan hal-hal yang berbau pendidikan. Meski gelap, namun saya seperti melihat cahaya terang di mata-mata mereka. Saya pun memperkenalkan SMP-SMA SMART Ekselensia Indonesia, sebuah sekolah gratis berasrama yang diperuntukkan buat kaum dhuafa. Mendengar sekolah unggulan, fasilitas lengkap, libur dua hari sepekan (Sabtu-Minggu), dapat uang jajan, serta dibebaskan dari segala macam pungutan biaya, mereka semakin terhanyut dan ingin segera ke sana. "Berape ari baru' sampai ke Jakarta, Pak? Ke sinun naek ape, Pak? Ongkosnye dibayarke da'an, Pak?", beberapa pertanyaan seolah menyerang saya. Belum sempat menjawab satu pertanyaan, diserang lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lain.
Mereka memang predator. Predator-predator kecil yang rakus akan ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu yang tinggi, dan gigih dalam menuntut ilmu. Saya hanya tersenyum melihat predator-predator kecil itu. Terima kasih Allah SWT yang telah mempertemukanku dengan mereka. Banyak pelajaran yang saya dapat dari mereka. Belajar untuk bersyukur, belajar untuk hidup dan berusaha dengan segala keterbatasan, dan belajar untuk tetap belajar dan belajar.
Selamat Berkarya Guru Indonesia!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H