Malang - Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia, berada di peringkat keenam setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Meksiko. Di Indonesia, prevalensi diabetes melitus (DM) terus meningkat, dengan proyeksi mencapai 11,1% dari populasi. Salah satu komplikasi kronis yang sering terjadi pada penderita diabetes adalah infeksi kulit. Kondisi hiperglikemik pada penderita diabetes menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, yang memicu gangguan sistem imun dan meningkatkan risiko infeksi kulit, seperti dermatitis dan infeksi yang disebabkan oleh jamur, khususnya infeksi kandidiasis dari Candida albicans.
Luka diabetes yang sulit sembuh disebabkan oleh tingginya kadar reactive oxygen species (ROS), yang menghambat proses penyembuhan luka. Kondisi ini dapat diatasi dengan penggunaan terapi yang mengandung antioksidan dan antimikroba. Salah satu bahan alami yang memiliki potensi tersebut adalah bawang putih tungga (Allium sativum L.), terutama dalam bentuk Single-Aged Garlic (SAG)/bawang hitam yang mengandung senyawa aktif dengan sifat antimikroba, antikanker, antioksidan, antiinflamasi, dan antialergi. Proses fermentasi SAG meningkatkan senyawa bioaktif seperti S-ally-cysteine (SAC), flavonoid, dan polifenol, yang memperkuat efek antimikroba, khususnya dalam melawan Candida albicans.
Namun, senyawa aktif SAG seperti flavonoid memiliki kelarutan lemak yang buruk, sehingga sulit menembus lapisan kulit. Teknologi nanopartikel, khususnya transfersom, diteliti sebagai solusi untuk meningkatkan penetrasi dan bioavailabilitas SAG. Transfersom adalah vesikel nanoteknologi yang dapat membawa senyawa aktif melewati lapisan kulit, dan sifat deformabilitasnya memungkinkan penetrasi yang lebih baik. Dengan adanya komponen hidrofilik dan hidrofobik, transfersom efektif dalam membawa zat aktif seperti fenolik, flavonoid, dan sulfur untuk mencegah inflamasi pada kulit penderita diabetes.
Penelitian ini meliputi tahap optimalisasi formulasi, karakterisasi, dan uji antimikroba terhadap SAG berbasis transfersom yang dilakukan oleh salah satu guru besar dalam bidang fisiologi Departemen Biologi Universitas Negeri Malang yaitu Prof. Dr. Sri Rahayu Lestari, M.Si. Tahap karakterisasi transfersom SAG mencakup beberapa analisis kunci untuk memastikan efektivitas, stabilitas, dan kemampuan penetrasi formula SAG berbasis transfersom. Berbagai parameter dalam penelitian ini antara lain:
1. Karakterisasi
- Ukuran Partikel dan Distribusi Ukuran-Ukuran partikel transfersom sangat mempengaruhi kemampuan penetrasinya ke dalam kulit. Metode Particle Size Analyzer (PSA) digunakan untuk mengukur rata-rata ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel dalam formula. Ukuran partikel yang kecil, terutama di bawah 200 nm, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penetrasi melalui stratum korneum. Selain itu, polydispersity index (PDI) juga diukur untuk mengetahui tingkat distribusi ukuran partikel dalam sediaan, dengan nilai yang rendah menunjukkan distribusi yang seragam.
- Zeta Potensial-Zeta potensial mengukur muatan permukaan partikel dalam sediaan dan memberikan informasi mengenai stabilitas fisik sistem. Nilai potensi zeta yang tinggi (baik positif maupun negatif) menunjukkan stabilitas yang baik, yang berarti partikel dalam suspensi tidak mudah menggumpal. Dengan adanya muatan yang memadai, transfersom SAG diharapkan stabil selama penyimpanan.
- Encapsulation Efficiency (Efisiensi Enkapsulasi)-Efisiensi enkapsulasi mengukur jumlah SAG yang berhasil dikapsulkan dalam transfersom dibandingkan dengan jumlah total SAG yang digunakan dalam formulasi. Nilai efisiensi yang tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar senyawa aktif berhasil diintegrasikan ke dalam vesikel, sehingga memperkuat potensi terapeutiknya. Pengukuran dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis untuk mendeteksi konsentrasi SAG yang terenkapsulasi.
- Mikroskopi Transmisi Elektron (Transmission Electron Microscopy/TEM)-TEM digunakan untuk mengamati morfologi dan struktur vesikel transfersom pada skala nanometer. Melalui TEM, morfologi partikel dapat dilihat apakah bulat sempurna, berlapis-lapis, atau memiliki deformabilitas sesuai harapan. Analisis ini memberikan gambaran visual mengenai bentuk dan integritas struktur vesikel setelah formulasi, yang dapat memperkuat bukti bahwa transfersom SAG siap untuk penetrasi.
2. Uji Aktivitas Antimikroba Transfersom SAG terhadap Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Propionibacterium acnes dan Candida albicans
Hasil uji antibakteri menunjukkan bahwa formula transfersom SAG memiliki zona hambat pada E. coli, P. aeruginosa, S. aureus, dan P. acnes. Â Aktivitas antibakteri transfersom SAG ini diduga berasal dari senyawa allicin, ajoene, dan flavonoid, yang dapat merusak membran sel bakteri serta menghambat sintesis RNA, DNA, dan lipid. Allicin yang bersifat hidrofobik mempermudah penetrasi ke dalam membran bakteri, sementara ajoene dan flavonoid mendukung penghambatan dan merusak struktur protein bakteri. Uji antijamur terhadap C. albicans melaporkan daya hambat terhadap jamur tersebut. Bawang putih dan bawang hitam yang mengandung allicin dan S-allylcysteine (SAC) dilaporkan memiliki aktivitas antijamur.
3. Uji Stabilitas Fisik Transfersom SAG
Stabilitas fisik dari transfersom SAG diuji untuk memastikan bahwa formula tetap efektif selama penyimpanan. Pengujian stabilitas dilakukan dalam beberapa kondisi berbeda, termasuk penyimpanan pada suhu kamar dan suhu rendah (refrigerator) untuk mengamati perubahan ukuran partikel, potensi zeta, dan efisiensi enkapsulasi dalam periode tertentu. Stabilitas formula yang baik akan memastikan bahwa transfersom SAG siap digunakan secara klinis dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa mengalami degradasi atau perubahan fisik yang signifikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H