Mohon tunggu...
timotius lubis
timotius lubis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Boraspati

don't hate what you don't understand

Selanjutnya

Tutup

Politik

Satu Dekade Kekuasaan si "Raja Jawa"

23 Agustus 2024   17:50 Diperbarui: 23 Agustus 2024   17:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari itu menjadi hari yang menegangkan bagi Joko Widodo dan Prabowo Subianto tepat pada Selasa 22 Juli 2014 hasil Pilpres diumumkan dengan kemenangan Pasangan Calon Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Mungkin itu juga hari yang menyedihkan bagi Prabowo karena itu menjadi kekalahan keduanya pada Pertarungan Pilpres. Jokowi  sosok yang cukup diremehkan oleh Prabowo karena dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menjadi seorang Presiden bahkan meledek Jokowi mirip Kusir. Sebelumnya hubungan mereka berdua sangatlah mesra, salah satu tandanya adalah ketika Prabowo mendukung penuh Jokowi untuk bertarung di Pilgub DKI Jakarta 2012, namun Prabowo tidak memperhitungkan secara politik bagaimana dampak kursi Gubernur DKI Jakarta.

Media massa sibuk memunculkan nama Jokowi untuk bertarung di Pilpres 2014, apakah ini bagian dari "Agenda Setting"? atau memang Tuhan berkehendak demikian? Entahlah yang mana yang benar. Yang pasti Pilpres 2014 menjadi Pilpres pertama dengan dua pasangan Calon dan mengakibatkan hubungan antar pendukung tidak harmonis. Banyak pengamat menilai bahwa kondisi dua calon bisa berbahaya, karena cenderung pertarungannya akan berhadap-hadapan rentan konflik antar masyarakat. Namun pandangan itu terjadi, muncul sentimen negatif antar pendukung, ini juga saya yakini karena karakter pemilih Indonesia adalah pemilih yang cenderung emosional. Rasionalitas masyarakat juga semakin minim ditandai dengan debat antar kandidat minim ide dan gagasan, hanya saling serang pribadi satu sama lain.

Setelah menyelesaikan pertarungan Prabowo pada akhirnya menerima hasil Pilpres dan berkomitmen akan menjadi Oposisi bagi pemerintahan Jokowi. Bahkan partai yang memilih berbeda jalan dengan Jokowi mendominasi Legislatif dan berdampak kondisi pemerintahan yang sangat dinamis, hari-hari kita pada masa itu dipenuhi kemarahan Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Partai pendukung pemerintah berjibaku memberikan perlindungan terhadap pemerintahan Jokowi, karena memang kalah jumlah sering kali kebijakan Jokowi terhambat. Saling serang antar kelompok politik tersebut ditanggapi bermacam-macam oleh pengamat, banyak pengamat menilai hal itu normal pada negara demokrasi dan juga banyak pengamat menilai perdebatan itu tidak efisien dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Jokowi menyadari betul bahwa posisinya tidak efisien jika tetap mempertahankan jumlah opisisi   yang cukup besar, banyak program tidak berjalan mulus. Maka operasi politik pun dilakukan oleh Jokowi dan anak buahnya. Satu per satu partai politik yang memilih oposisi terhadap Jokowi berangsur melemah dan memilih bergabung dengan koalisi Jokowi. Golkar semisal, partai terbesar kedua setalah PDIP memilih bergabung bersama Jokowi, lanjut PPP dan PAN bergabung mendekati masa akhir kabinet Jokowi-JK 2019. Bagi saya periode pertama Jokowi adalah periode terbaiknya dalam memimpin, karena banyak hal yang dicapai namun tidak sedikit juga yang terbengkalai. Jokowi sosok yang dikenal sangat dekat dengan masyarakat, santun, bersih dan progresif dalam memimpin. Kesan tersebut yang dirasakan oleh masyarakat sehingga Jokowi hadir sebagai sosok pemimpin yang jarang di Indonesia. Secara umum Pemimpin Indonesia sebelum kehadiran Jokowi dianggap memiliki citra yang elegan, irit bicara, ganteng, dan berjarak dengan masyarakat.

Selanjutnya Jokowi seperti anomali sebagai sosok pemimpin dengan segala sepak terjang dan karakter yang ditunjukan. Saya melihat pemanfaatan media dalam upaya kekuasaannya kita harus mengakui bahwa Jokowi sangatlah lihai, kita paham bahwa media juga memberikan sumbangsihnya dalam pengukuhan dominasi Jokowi di Politik Indonesia. Tindakan dan program pada periode pertama menjadi keunggulan tersendiri menurut saya. Pembentukan kekuasaan yang dilakukan berlanjut dengan memasang prajurit Jokowi dengan pendekatan finansial, kecerdasan, kecakapan dalam berargumen, dan ramah media. Luhut, Am Hendropriyono, Pratikno, Tito Karnavian, Maruarar, Erik Thohir, dan nama-nama besar lainnya. Setidaknya sosok yang saya sebut adalah orang yang paling sering diandalkan oleh Jokowi dalam setiap operasi politiknya dan membentuk kekuasaanya. Periode kedua berlanjut juga dengan mengalahkan Prabowo dengan angka kemenangan yang tipis, akan tetapi bedanya pada periode kedua ini Prabowo diajak bergabung dengan kekuasaan dan otomatis kekuatan politik Jokowi semakin membesar dan dominasi di parlemen sangat kuat mencapai kurang lebih 83%. Saya melihat dengan dominasi koalisi pemerintah berbahaya bagi keberlangsungan keseimbangan yang dituju oleh Demokrasi. Setelah mendapat dukungan yang sangat besar boleh dibilang  bahwa seluruh operasi politik dan ekonominya Jokowi tidak ada yang gagal berlangsung mulus dan lancar, bahkan tidak ada kebijakan yang ditolak masyarakat berakhir dibatalkan. Penolakan pada UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK juga tidak mengurungkan niat Jokowi membatalkan keputusan tersebut. Masyarakat yang menolak hanya bisa gigit jari dengan semua tindakan Jokowi yang cenderung tidak menghiraukan suara-suara publik.

Pada periode kedua inilah banyak petaka yang terjadi, banyak proses hukum yang menjadi kontroversial bahkan upaya untuk memastikan kekuasaan tetap aman terkendali terus menerus dilakukan. Beberapa menteri ditangkap akibat Korupsi, skandal dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, hal ini membuat kepercayaan terhadap kekuasaan Jokowi semakin melemah dari publik, tapi anak-anak dan menanti Jokowi juga dalam periode kedua ini dilibatkan langsung pada politik dengan menjadi pejabat publik. Gibran sebagai walikota Solo , Bobby sebagai Walikota Medan dan Kaesanng menjadi ketua Umum PSI. hal ini menjadi kontradiktif dengan masa lalu Jokowi yang terkesan tidak mau melibatkan anaknya dalam politik, bahkan didorong menjadi pengusaha. Tapi apa yang kemudian alasan Jokowi memberikan restu terhadap anak-anaknya? Atau memang ini bagian dari strategi Jokowi untuk melanggengkan kekuasaanya? Pertanyaan ini menjadi bola liar yang kita berharap semua suatu hari terungkap langsung.

Indonesia secara keseluruhan sebenarnya dihantui dengan isu dinasti politik, kita mengenal banyak didaerah sosok-sosok yang melakukan praktek politik Dinasti. Secara legal hukum politik dinasti adalah sesuatu hal yang tidak dilarang karena adanya narasi hak yang sama berlaku pada seluruh masyarakat, akan tetapi  secara etika politik Demokrasi seharusnya yang didorong adalah merit sistem. Proses kaderisasi kepemimpinan menjadi sesuatu hal yang sulit kita wujudkan hari ini, mungkin tidak banyak nama-nama sosok baru muncul sebagai pemimpin yang lahir dari kaderisasi. Bahkan cenderung kolega, anak, menantu, istri dan pasangan para elit dan pengusaha memenuhi ruang politik Indonesia. Mungkin ini salah sa tu cara kaderisasi akan tetapi akan muncul diskriminasi pada pihak-pihak yang tidak memiliki trah politik.

Politik sebagai cara untuk berkuasa mungkin salah satu yang paling popular dipahami oleh masyarakat sipil, namun apabila melihat sejarah perebutan kekuasaan cara-cara militer dan kekerasan juga sering digunakan. Indonesia pernah mengalaminya pada transisi orde lama ke orde baru. Yang terbaru Myanmar mengalami kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh militer. Samuel Huntington juga memprediksi hal tersebut, menurutnya siklus negara-negara demokrasi gelombang ketiga akan mengalami hal yang sama karena sipil dengan militer akan menjadi dikotomi politik kekuasaan. Kekuasaan militer akan cenderung stabil akan tetapi kekerasan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan, disisi lain kekuasaan apabila dipegang oleh sipil maka akan muncul dinamika politik yang cukup beragam. Jokowi melihat ruang-ruang militer menjadi ancaman cukup serius, oleh karena itu maka militer harus diisi oleh sosok-sosok yang patuh terhadap presiden. Tentu kita Pahami, bahwa pemilihan pimpinan militer dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif, setelah Jokowi menguasai Legislatif maka semua penyusunan struktur dapat diatur sebagaimana mestinya dan harus dipastikan sesuai selera Jokowi.

Tidak hanya Militer, Jokowi pun segera mengamankan kepolisian dengan membuat Listyo Sigit menjadi Kapolri. Secara Sejarah hubungan Listyo Sigit dengan Jokowi sudah lama terjalin bahkan karir Listyo Sigit banyak dibantu oleh Jokowi. Pada akhirnya semua sendi kekuatan telah dikuasai Jokowi mulai dari Militer, Kepolisian, KPK, Kepala Daerah, Ketua Ormas, Pimpinan Perguruan Tinggi, Kejaksaan, Komnas HAM, KPU, Bawaslu, KPI, dan banyak lembaga lainnya. Ini menjadi kunci kemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 silam, kekuatan politik ini membuat semua rencana operasi politik lebih mudah dilakukan. Apalagi kita melihat hampir seluruh selebritas besar ikut bersama kekuasaan Jokowi seperti Raffi Ahmad, Gading Martin, Desta Mahendra, Atta Halilintar, dan nama-nama selebritas dengan pengikut jutaan di media sosial.

Menguasai opini publik salah satu agenda penting dari pertarung politik atau kontestasi politik, Bagi siapapun yang dapat mendominasi isu public maka berpeluang besar untuk dapat berkuasa. Jokowi menyadari betul hal tersebut sehingga melibatkan banyak media dan selebritas dalam melanggengkan kekuasaanya. Cara itu sangatlah efektif bagi pemerintahan Jokowi, bahkan muncul anggaran besar untuk para influencer dalam ikut serta membantu kerja-kerja untuk mempromosikan kebaikan Jokowi ke publik. Gibran anak pertama Jokowi ditugaskan pertama kali menjadi wali kota Solo bersamaan dengan menanti Jokowi yaitu Bobby Nasution menjadi wali kota Medan. Peristiwa tersebut menjadi awal mula dari suara-suara negatif terhadap kekuasaan Jokowi akan tetapi masih cenderung minim sehingga tidak berpengaruh. Buktinya Gibran dan Bobby menang mudah pada pertarungannya masing-masing. Selanjutnya Kaesang anak terakhir Jokowi mengakuisisi PSI dengan bergabung menjadi anggota dan berselang 2 hari langsung diangkat menjadi Ketua Umum. Banyak pengamat menyangkan tindakan tersebut karena pada akhirnya akan muncul kesan bahwa kaderisasi tidak lagi begitu penting, karena variabel utama adalah relasi kuasa semata.

PSI adalah partai yang cukup baru di dunia politik Indonesia, diisi oleh para anak-anak muda yang sangat aktif dan melek dengan media sosial, sehingga ketika meliha PSI kita membayangkan bahwa partai anak muda tersebut membawa harapan baru dan harapan positif untuk Indonesia. Namun, kenyataan berkata lain PSI justru terlibat dalam kekuasaan Jokowi yang pada akhirnya penuh kritik, bahkan pada Pemilu 2024 membawa tag Line "PSI MENANG, BPJS GRATIS" menjadi puncak dari banyak pihak karena ide dan gagasannya tidak kreatif dan cenderung mengada-ada demi suara rakyat. Tindak tersebut menjadi kontradiktif dengan kesan yang ingin ditunjukan oleh PSI sedari lama. Bahkan PSI pernah menolak praktek dinasti politik namun malah mendukung Gibran menjadi wapres Prabowo. Gibran merupakan simbol dinasti namun PSI berkelit karena proses pemilihan yang dilakukan oleh Gibran sehingga dinasti hanya dipandang oleh PSI sebagai mekanisme pergantian kekuasaan saja. Padahal pada pemilu di era orde baru semua dilakukan dengan sesuai mekanisme dan terkesan demokratis namun setelah melihat praktek-praktek kekuasaan mempertahankan kekuasaan, bahwa Soeharto dinilai sebagai simbol yang tidak demokratis karena Pemilu selama orde baru hanya rekayasa semata. PSI tentu hanya ingin berkelit dari situasi kekuasaan yang diinginkan dan menguntungkan PSI itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun