Mohon tunggu...
timotius lubis
timotius lubis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Boraspati

don't hate what you don't understand

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Gagasan Indonesia Kali Nol!

1 Agustus 2024   21:52 Diperbarui: 1 Agustus 2024   21:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemikiran atau ide merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh manusia dan menjadi salah satu pembeda dengan makhluk lain. Ide digunakan untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam hal ini sering kita pahami sebagai sebuah evolusi peradaban manusia. Dalam konteks politik sebagai salah satu proses eksistensi yang dilakukan dengan memastikan ide atau pemikiran tercipta terus menerus untuk menciptakan relevansi dari seorang politisi.

Indonesia pernah memiliki individu-individu yang kaya akan pemikiran atau ide dalam hal politik, mungkin kita sering mendengar Soekarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, M. Yamin, dan banyak tokoh lainnya. Bahkan kita mampu membedakan antar individu politik Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Semisal pada awal kedatangan Jepang tahun 1942 di Indonesia para pemikir dan pejuang kemerdekaan terbagi dengan melihat sikap dalam merespons kehadiran fasis Jepang. Tan Malaka dan Amir Sjarifoedin salah dua dari banyak tokoh yang menolak kehadiran Fasis Jepang karena dianggap hal tersebut merupakan kolonialisme dan imperialisme yang menciptakan kesengsaraan bagi masyarakat Indoensia. Disisi lain Soekarno dan Moh Hatta melihat kehadiran Jepang sebagai salah satu pintu untuk mewujudkan kemerdekaan yang dicita-citakan bersama. Sehingga, muncul sikap bekompromi dengan kolonialisme Jepang karena dianggap Jepang merupakan saudara Asia yang memiliki emosi yang kurang lebih sama.

Dari dua sikap diatas merupakan hal yang sangat lumrah dalam sebuah negara, akan tetapi pemikiran itu merupakan kemewahan yang dapat kita nikmati dari para pendiri Republik Indonesia. Meskipun banyak pro-kontra antar masyarakat dalam memahami atau mengimani pikiran-pikiran para tokoh awal kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya pemikiran yang berbeda antar faksi-faksi politik berujung pada konflik dalam menjalankan pemerintahan Indonesia yang masih seumur jagung. Pergantian kabinet pada masa parlementer Indonesia (1945-1959) cenderung sangat dinamis, bahkan tercatat kabinet Amir Sjarifoedin tidak genap satu tahun hanya sepuluh bulan lamanya. Hal tersebut terjadi karena tekanan politik yang cukup besar dari luar pemerintahan karena sikap-sikap pemerintahan yang dianggap tidak menguntungkan Indonesia saat itu.

Kekayaan pemikiran tersebut yang membuat sejarah Indonesia menarik untuk disimak,  namun sayangnya proses sejarah yang menarik itu tidak berlanjut saat orde baru muncul karena diktator Soeharto yang mungkin saja membenci keriuhan Demokrasi dan pada akhirnya menciptakan kontrol penuh atas politik Indonesia (1966-1998). Pada masa orde baru tidak memberikan ruang pemikiran-pemikiran politik berkembang, muncul mental kompromis para politisi yang pada akhirnya tunduk pada Soeharto. Ketakutan atas ancaman yang ditebar oleh Soeharto membuat eksistensi pemikiran politik hanya hadir dari Istana negara. Pada akhirnya sosok-sosok yang eksis adalah mereka yang berjalan bersama Soeharto pada masa itu, orang melawan akan dianggap musuh dan segala ancaman yang mungkin mendatangi manusia bahkan dihilangkan paksa atau dibunuh.

Catatan kelam orde baru diruntuhkan oleh banyak pihak atau kelompok, namun kelompok mahasiswa menjadi sorotan utama karena aksi yang dilakukan sangat masif dan konsisten sehingga pada akhirnya Soeharto menyerah dan mengundurkan diri. Muncul semangat kemerdekaan dalam pemikiran politik Indonesia masa reformasi bahkan pemilu 1999 terlaksana dengan 48 partai politik sebagai peserta, namun yang menjadi catatan penting bahwa banyak dan sedikitnya partai politik tidak berbanding lurus dengan keberagaman pemikiran politik yang tercipta. Mental orde baru menjadi hantu yang terus menghantui dan juga sebagai semangat yang masih dilakukan banyak politisi hari ini. mental yang saya maksudkan adalah bagaimana karakter mengelola kekuasaan dari para elit-elit, semisal situasi yang tidak demokratis pada internal partai politik. banyak intrik otoritarianisme dalam tubuh partai politik. bagi saya hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya institusionalisasi pada partai politik hal ini persis sama pada kekuasaan orde baru yang kemudian menjadi tirani.

Saat munculnya semangat demokratisasi akibat dari kekuasaan orde baru yang runtuh, muncul sistem baru secara prinsip maupun secara teknis mekanisme. Semisal, membuka keran partai politik sehingga muncul partai politik baru yang masif, selanjutnya munculnya semangat otonomi daerah diakibatkan pembangunan yang terpusat hanya di beberapa daerah saja sebut saja pulau Jawa. Semangat Otonomi Daerah sebenarnya bagi saya adalah jalan tengah pada ancaman disintegrasi. Timor Timur adalah provinsi yang berupaya dan berjuang untuk merdeka pada masa orde baru dan akhirnya berhasil melepaskan diri dari Indonesia, Aceh dan Papua juga daerah yang cukup serius berjuang mencapai kemerdekaan.

Gagasan atau ide otonomi daerah memang sangat berdampak positif dalam meredam sementara semangat pemberontakan di daerah-daerah Indonesia. Selanjutnya kita mengahadapi situasi yang lebih demokratis dari orde baru, media menjadi sangat terbuka dan masyarakat juga diberikan otoritas yang cukup besar dalam menjalankan demokrasi Indonesia. Pada pemilu 2004 Pemilihan Presiden secara langsung pertama kali dilaksanakan, masyarakat diberikan wewenang dalam memilih Presiden yang diinginkan oleh masyarakat. Dampak yang diakibatkan dari pemilihan langsung tersebut sebenarnya cukup buruk bagi partai politik karena relasi antara partai politik dengan pemilih semakin melemah. Sebelumnya pada pemilu 1999 dan pemilu orde baru partai politik memiliki otoritas penuh dalam memilih Presiden wakil Presiden atau pemilu tidak langsung. Dalam hal ini ide dan gagasan dari para kandidat eksekutif maupun legislatif cenderung lebih lemah karena kekuatan mesin partai yang yang utama dalam meraup suara dari para pemilih.

Pada Pemilu langsung 2004 ternyata diferensiasi gagasan atau ide juga tidak terlihat signifikan karena pada akhirnya sosok yang ditonjolkan hanya berorientasi pada situasi dan kebutuhan masyarakat, dan cenderung manipulatif. Para kandidat melihat pertarungan politik hanya pada bagaimana agar mereka dapat dipilih dan berakhir kesulitas menjalankan program yang dijanjikan dan apabila kita lihat dua presiden dalam kurun waktu 4 Pemilu terakhir SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Jokowi (Joko Widodo) sebagai pemenang tidak melaksanakan janji politiknya secara penuh, bahkan yang krusial sekalipun. Semisal masalah Pelanggaran HAM, pengungkapan penculikan aktivis dan mahasiswa era orde baru dan banyak isu krusial lainnya yang hingga saat ini tidak dapat terungkap.

Gagasan dan Ide politik yang seharusnya berasal dari kandidat pada akhirnya tidak dianggap penting pada pertarungan politik di Indonesia. Dan hal ini menjalar hingga ke pimpinan daerah yang tidak kaya akan Gagasan dan Ide yang bisa diinstal pada pemerintahan. 38 provinsi dan 416 Kabupaten/Kota tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam pembangunanya, banyak pimpinan daerah dapat memenangkan pertarungan hanyak bermodalkan atau memanfaatkan situasi relasi pemilih dan kandidat atau biasa kita sebut Klientelisme.Aspinal dengan jelas menggambarkan bagaimana perbedaan Klientelisme di Indonesia dan beberapa negara seperti India dan Argentina. Relasi yang terbentuk di Indonesia cenderung menggunakan transaksi uang semata, masyarakat secara umum tidak lagi melihat calon pemimpin atau wakil dari masyarakat adalah mereka yang akan melaksanakan gagasan dan ide yang cemerlang melainkan muncul pemahaman bahwa politisi itu koruptif dan manipulatif sehingga para pemilih sering beranggapan bahwa otoritasnya lebih baik dibeli dari pada digadaikan pada sosok-sosok yang cemerlang secara Gagasan dan Ide namun pada akhirnya tidak akan memberikan perhatian terhadap masyarakat.

            Realitas kondisi politik elektoral Indonesia yang saya gambarkan diatas merupakan gambaran secara umum bagaimana rentetan peristiwa dan situasional . Gagasan dan Ide politik di indonesia bukan sebuah keunggulan dalam kontestasi elektoral. Namun keunggulan yang sesungguhnya adalah popularitas dan sumber daya yang kuat bahkan bekerjasama dengan para oligarki secara terang-terangan. Terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran pada Pilpres 2024 juga gamabaran yang komprehensif dalam memahami aturan main  dalam perang politik Indonesia, selain didukung oleh Presiden aktif pasangan "Gemoy" tersebut juga didukung oleh kelompok "9 Naga" dan taipan-taipan yang memiliki catatan kelam dalam perusakan lingkungan dan pengemplang pajak.

Sumber daya yang kuat dan sistem yang sudah diamankan menjadi faktor utama dari kemenangan dari Prabowo Subianto dan Gibran. Disisi lain pendukungnya selalu melihat kemenangan yang mereka dapatkan murni dari ketertarikan masyarkat pada kedua sosok tersebut dan Gagasan atau Ide yang ditawarkan. Tapi menurut saya gagasan yang ditawarkan tidak lah muncul sebagai Urgensi yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga kita dapat berkesimpulan bahwa bukan Gagasan dan Ide lah yang menjadi kunci utama dalam kemengan Prabowo Subianto dan Gibran akan tetapi infrastruktur politik dan sumber daya lah yang menjadi variabel satu-satunya dalam kemengan yang didapatkan.

Sejauh ini dapat disimpulan bahwa politik Indoensia adalah politik non Gagagan melainkan penguasaan pada Infrastruktur Politik dan Sumber daya, dan kita akan mengahadapi situasi yang berulang atau repetitif, bahwa yang menjadi pemenang politik adalah mereka yang memiliki Infrastruktur politik dan sumber daya yang kuat dan kita melihat itu hanya berpotensi dimiliki oleh mereka yang memiliki trah politik dan trah sumber daya. Gagasan dan Ide politik hanya akan menjadi sejarah masa lalu dan misteri dalam pertarungan politik Indonesia.

Partai Politik saat ini juga terbelenggu dari persoalan eksistensi sehingga berkompromi pada alat ukur yang sama dalam melihat kandidat yaitu Popularitas dan Elektabilitas semata. Mustahil melihat Partai politik saat ini membentuk calon-calon pemimpin masa depan yang memiliki Ide dan Gagasan cemerlang, ini juga imbas dari masalah pelembagaan partai politik yang sangat lemah. Politik Gagasan adalah fenomena yang seharusnya terjadi dalam situasi ideal pada era Demokrasi, bagi saya pertarungan politik gagasan dari para elit harus menjadi satu-satunya variabel dalam pertarungan. Dalam pertandingan olahraga Tinju atau olahraga MMA dilakasanakan dengan regulasi yang ketat khususnya pada berat badan dan penggunaan obat-obatan atau suplemen, apabila ada yang melanggar maka akan dianggap kalah atau tidak mampu bertanding sesuai kesepakatan, menarik melihat semangat dari regulasi tersebut bahwa mereka dilibatkan untuk bersepakat dalam menciptakan regulasi dan melaksanakan regulasi. Dalam kontestasi politik di Indoensia berbeda karena para elit menciptakan garansi kemenangan mereka, dengan berupaya menciptakan dan mengubah regulasi yang menguntungkan mereka sendiri dan berupaya menyuap juri yaitu masyarakat agar mereka dapat dimenangkan.

Politik gagasan mungkin ide yang usang bagi kontestasi saat ini, tapi sudah banyak pengamat menyampaikan ancaman Indonesia akan menjadi "Failed State" karena pengelolaan negara tidak berorientasi pada negara dan masyarakat dan dikelola untuk menguntungkan perorangan atau kelompok yang sedang berkuasa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun