"Dunia ini perlu pluralisme -- konsep banyak agama, banyak kebenaran. Namun, kita juga harus berhati-hati untuk tidak menjadi nihilistik (i.e. Penolakan absolut terhadap konsep moral)." (Dalai Lama Ke-14, Tenzin Gyatso)
Fajar Di Ciwidey.Â
Gelap gulita masih menutupi Ciwidey, Rancabali, Bandung. Saat surya belum menyinari jalan-jalan setapak, dan burung-burung belum membuka paruhnya untuk berkicau. Hawa dingin yang berguling turun dari atas gunung menggigit ujung jari kami. Di kejauhan, ada suara kaki-kaki yang sedang bergegas menuruni jalan utama yang menghubungi seluruh kompleks Pondok Pesantren Al-Ittifaq.Â
Jika ditelusuri, dentuman sandal yang beradu dengan aspal itu menuju ke Masjid yang juga diberi nama Al-Ittifaq. Tak lama kemudian, suara yang indah berkumandang memenuhi udara di sekitar, adzan. Adzan subuh yang berkumandang kala itu memanggil kami, siswa SMA Kolese Kanisius, untuk segera bersiap-siap ke  Masjid.Â
Mungkin Anda, pembaca, sudah menemukan kekeliruan logis dalam paragraf narasi singkat di atas: "Kan SMA Kolese Kanisius sekolah Katolik, kok siswanya ke Masjid?" Tidak setiap hari kami diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Masjid, sekalipun terdapat Masjid di setiap pojok NKRI. Ya, tentu karena takut mengganggu umat Muslim yang sedang beribadah.Â
Namun, pada kesempatan kali ini, kami (diwakilkan sekolah) telah meminta izin sebelumnya untuk mengikuti kegiatan para santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, dan itu termasuk kegiatan mengaji.Â
Seusai menunaikan salat, para santri mulai menggapai kitab kuning milik mereka masing-masing. Itulah kode bagi kami untuk membasuh kaki, masuk ke dalam Masjid dengan khidmat, dan duduk untuk menghadiri sesi pengajian para santri. Kegiatan unik ini merupakan bagian dari ekskursi yang diadakan setiap tahun oleh SMA Kolese Kanisius. Secara umum, agenda kami adalah untuk pergi dan belajar di pondok-pondok pesantren. Pertanyaannya, mengapa? Jawaban singkatnya, untuk mengajarkan pluralisme beragama kepada siswa.Â
Pluralisme, Majemuk Beragama.
Sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila, Indonesia mengejar idealisme berupa masyarakat yang plural atau majemuk dalam hal agama. Hal ini dituangkan dalam motto utama NKRI yang tertulis pada lambang Garuda Pancasila, "Bhinneka Tunggal Ika." Motto ini bersikeras bahwa masyarakat Indonesia bisa bersatu, bahkan jika masyarakat itu majemuk ras, suku, maupun kepercayaan.
 Kutipan dari Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular ini didukung pula oleh sila pertama Pancasila yang berbunyi, "Ketuhanan yang maha Esa." Melalui sila pertama, masyarakat Indonesia dijamin haknya untuk memeluk kepercayaan masing-masing dan beribadah pula menurut kepercayaan tersebut (Dewi, 2020).
Kondisi Indonesia yang majemuk saat ini dapat diatribusikan kepada para pendiri negara kita. Mereka telah melakukan diskusi menyeluruh tentang dasar-dasar negara Indonesia (khususnya sila pertama Pancasila), dan dengan itu menjamin hak seluruh masyarakat untuk beragama (Mu'arif, 2020).Â
Yang Jauh Menjadi Dekat.
Melalui kegiatan ekskursi, kami mendapatkan banyak sekali pengalaman yang memperkuat semangat pluralisme beragama kami. Bersama para santri, kami mengikuti kegiatan mengaji, hadir di dalam kelas sekolah mereka, berekreasi ke curug bersama, hingga turut mengurusi lahan pertanian dan ternak.Â
Ada pepatah yang berkata, kalau tak kenal maka tak sayang. Dengan tinggal bersama para santri, kami merasa lebih dekat dengan mereka dan agama Islam. Walaupun bukan sebagai pemeluknya, tetapi kami menemukan rasa hormat yang baru kepada agama Islam dan semua agama yang mewarnai cakrawala kepercayaan masyarakat Indonesia. Â
Kegiatan ini tak hanya menimbulkan ilmu baru bagi kami, siswa SMA Kolese Kanisius. Kami turut menjalin silaturahmi dengan para santri. Kami berkenalan secara pribadi, mengenal satu sama lain di luar tirai agama.Â
Kami saling mengenal sebagai manusia yang bisa bergembira dan bisa sedih, bisa bermain dan bisa tersakiti, bisa berani dan bisa takut, bisa kompetitif dan bisa menyayangi, serta bisa menjalin hubungan dengan manusia lain.Â
Tali-tali silaturahmi yang dibangun hari ini akan menjadi penentu nasib negara kita di masa depan. Saat ini, negara kita sedang dalam kondisi baik. Namun, seperti halnya neraca, tidak sulit untuk menggoyahkan keadaan sosial negara kita yang terlihat seimbang.Â
Untuk mencegah hal itu terjadi, silaturahmi masyarakat Indonesia yang menyeluruh dan tidak dibatasi oleh ras, suku, maupun agama wajib terjadi. Dengannya, masyarakat Indonesia tidak akan mudah digoyahkan oleh oknum-oknum yang berusaha mengeksploitasi pluralisme beragama untuk kepentingannya sendiri.Â
Perbedaan Menguatkan Bangsa Kita.
Bagaimanapun cara kita melihatnya, perbedaan itu pasti ada. Tidak mungkin manusia hanya terdiri dari satu ras, suku, maupun kepercayaan. Jika perbedaan tidak bisa dihilangkan, maka pilihan kita hanya dua: Berusaha menghilangkan, atau terbuka menerima perbedaan-perbedaan tersebut.Â
Menurut saya, jauh lebih baik menerima perbedaan dan menjalin silaturahmi untuk menghindari pertikaian dan terlebih lagi untuk memajukan negara kita yang majemuk bersama-sama.
Referensi:
Dewi, N. P. C. P. (2020). Buku Ajar Mata Pelajaran Sekolah Dasar PKN dan Pancasila. Badung: Nilacakra.Â
Mu'arif. (2020, 7 Agustus). Muhammadiyah dan Pancasila: Ki Bagus Hadikusuma dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Berita Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. (ump.ac.id/BeritaMuhammadiyah-2049-Muhammadiyah.dan.Pancasila..Ki.Bagus.Hadikusuma.dan.Sila.Ketuhanan.Yang.Maha.Esa.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H