Mohon tunggu...
Timoteus Marten
Timoteus Marten Mohon Tunggu... -

Anak 'Jalanan' yg belajar merangkai kata. Di sini juga (http://timomarten.wordpress.com/) aku menjeda sejenak dan mengutak-atik kata.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Air Mata dari Kenyam

21 Mei 2013   01:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:16 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262522" align="alignleft" width="300" caption="Jumat, 17 Mei 2013. Sunset yang cantik"][/caption] Rabu (15/5/2013), masih gelap di Timika, kota tempat PT Freeport Indonesia. Aku masih tertidur. Tiba-tiba alarm HP-ku berbunyi. Pukul 05.00 WIT. Padahal aku masih ngantuk. Bukan karena empuknya kasur di kamar hotel. Tetapi karena capek. Sisa kantuk masih terbaca di raut wajahku yang kusam. Ingin aku melanjutkan tidurku, tetapi tiba-tiba ditelpon pelayan hotel. Disuruh bangun. Tak lama aku bergegas ke kamar mandi untuk menggosok badan. Tiba-tiba pintu kamar diketuk om sopir yang kemarin menjemput dan mengantar aku ke Timika Hotel.

Tak pake waktu lama, kami membanting stir menuju International Airport Mozes Kilangin agar bisa mendapatkan tiket ke Kenyam, Nduga. Lama di sini. Capek juga. Hanya menunggu kepastian akan penerbangan dengan Trigana Air yang hanya terbang hari Senin dan Sabtu jurusan Timika-Kenyam..

Ngiunggg, Trigana datang. Kami huru-hara. Di atas 3000-an kaki dari permukaan laut, hutan yang masih hijau menatap kami bersama awan. Aku terbuai dalam penerbangan boeing 737 itu. Ada rasa ingin tahu, sebab akan menuju daerah baru. Berbarengan dengan rasa lelah.

“Kita menempuh perjalanan berapa menit, kah?” Tanyaku pada cewek yang duduk di samping kiri seat.

“Baru pertama kali ya? Oya, sekitar 45 atau 50 menit saja,” jawab cewek yang kemudian aku tahu seorang perawat di Kenyam.

Obrolan ringan aku dan dia. Tetapi kerasnya bunyi baling-baling memecahkan obrolan kami. Lalu aku tertidur. Sementara ia melirik kiri dan kananku. Curiga, barangkali. Aku masa bodoh.

Kira-kira menit terakhir ketika hendak landing, aku terbangun. Wajar memang. Semalam aku tak banyak istrirahat. On line, SMS-an dan menulis laporan ke Jayapura hinga dinihari.

Tak banyak manusia di bawah sana. Hanya lekukan kali, gunung-gemunung, hamparan pasir kali dan kerikil bak padang pasir. Mereka mengucapkan selamat datang di sini.

Awalnya aku tidak mengira, Kenyam adalah ibukota kabupaten Nduga. Tak seperti ibukota kabupaten lain semisal Sentani, Nabire, apalagi Abepura. Sepi. Dikelilingi gunung-gemunung, bebukitan. Suhu sekitar 20 derajat celsius kala itu. Tak ada mobil bandara. Tak ada truk. Yang ada hanya warga yang datang mengerumuni pesawat dan kami. Lantas aku menghidupkan HP-ku untuk memberi kabar ke Jayapura. Eh tak ada sinyal. Sedih. Aku melirik ke kiri-kanan sambil tersenyum pada warga yang datang. Di ujung timur berdiri megah tower. Tampaknya belum berfungsi.

“Ini Kenyam,” sambut keluarga yang menjemput aku dan rombongan.

Tampaknya ini bukan ibukota kabupaten. Maklum, kabupaten baru. Lapter (lapangan terbang) dipenuhi rerumputan dan sedikit genangan air sisa hujan semalam. Atau mungkin daerah ini berawa? Aku tak tahu. Berkutat dalam tanya tanpa jawaban.

Aku enjoy. Enjoy melihat dan merasakan suasana kampung yang tertinggal, tetapi aman dan damai. Sejuk pula.

Tahun 2011, saat paskah, selama dua minggu, di distrik Towe Hitam, Kabupaten Keerom, aku merasakan benar-benar suasana kampung yang jauh dari kemajuan. Gelap kala malam. Mirip di sini. Tetapi Kenyam sedikit lebih maju, karena ada solar sel dan genset sehingga malam aku bisa men-charge laptop dan perekam serta baterai kamera.

Warga datang dan bercerita. Berkisah tentang pengalaman mereka. Sore pun datang bersama rintik-rintik hujan. Sebentar-sebentar panas. Lama kami bercerita hingga aku tertidur pada kursi kayu. Sementara Marlboro sudah habis dua bungkus. Lama-kelamaan udara dingin menyapa aku dan teman-teman. Hujan makin lebat tanpa kompromi pada kami yang baru pertama kali ke sini.

Anak-anak bermain ria di sekolah, pojok kiri rumah kami di komplek SDI Kenyam. Makan bersama dalam suasana terang yang tidak terang. Makan siang senja hari. Ada John Rumbiak, sekretaris PU Kabupaten ini. Gelak tawa dan senyum renyah berbarengan dengan kata-kata yang terlontar. Sejenak diam dalam sunyi dan hening. Kami bahagia karena saling sharing. Hujan terus datang. Kami tak kuasa menahan dia.

Bagi warga Kenyam, hujan adalah berkat. Sebab mereka menggunakan air hujan. Tak ada air leding. Tak ada PAM. Wilayah ini berada pada ketinggian dan perbukitan. Luasnya 2.168 kilometer persegi. Sumur tak memberikan air. Pemerintah memang harus membuka mata.

Kabupaten Nduga dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya, 4 Januari 2008, berdasarkan undang-undang nomor 6 tahun 2008. Pada bagian utara berbatasan dengan Kuyawage, Balingga, Pirime dan Makki. Bagian Selatan berbatasan dengan Sawaerma, Asmat. Di ujung Barat terdapat Jila dan bagian Timur ada wilayah Pelebaga dan Wamena

Di sini, sekolah tak banyak. Tahun 2011, sebanyak 12 unit sekolah, dengan rincian, TK sebanyak 2 unit, SD sebanyak 10 unit, SMP sebanyak 2 unit dan SMA  1 unit.Sedangkan SD tersebar di setiap distrik dari delapan distrik yang ada. Tahun 2010, sebanyak 5 guru TK, 99 guru SD, 115 guru SMP, dan 32 guru SMA.

Di bidang kesehatan, sebanyak tiga dokter, satu apoteker, ass apoteker 3 orang, perawat 46 orang, bidan 16 orang, analis kesehatan 4 orang, sanitarian 5 orang  dengan jumlah Puskesmas 8 hingga tahun 2010. Satu Puskesmas Rawat Inap yang berada di Kenyam, Ibukota Kabupaten Nduga.

Terbatas memang. Namun, warga sangat ramah. Keramahan mereka terbaca dari tingkah dan tutur katanya. Polos. Juga lugu. Masih jauh dari kemajuan seperti Jakarta, tempat para petinggi negari ini tinggal. Akankah pemerintah melihat dan memperhatikan Nduga, kabupaten yang masih merangkak ini?!

Sabtu, 18 Mei 2013. Masih pagi. Alam tak ramah. Gerimis mempercepat siang. Awan gemawan berarak lari bersama Trigana Air yang datang dari arah barat Kenyam. Aku pun harus meninggalkan Kenyam. Mataku sembab melihat ke bawah. Enggan meninggalkan daerah dengan alam yang cantik ini. Tapi Trigana yang membawa kami terus melaju hingga tengah hari tiba di Timika.

Air Mata dari Kenyam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun