Mohon tunggu...
Timoteus Marten
Timoteus Marten Mohon Tunggu... -

Anak 'Jalanan' yg belajar merangkai kata. Di sini juga (http://timomarten.wordpress.com/) aku menjeda sejenak dan mengutak-atik kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Terakhir Moni

18 November 2013   03:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_302495" align="alignleft" width="300" caption="Foto: google"][/caption] Perbincangan kami cukup seru. Berbarengan dengan semilir senja. Rokok yang aku bakar tak sempat kuisap perlahan. Abunya memanjang lengkung. Sementara seteguk Kapal Api terasa hangat. Aku berharap bahwa seteguk kekuatan kudapat dari tetesannya. Moni melantun merdu di udara.

Moni adalah gadis kecilku. Malaikat tak bersayap yang selalu terbang mengitari nyata dan mayaku. Namanya sudah terpatri dalam setiap jejak langkah dalam pengembaraanku. Ia ramah dan kuat. Mandiri dan tidak arogan. Bukan gadis murahan atau tipe hedonis yang lemah lunglai. Ia adalah personifikasi kekuatan dahsyat yang tak terkatakan selama ini. Monalisa Flores Lujunai.

Senja berganti gelap. Dingin menusuk sum sum tulang belakang. Hingga ke ubun ubun. Suara Moni tiba-tiba datang dari seberang pulau. Pelan berganti lengking. “Kami ketawa”. Ah, ini dia yang aku nanti. Suara penghibur lara di Abepura.

HP-ku yang kutempelkan di daun telinga jadi hangat. Lagian, frekuensi suara dari Nokia makin meninggi. Menepis dan mengusir angin cengeng yang nyaris beku.

Entahlah dia dimana. Tetapi kami berbincang garing. Ia di Pulau Bunga. Sontak pikiran menerawang menembus dinding kamar kosku. Bukan mengkhayal. Tapi mencipta. Menciptakan dia yang tercinta dalam kamar berukuran 4x6 meter. Dia citra Sang Pemahat Kekal.

Sementara buku-buku, pena dan notebook tak tahu rimbanya. Eh aku lupa, sedari tadi aku mengutak-atik kata sampah. Mengukir kata dari rasa dan pengalaman. Berbentuk klausa dan paragraf.

“Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”

Begitu ia menjeda ceritaku tentang pengembaraan di tiga pulau. Aku tak sedikit pun menerimanya jika itu adalah rayuan. Tetapi bahwa Moni mengatakan ekspresi jiwanya. Selama ini ia menyimpan saja dalam hati. Ia mau berkata tapi tak bisa berucap. Ia seakan bisu memandang realitas yang konyol dan pragmatis. Kapitalisme membuat ia tak berdaya sama sekali ketika bersuara.

Detik berganti menit. Malam itu dialog kami makin panjang. Hingga aku sebut dialog dinihari, sebab, jarum jam berganti pada pukul 04.00 waktu Papua. Tut tut.., suaranya tiba-tiba putus. Aku terus berteriak memanggil Moni hingga burung-burung udara menatap sinis. Malam pecah jadi isak. Moni tak ada kabar hingga aku menuliskan pesan pendek ke telpon selulernya.

Ah, suara terakhir Moni. Ini yang aku ingat, “Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”

Abepura, 18 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun