Berbicara soal keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, rasanya Kota Singkawang di Kalimantan Barat tak bisa dilepaskan. Pasalnya mayoritas penduduk setempat merupakan keturunan Tionghoa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, Â 42 persen dari sekitar 240 ribu penduduk merupakan warga Tionghoa. Sehingga tak heran bila Singkawang memiliki lebih dari 700 vihara atau klenteng dan cetiya alias tempat sembahyang yang lebih kecil.
Saking banyaknya jumlah tempat ibadah tadi, Singkawang pun mendapat julukan kota seribu klenteng dan tetap melekat hingga kini. Lantas bagaimana sih, sebenarnya para leluhur Tionghoa masuk dan bermukim di Singkawang?
Dalam sebuah literatur bertajuk Asal Usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe karya Zaenuddin HM dijelaskan bahwa kedatangan itu dimulai sekitar tahun 1923. Yakni ketika pasukan Tiongkok meninggalkan Pulau Jawa.
Kala itu mereka sedang dalam keadaan lelah dan kapal diterpa badai. Alhasil mereka terpaksa  menepi di pantai barat Pulau Kalimantan untuk memperbaiki kapal.
Ketika hendak kembali berlayar, ternyata tujuh opsir  tidak terbawa kapal. Lantas ketujuh opsir tadi kemudian menikahi gadis-gadis setempat hingga memiliki keturunan.
Mayoritas orang Tionghoa yang datang kesana  berasal dari kelompok bahasa Hakka. Berkaitan dengan itu, asal muasal nama Singkawang pun rupanya berasal dari 'San Kew Jong' yang merupakan bahasa Hakka.
Sementara sebagian kecil lainnya adalah kelompok bahasa Teochiu, Kanton serta Hokkien. Dan pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyebut Hakka sebagai "Khek" dan  Teochiu sebagai "Hok-Lo".
Selain menurut Zaenuddin HM, dalam buku berjudul 'Orang China Khek dari Singkawang' karya Harry Purwanto nenek moyang masyarakat Tionghoa telah datang sejak 1740. Dimana mereka dipekerjakan oleh Sultan Sambas sebagai buruh di pertambangan emas.
Dan jumlah pendatang Tionghoa di Singkawang meningkat pesat di tahun 1760. Hal ini dikarenakan teknologi tambang orang Tionghoa lebih baik ketimbang orang Melayu dan Dayak yang semula dipilih sebagai buruh.
Kemudian Kota Singkawang juga kerap dijadikan tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado. Lambat laun leluhur Tionghoa tadi berhasil memiliki kongsi-kongsi tambang.
Salah satu kongsi yang besar dan terkenal bernama Lan Fang dan bermarkas di Monterado. Saking terkenalnya pimpinan kongsi kenal dekat dengan Sultan Pontianak.
Sayangnya karena kongsi tersebut bertingkah seakan menjadi republik, pemerintah kolonial Belanda pun akhirnya geram. Sehingga setelah berusia lebih dari seabad, yakni di tahun 1884, kongsi itu dianggap bubar.
Seiring berjalannya waktu, para buruh penambang berganti profesi menjadi petani dan pedagang. Dan mereka pun memilih untuk menetap di Singkawang.
Terlepas dari itu, di tahun 1981, Singkawang menjadi kota administratif. Dan pada tahun 2001, Singkawang ditetapkan sebagai daerah otonom.
Kini Singkawang pun menjadi wujud kota yang tinggi akan tingkat toleransi. Terbukti dengan posisi Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berusia hampir 200 tahun berseberangan dengan Masjid Raya yang telah berdiri sejak tahun 1885 dan tetap aman serta tentram.
Bentuk toleransi lainnya adalah penikmat acara Cap Go Meh bukan hanya berasal dari kalangan Tionghoa, melainkan suku lainnya yakni Melayu dan Dayak. Kemudian saat perayaan agama lain seperti Lebaran berlangsung, penduduk lain pun turut memeriahkan.
Oleh: Sony Kusumo
"Salam Trade Surplus"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H