Siauw pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di Matahari pada 1941. Sayang pada tahun 1942 mesti ditutup Jepang karena dipandang bersuara lantang soal imperialisme.
Lepas itu, ia mengganggur dan membuka toko sembako bernama 'Tjwan An'. Namun buaya kapasan ini, gerah dan ingin bersuara kembali, Siauw lantas menyerahkan pengelolaan toko ke keluarganya.
Dan Siauw pun kembali aktif berorganisasi. Ia menjadi Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru yang keberadaannya dijamin sekaligus diawasi oleh Jepang.
Tentu membuat Siauw dianggap melemah dan berkawan dengan Jepang. Padahal langkah tadi merupakan taktik demi meraup informasi soal Jepang sebanyak-banyaknya.
Pada 1945, ia masuk ke Partai Sosialis Indonesia dan menjadi Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selama berkecimpung di situ, ia dilirik oleh Soekarno dan Sutan Sjahrir.
Dan di tahun 1947, Siauw diangkat sebagai Menteri Urusan Minoritas dalam Kabinet Syarifuddin. Bisa dibilang Siauw adalah sosok menteri yang sederhana.
Kesederhanaan Siauw yang kentara adalah saat pindahnya ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 2 Januari 1946. Ketika itu, tak ada satu pun rumah bagi para menteri yang berdomisili diluar Yogyakarta.
Sehingga mereka diberi tempat tinggal di Hotel Merdeka. Alih-alih menerimanya, Siauw malah memilih tinggal di Gedung Kementerian Negara di Jalan Djetis.
Katanya demi menghemat keuangan negara. Kisah lainnya adalah saat Siauw tidak langsung mendapat mobil dinas.
Ia malah naik andong dari Gedung Kementerian Negara menuju Istana Yogyakarta. Lantaran andong tak boleh memasuki istana, ia melanjutkannya dengan jalan kaki.
Tahun 1951, Siauw menerbitkan Soeara Rakjat yang kemudian berganti nama jadi Harian Rakjat. Akan tetapi surat kabar itu, dijual dua tahun setelahnya karena dianggap dekat dengan komunis.