Kendati demikian, Yap tetap menaruh hati pada politik. Karir politiknya dimulai saat ia diminta menghadiri rapat perdana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Gedung Pejambon atau kini Gedung Pancasila pukul 11.00 pada 18 Agustus 1945.
Bahasan rapatnya terkait pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 serta pemilihan presiden dan wakilnya. Dengan usia 34 tahun, Yap menjadi anggota termuda dalam rapat tersebut dan perwakilan tunggal dari peranakan Tionghoa.
Usai tugas kelar, Yap bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS). Tak hanya itu, Yap juga bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ia bergabung karena tertarik akan asas PNI. Yakni berorientasi nasionalisme dan kerakyatan ala Soekarno.
Tahun 1946, Yap hijrah ke Yogyakarta. Alasannya karena pemerintahan dipindah ke kota Gudeg tersebut.
Di era itu pula, Yap diminta Dr Sardjito untuk turut berperan dalam membentuk Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM). Dia pun menjadi dosen disana.
Kerusuhan rasial di Bandung pada 1963, membuat mobil dan bungalow Yap habis dibakar massa. Istrinya yang ketakutan membuat Yap sekeluarga hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat.
Perpindahan itu sekaligus untuk mengobati penyakit polio yang diderita putra semata wayangnya. Bertahun-tahun lamanya, Yap tak pernah lagi kembali ke Indonesia.
Sampai pada 1970, ia terkena stroke. Tahun demi tahun kesehatan Yap terus merosot dan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 1988.
Yap meninggalkan dua anak dari hasil perkawinannya dengan Tjien Giok Yap pada 1932. Kedua anaknya bernama Yap Gwat Lee dan Yap Siong Hoei yang menderita polio.
Oleh: Sony Kusumo