Dua ornamen kuat dalam gapura ini adalah tiga atap berjajar khas rumah Tionghoa serta gambar naganya. Dimana keduanya memiliki makna berupa kekuasaan, ketidaktakutan, dan kejujuran.
Pada awalnya etnis Tionghoa di Kampung Ketandan kebanyakan adalah penjual sembako dan jasa. Namun seiring berjalannya waktu banyak diantara mereka yang beralih menjual emas dan perhiasan.
Sehingga tak heran bila berkunjung kesana yang bisa ditemui saat ini adalah deretan pertokoan emas di sisi kiri dan kanan jalan. Bahkan ada pula yang menjajakan emas hanya berbekal etalase berukuran 1x1 meter di trotoar atau pinggiran jalan.
Sementara etnis Tionghoa lainnya rata-rata pindah ke kawasan pecinan baru, yakni di sebelah utara Tugu Yogyakarta. Tidak jauh dari kawasan pecinan lain yang berada di Poncowinatan.
Walau era dan para penghuni telah berganti, nuansa Tionghoa di Ketandan tetap terasa, terlebih ketika Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) digelar. Kegiatan tersebut rutin diselenggarakan untuk menyambut Imlek dan Cap Go Meh.
Selama sepekan, pengunjung akan disuguhi beragam sajian khas Tionghoa. Mulai dari menu makanan yang dijajakan hingga seni budayanya.
Salah satu hidangan yang cukup digemari adalah menu lontong Cap Go Meh. Yakni sajian yang terdiri dari potongan lontong yang diguyur kuah santan dan dilengkapi ayam, telur rebus, sambel goreng hati ampela, taburan bubuk koya plus kerupuk.
Ada pula perlombaan tari, atraksi naga barongsai, dan pertunjukan komedi dengan guyonan ala Tiongkok. Permainan Wayang Potehi juga ikuti dipentaskan dalam pagelaran PBTY.
Meski Ketandan semakin menua, namun atmosfer pecinan di Kota Yogyakarta ini, tak pernah surut. Hingga kini, Ketandan masih menjadi daya tarik bagi siapa saja, baik lokal ataupun asing.
Oleh: Sony Kusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H