Kesenian wayang berkembang pesat di tanah air, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Warisan leluhur itu pun telah diakui oleh UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 sebagai mahakarya dunia dalam seni bertutur.
Jenis pertunjukan wayang di Indonesia cukup beragam. Ada wayang kulit, wayang bambu, wayang kayu, wayang orang, wayang rumput, wayang motekar, ataupun wayang beber.
Kendati demikian, nyatanya ada pula wayang yang datang dari Tiongkok dan tetap hidup di Indonesia hingga kini. Seni budaya itu bernama wayang potehi.
Potehi sendiri berasal dari tiga suku kata. Pou yang berarti kain, te maknanya kantong, dan kata hi artinya wayang.
Jadi maksudnya, wayang potehi adalah permainan wayang dengan medium berupa boneka dari kain. Dimana sang dalang akan memasukkan tangannya begitu akan memainkan wayangnya.
Wayang potehi yang berasal dari Tiongkok bagian selatan ini, diperkirakan sudah berumur sekitar 3.000 tahun. Tepatnya sejak masa Dinasti Jin dan kian berkembang pada era Dinasti Song.
Konon kebudayaan itu ditemukan oleh lima orang napi yang dijatuhi hukuman mati. Dan mereka menggunakan perkakas rumahan seperti panci dan piring untuk ditabuh sebagai alat musik pengiring permainan wayangnya.
Sekitar abad ke 16-19 barulah wayang potehi masuk ke Indonesia melalui orang-orang Tiongkok yang datang ke Nusantara. Bagi mereka dan warga Tionghoa, wayang potehi memiliki fungsi sosial serta ritual, layaknya pewayangan di Indonesia.
Cerita yang disampaikan pun berkisah tentang legenda dinasti di negeri Tiongkok. Bisa juga kisah modern seperti Kera Sakti yang diadaptasi dari novel Tiongkok bertajuk Perjalanan Menuju ke Barat.
Durasi pertunjukkan wayang potehi berkisar antara satu hingga tiga jam. Karakter yang digunakan dalam pertunjukkan juga sangat beragam, ada raja, putri, prajurit sampai anak-anak berwajah lucu.
Lantaran sudah berakulturasi, pementasan wayang potehi diiringi dengan berbagai alat musik khas Indonesia. Contohnya tambur, kecer besar, genderang, terompet, suling, dan rebab.
Dahulu kala kebudayaan ini dimainkan dengan bahasa Tiongkok berdialek Hokkian. Namun seiring waktu karena warga lokal juga menonton, wayang potehi pun ditampilkan dengan bahasa indonesia.
Sayangnya pada tahun 1970-an hingga 1990-an atau tepatnya era orde baru, wayang potehi hanya dipentaskan bagi kalangan terbatas. Hal itu dikarenakan tindakan represif pemerintahan terhadap budaya Tionghoa.
Setelah era reformasi berjalan, barulah wayang potehi dan kebudayaan Tionghoa lainnya bisa dipentaskan. Wayang asal Tiongkok ini, kian lestari dengan adanya museum potehi di Kelenteng Hong San Kiong Gudo di Jombang, Jawa Timur dan rutin dipentaskan dalam perayaan Imlek di berbagai daerah.
Oleh : Sony Kusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H