Julukan China Benteng bagi masyarakat Tionghoa di Tangerang bukanlah hal yang asing. Sebutan itu sudah melekat sejak ratusan tahun lalu.
Sebetulnya, kenapa dijuluki China Benteng?
Kisah ini dimulai sejak pendaratan Laksamana Tjen Tjie Lung (Ha Lung) pada tahun 1407. Dalam babad Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang atau Catatan dari Parahyangan, pendaratan berlokasi di Teluk Naga yang semula dikenal sebagai muara Sungai Cisadane.
Laksamana beserta rombongan diyakini berasal dari Dinasti Qing yang merupakan bangsa Manchu. Kedatangan rombongan tersebut hanya menggunakan perahu sederhana, tapi tidaklah terjadi secara tiba-tiba.
Melainkan karena ada kerjasama dengan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Dalam buku The National Status of Chinese in Indonesia 1900-1958, Donald E. Willmott mencatatkan, kedatangan bangsa Manchu di Cisadane merupakan proyek Belanda yang bertajuk One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch Colonial Empire.
Maksudnya adalah Belanda berkeinginan untuk menggabungkan tiga etnis berbeda. Dan dengan komposisi 50 persen Tionghoa, 37,5 persen Sunda-Betawi, dan 12,5 persen Belanda.
Tentu harapannya agar semua etnis tadi bisa loyal terhadap kepemimpinan Belanda. Alih-alih loyal, mereka malah setia pada etnisnya masing-masing.
Diantara orang-orang Tionghoa itu pun ada yang menikah dengan wanita-wanita setempat. Sehingga melahirkan suku baru bernama China Benteng. Penggunaan kata benteng tersebut berasal dari bangunan benteng milik Belanda yang memang berdiri di sekitar bantaran sungai Cisadane.
Dimana benteng itu dibuat sebagai bentuk pertahanan terdepan Belanda di Pulau Jawa. Selain itu, berfungsi pula sebagai pembatas wilayah antara Kesultanan Banten dan Belanda.
Sebelum dikenal dengan nama China Benteng, tepatnya pada 1683, Â kawasan itu disebut Benteng Makassar. Alasannya karena benteng dibangun dan dijaga oleh masyarakat Makassar dan Bone.
Kisah lampau China Benteng juga dapat dilihat di dalam Museum Benteng Heritage yang merupakan hasil restorasi dari bangunan rumah kuno abad ke-17.
Salah satu contohnya adalah Prasasti Tangga Djamban. Disitu tertuang kisah soal kontribusi  orang peranakan Tionghoa mengumpulkan uang sebanyak 18.156 toen ringgit Belanda untuk pembangunan 30 jalan.