[prosesi adat perdamaian perang suku di Timika, Papua. Foto: steven]
PERANG (konflik) antar suku di Timika, Papua, pada 2014 silam masih menyisakan serangkaian tuntutan adat yang harus dituntaskan. Setelah dinyatakan berdamai ditandai dengan prosesi adat 'patah panah', kini masuk dalam pembayaran korban perang yang disebut 'bayar kepala'.
Pekan lalu, Kamis (11/11/15) tiga korban perang telah mendapat santunan masing-masing Rp500 juta/kepala (korban). Total Rp1,5 milliar telah dikucurkan dalam prosesi adat bayar kepala.
Masih ada 5 korban lainnya belum mendapat ganti rugi dari total 13 korban tewas pada konflik yang berlangsung cukup lama di Djayanti, Distrik Kuala Kencana, Timika.
Salah satu tokoh perang suku Moni, Yulius Miagoni, mengatakan sisa pembayaran korban lainnya akan dilakukan tahun depan. Beberapa korban perang tidak lagi mendapatkan ganti rugi karena merupakan anggota dari suku yang terlibat perang. Sedangkan yang mendapat bayar kepala adalah mereka dari suku lainnya yang ikut membantu dalam perang.
"Mereka yang tidak dibayar dianggap sebagai pahlawan untuk melindungi tanahnya sehingga terlibat perang. Yang dibayar adalah suku lain yang membantu pihak pelaku," ujar Yulius.
Menurut Yulius, serangkaian prosesi adat telah digelar untuk menuntaskan persoalan konflik yang terjadi. Kedua kubuh awalnya berseteruh akibat sengketa tanah di Jalan Trans Nabire-Timika.
Perang mulai memanas sejak awal tahun 2014 hingga menjelang akhir tahun. Puluhan korban tewas, bukan hanya di arena perang namun juga diluar hingga merembet ke dalam kota.
Sepanjang konflik yang melibatkan sejumlah suku kekerabatan di Timika antaralain, Suku Dani, Moni, Mee, Amungme dan Damal itu berlangsung, sekitar enam bulan warga Timika hidup dalam ketegangan. Terjadi pembunuhan misterius dimana-mana, hingga total 21 korban tewas termasuk di arena konflik.
Polisi menganggap, korban yang jatuh di luar arena konflik merupakan perbuatan kriminalitas murni. Namun, tidak satu pun dari kasus pembunuhan diluar konflik itu berhasil terungkap.
Mungkinkah Perang Suku Papua Adalah Kepentingan Politik?