Kemajuan teknologi dan informasi saat ini, memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah membantu meningkatkan kualitas layanan di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, jasa pengiriman, dunia usaha, dan perbankan. Sedangkan di aspek negatif yaitu terjadi pelanggaran hak cipta, kejahatan cyber, pornografi, perjudian, dan penipuan. Kemajuan ini juga berdampak pada globalisasi informasi, berkembangnya berbagai perangkat media massa dan elektronik, seperti; handphone, televisi, internet, media sosial, dan sebagainya. Dampak terhadap globalisasi telah mempersempit jarak, ruang, dan waktu. Bahkan sudah menjalar hingga ke berbagai kalangan, khususnya mahasiswa, sehingga ikut memengaruhi perubahan nilai sosial dan gaya hidup mahasiswa itu sendiri.
Secara umum, yang dimaksud mahasiswa adalah mereka yang tergolong dalam usia remaja akhir (usia 18-25 tahun) atau mahasiswa kelahiran tahun 1996-2003 yang masih aktif mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi. Menurut ungkapan Monks, (2014) dan Santrock, (2003), bahwa kelompok ini berada di masa transisi menuju ke fase dewasa awal atau emerging adulthood. Fase inilah menjadi sebuah tantangan bagi mahasiswa dalam menghadapi berbagai perubahan dan permasalahan hidup. Mereka masih lebih tertarik pada penampilan, perilaku, cara bersikap, dan hal lainnya yang menarik perhatian orang lain, khususnya kelompok teman sebayanya. Terdapat dua penyebabnya, yaitu pertama, mahasiswa masih berada di tahap penentuan identitas diri, mengharapkan pengakuan orang lain, tingginya rasa ingin tahu, dan ingin mencoba hal baru. Sehingga individu akan mengikuti trend yang kekinian (update) seperti memilih model pakaian merek ternama, berbelanja di platform digital maupun belanja secara langsung hingga gaya rambut terbaru. Penyebab kedua, karena adanya ketidaksesuaian antara kematangan fisik dan psikososialnya (Harlock,2009), mahasiswa cenderung tidak mampu secara mental/psikis dalam menghadapi berbagai perubahan sosial. Sehingga mudah dipengaruhi oleh gaya hidup hedonisme dan pola mengatur keuangan pribadi yang tidak sehat.
Apa yang dimaksud dengan gaya hidup hedonisme? Menurut Salam, (2002) hedonisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “hedone”, yang artinya kesenangan (pleasure). Bagi individu yang menganut aliran ini beranggapan bahwa kesenangan adalah tujuan hidup. Gaya hidup hedonisme adalah suatu pola hidup yang cenderung mencari kesenangan hidup. Contohnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyak bermain, suka membeli barang mahal, suka nongkrong, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian orang lain. Gaya hidup hedonisme lebih menekankan pada kesenangan individu atau kelompok tanpa peduli terhadap perasaan atau kesenangan orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gaya hidup hedonisme didasarkan atas keinginan hawa nafsu.
Gaya hidup hedonisme bukanlah hal baru, hedonisme sudah ada sejak masa awal ilmu filsafat tahun 433 SM (sebelum masehi). Dimana tokoh utamanya adalah Aristippos dari Kyrene pada tahun 433-355 SM yang menjawab pertanyaan filsafat terkenal oleh Sokrates tentang “Apa tujuan hidup manusia?”. Kemudian, Aristippos menjawab bahwa tujuan hidup manusia adalah “kesenangan”. Hingga saat ini pandangan hedonis telah mengalami perkembangan. Menurut Kotler,(1993), hedonis dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu berasal dari keyakinan individu dalam memilih gaya hidup sesuai dengan keinginannya, sedangkan faktor eksternal adalah berasal dari kelompok referensi. Masrukhi menyatakan bahwa di antara 5 wajah mahasiswa, 90 persen di antaranya merupakan mahasiswa hedonis, yakni mahasiswa rekreatif yang berfokus pada gaya hidup glamor dan bersenang-senang (Kompas,2011).
Berikut ini adalah ciri-ciri gaya hidup hedonis: (1) Ingin segala sesuatu yang serba ada dan mewah, (2) Sering memilih-milih teman, (3) Konsumerisme yang akut, (4) cenderung anti sosial dan jauh dari agama (tidak takut Tuhan). Sedangkan dampak yang muncul dari hedonis: a) pergaulan bebas, b) seks bebas, c) menggunakan obat-obat terlarang, d) tawuran, f) materialistis, g) karakter malas atau istilah mager (malas gerak) dan cenderung egois, h) tidak bertanggung jawab, i) konsumtif dan boros, karena cenderung menghabiskan uang untuk membeli barang yang diinginkan bukan berdasarkan pada kebutuhan. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa karena adanya impulse buying. Impulse buying adalah tingkah laku individu yang melakukan aktivitas berbelanja dengan tidak terencana, tindakan ini adalah kebahagiaan yang dipicu oleh pemuasan tujuan yang bersifat hedonisme. Oleh karena itu, gaya hidup hedonisme mahasiswa sangat berhubungan dengan manajemen keuangan pribadi.
Menurut hasil penelitian sebelumnya, mengindikasikan bahwa semakin tinggi gaya hidup hedonisme, maka semakin tinggi pula impulse buying maupun sebaliknya. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh gaya hidup hedonisme terhadap manajemen keuangan pribadi. Namun, penelitiannya belum menunjukkan hasil yang konsisten. Alasan tidak adanya berpengaruh karena meskipun mahasiswa sudah memiliki kecerdasan finansial yang dikatakan baik, namun berkaitan dengan gaya hidup mahasiswa cenderung memilih apa yang mereka senangi untuk kehidupan mereka. Sedangkan, penelitian lain menyatakan bahwa adanya pengaruh karena semakin baik mahasiswa mengatur gaya hidup, maka semakin baik pula manajemen keuangannya, atau sebaliknya. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa? Hal ini seperti sebuah rahasia kehidupan. Tetapi, tanpa mengetahui rahasia ini, mereka terus berada dalam kehidupan yang sia-sia dan hampa karena tidak mengenal tujuan hidup manusia yang sesungguhnya.
Walaupun mahasiswa memiliki latar belakang kondisi keluarga yang berbeda-beda, mulai dari orang tua yang berpenghasilan rendah hingga berpenghasilan tinggi, perilaku hedonisme cenderung tidak peduli tentang hal itu, karena hal utama bagi mereka adalah kesenangan. Ketika orang tua memberikan uang kuliah dan biaya hidup, mereka sekaligus memberikan kepercayaan dan amanah untuk mengatur uangnya sesuai kebutuhan. Namun, uang itu disalahgunakan, dan habis sebelum waktunya. Kejadian ini disebut pengelolaan keuangan dengan tidak sehat. Artinya, uang yang diterima disalahgunakan untuk aktivitas yang tidak produktif, keuangan seharusnya menciptakan nilai tambah bagi individu, sifat keuangan yang berkelanjutan, dan mampu memenuhi kebutuhan pribadi di masa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang tepat dalam mengelola keuangan. Menurut penelitian bahwa faktor yang mempengaruhi manajemen keuangan pribadi adalah kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Mahasiswa yang memiliki kecerdasan spiritual memiliki sikap dan perilaku positif dalam membuat dan mengambil keputusan.
Walaupun ada penelitian yang tidak sejalan, pada kenyataannya kecerdasan spiritual dapat membentuk sikap dan perilaku yang positif seperti rasa tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, dan optimalisasi kebebasan dalam mengelola keuangan (Chotimah dan Rohayati, 2015). Bukan hanya pada manajemen keuangan, kecerdasan spiritual juga berpengaruh terhadap gaya hidup hedonisme di kalangan mahasiswa. Tetapi, mahasiswa yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik pasti mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif di setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Kecerdasan spiritual adalah sebuah jawaban atas misteri rahasia kehidupan manusia. Kecerdasan spiritual yang dimaksud disini yaitu pengenalan spiritual seorang mahasiswa, bukan hanya pengenalan secara objektif tetapi juga secara subjektif (hal yang dapat dialami dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari). Kecerdasan spiritual harus dipandang sebagai hal yang bernilai kekal dan hubungan yang bersifat pribadi dan tersembunyi dengan Tuhan. Oleh karena itu, hal ini adalah esens dan hakiki dalam diri manusia. Pandangan religius tentang asal usul penciptaan manusia, menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan yang mulia, manusia diciptakan untuk melaksanakan maksud dan tujuan Allah sesuai perintah-Nya. Kemudian, bermanfaat bagi orang lain, menjaga dan merawat ciptaan-Nya yang lain. Sehingga manusia, dibuat lebih khusus dan istimewa dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hubungan kita dengan Allah.
Kenapa spiritualitas menjadi hal yang utama? Coba renungkan kehidupan yang sudah dilalui, ada suatu fakta yang terjadi dan mungkin tidak pernah terpikirkan yaitu ketika terasa sudah memiliki segala hal, kesuksesan, prestasi, kedudukan, dan kesenangan. Namun, masih terasa haus dan tidak puas dengan semuanya itu. Misalnya anda adalah seorang hedonis, apakah anda sudah merasa benar-benar puas dengan kesenangan yang anda miliki? Ataukah anda masih terasa haus dan hampa?. Anda akan menyadari hal itu dan mengakui bahwa hanya Allah sumber kepuasan dan kebahagiaan yang sejati. Mungkin anda berkata bahwa anda puas, namun pertanyaan selanjutnya yaitu apakah kesenangan anda bertahan lama? Tentu tidak. Misalnya dalam hal mengatur keuangan saja, anda membutuhkan kecerdasan spiritual. Kenapa demikian? Dari pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa tidak cukup mahasiswa memiliki kecerdasan keuangan yang baik tetapi juga membutuhkan kecerdasan spiritual karena mahasiswa sering tergoda dengan keinginan dan hawa nafsunya untuk membeli barang-barang sesuai keinginannya. Misalnya anda adalah mahasiswa yang memiliki perencanaan keuangan yang baik dan anda telah merencanakan untuk membeli berbagai kebutuhan. Tetapi, apakah hal itu berjalan sesuai rencana anda? Mungkin sesuai atau tidak sesuai. Oleh karena itu, masih perlu kecerdasan spiritual dalam memperlengkapi sikap dan perilaku individu agar lebih siap untuk menghadapi berbagai hal, khususnya impulse buying yang sering dialami oleh mahasiswa.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah gaya hidup hedonisme seperti sebuah wabah di kalangan mahasiswa saat ini. Namun, tidak disadari bahwa gaya hidup hedonisme dapat memberikan dampak positif dan negatif. Bahkan seorang hedonis akan mengalami kesulitan untuk mengelola keuangan pribadinya. Oleh karena itu, pentingnya peran kecerdasan spiritual dalam membatasi gaya hidup hedonisme dan manajemen keuangan pribadi yang tidak sehat. Implikasinya yang dapat dilakukan oleh mahasiswa yaitu; pertama, Dekatkan diri dengan Tuhan. Ajaran agama akan menuntun setiap orang ke jalan terang, karena itu perbanyak ibadah, dan bersandar kepada Tuhan karena hanya Dia yang mampu mengubah sikap dan perilaku manusia. Mohon hikmat pada-Nya ketika berada dalam kesulitan mengatur keuangan. Kedua, buatlah skala prioritas. Hedonis artinya memiliki pola hidup yang konsumtif, tidak mempertimbangkan jumlah besar uang yang dipakai, sehingga perlu skala prioritas. Tujuan dari skala prioritas adalah untuk mengetahui jumlah pemasukan dan pengeluaran sesuai kebutuhan hidup. Ketika sudah menetapkan skala prioritas, hal-hal yang perlu dilakukan 1) Hidup sederhana, 2) Bekerja keras, 3) pentingnya kearifan dalam memilih barang agar tidak terjebak dalam konsumerisme, 4) Jangan selalu menuruti keinginan, 5) Belajar bersyukur dengan apa yang ada, 6) kritis dalam bertindak dan bertingkah laku, 7) Berhati-hati dalam memilih teman/bergaul, 8) Tidak mudah merasa iri terhadap orang lain, 9) Kuatkan iman.
REFERENSI:
Santrock, J. W. (2003). Adolescence; Perkembangan remaja (terjemahan). Jakarta : Erlangga
Monks, F.J., A. K. (2014). Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Salam, B. (2002). Etika Sosial : Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kotler, Philip. (1993). Manajemen Pemasaran (Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian). Jakarta: FE UI
Chotimah, Chusnul dan Rohayati Suci. (2015) “Pengaruh Pendidikan Keuangan Di Keluarga, Sosial Ekonomi Orang Tua, Pengetahuan Keuangan, Kecerdasan Spiritual, Dan Teman Sebaya Terhadap Manajemen Keuangan Pribadi Mahasiswa S1 Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya”: h.8.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H